Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
SYARAT penetapan pemenang Pilkada dengan calon tunggal di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (UU Pilkada) dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Seniman M. Taufik Hidayat dan konsultan Doni Istyanto Hari Mahdi selaku pemohon perkara uji materi nomor 139/PUU-XXII/2024, mempersoalkan Pasal 54D ayat (1) dan (2) UU Pilkada. Mereka meminta MK mengubah syarat penetapan pasangan calon terpilih dalam pilkada yang hanya ada satu pasangan calon.
“Kerugian konstitusional yang dialami para pemohon adalah manakala diberlakukannya Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada, sepanjang penerapannya digunakan sebagai alasan kesengajaan agar pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon,” ucap kuasa hukum para pemohon, Aldi Indra Setiawan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jakarta, Rabu (9/10).
Baca juga : Penataan Jadwal Pemilu Nasional dan Daerah Digugat ke MK
Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada mengatur bahwa KPU provinsi atau kabupaten/kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan satu pasangan calon, jika mendapatkan suara "lebih dari 50 persen dari suara sah”.
Para pemohon dalam perkara ini meminta agar ketentuan tersebut diganti menjadi pasangan calon terpilih pada pilkada calon tunggal ditetapkan apabila mendapatkan suara "lebih dari 50 persen dari daftar pemilih tetap (DPT)".
Sementara itu, Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada mengamanatkan bahwa jika perolehan suara pasangan calon ternyata kurang maka pasangan calon yang kalah dalam pemilihan "boleh" mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Baca juga : Sering Ubah Syarat Usia Pejabat Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Terkait hal ini, para pemohon meminta kepada MK agar pasangan calon yang kalah dalam pilkada tunggal "dilarang" mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Selain itu, kedua pemohon juga meminta supaya ketentuan yang diinginkan itu dapat dipergunakan sejak Pilkada 2024.
Menurut kedua pemohon, ketentuan Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada menjadi celah hukum, sehingga dikhawatirkan pelaksanaan pilkada tidak demokratis.
Baca juga : Putusan MK Nomor 60 Belum Signifikan Tekan Calon Tunggal
Hal ini karena para pemohon beranggapan penerapan kedua pasal itu digunakan sebagai alasan kesengajaan agar pilkada hanya diikuti satu pasangan calon.
“Pasangan calon tunggal itu harus lebih bekerja nyata mencari suara berkampanye agar pemilih pendukungnya sebanyak mungkin akan hadir ke TPS dan mencoblos,” kata Aldi.
Sidang perdana perkara tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani. Di akhir persidangan, majelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya. (Ant/P-5)
Hal itu mengakibatkan pemilih tidak memiliki alternatif, mengingat Pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti dua pasangan calon, yang satu di antaranya telah didiskualifikasi.
Pada Pilkada 2023 ada satu kemenangan kotak kosong dari 53 pasangan calon tunggal, sementara pada Pilkada 2024 terjadi dua kemenangan dari 37 pasangan calon tunggal.
Penyelenggara dan peserta pemilu harus melakukan perbaikan dan evaluasi menyeluruh untuk menekan tingginya angka calon tunggal di perhelatan elektoral mendatang.
GURU Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan bahwa sistem pencalonan dengan kandidat calon tunggal pada perhelatan pilkada sangat tidak sehat untuk demokrasi.
MK dalam Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 memutuskan mengubah ketentuan perubahan desain surat suara pilkada calon tunggal, dan mulai berlaku pada Pilkada 2029.
Deklarasi pemenangan bagi Paslon Bupati dan Wakil Bupati Brebes yakni Paramitha Widya Kusuma dan Wurja kali ini, dilakukan di bekas gudang tepung, di jalur Pantura Brebes, Selasa (29/10) petang
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved