Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

DPR Jangan Amputasi Putusan MK

Tri Subarkah
21/8/2024 11:18
DPR Jangan Amputasi Putusan MK
Ilustrasi: Aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta( ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) diingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengingat sejak dibacakan. Oleh karena itu, segala upaya untuk mengamputasi putusan MK, termasuk lewat operasi revisi UU Pilkada, patut dikecam. Hal itu disampaikan Ketua The Constitutional Democracy Initiative (Consid) Kholil Pasaribu setelah DPR berencana melakukan revisi terbatas UU Pilkada hari ini.

"Patut dicurigai sebagai upaya mengakali, bahkan ingin mengamputasi keberlakuan putusan MK tersebut," katanya kepada Media Indonesia, Rabu (21/8).

MK mengeluarkan dua putusan yang mempengaruhi tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Putusan Nomor 60 merombak ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon.

Baca juga : Dibahas Besok, DPR Respons Putusan MK dengan Revisi UU Pilkada

MK juga menurunkan ambang batas tersebut dan menyelaraskannya dengan syarat dukungan calon dari jalur perseorangan atau independen. Dalam putusan yang sama, MK juga membatalkan beleid yang mengatur bahwa ambang batas pencalonan hanya berlaku bagi partai politik yang memiliki kursi di DPRD.

Dengan demikian, partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi tetap dapat mengusung calon kepala daerah. Adapun Putusan Nomor 70 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon. Ini menggugurkan tafsir yang dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) sebelumnya bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Bagi Kholil, revisi yang dilakukan DPR seharusnya tidak muncul. Sebab, putusan-putusan MK itu sesungguhnya menguntungkan semua pihak dan harapan akan masa depan demokrasi yang lebih sehat. Ia berpendapat, MK telah mengembalikan nafas demokrasi yang selama ini ditekuk oleh elite menjadi politik kartel.

"Kehendak DPR yang notabene sebagai lembaga perwakilan dan penyalur aspirasi rakyat itu sesungguhnya tidak mencerminkan sikap lembaga negara yang menghormati hukum," terangnya.

Sebaliknya, ia menyebut rencana DPR merevisi UU Pilkada justru sarat muatan politik pragmatis karena putusan MK dinilai mengganggu kepentingan elite penguasa. Baginya, itu merupakan praktik buruk dalam berhukum sekaligus kontraproduktif yang ditunjukkan sebuah lembaga negara. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya