Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
'RASANYA aku sudah tak berjiwa lagi, seperti selembar wayang di tangan ki dalang', kata Sanikem, salah satu karakter perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Februari 2025 menandai 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar yang telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah sastra Indonesia. Pram, begitu ia biasa dipanggil, bukan sekadar penulis yang piawai merangkai kisah, melainkan seorang pembongkar realitas. Ia menguak ketimpangan yang menyelimuti masyarakat dengan kemampuan dan keberanian yang tak banyak dimiliki oleh penulis lain.
Seratus tahun setelah kelahirannya, gagasan-gagasan Pram tetap relevan dibicarakan. Karya-karyanya tidak hanya bercerita tentang manusia dan kehidupan, tetapi juga tentang bagaimana sistem sosial bisa menjerat mereka yang berada di lapisan terbawah. Salah satu kelompok yang paling sering ia soroti ialah kaum perempuan. Mereka bahkan harus berjuang menghadapi tiga bentuk ketidakadilan sekaligus: rasialisme, klasisme, dan seksisme. Dalam beberapa novelnya, mereka digambarkan sebagai korban dari aturan sosial yang curang.
Pram lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dari sana, ia tumbuh menjadi sosok yang peka terhadap ketidakadilan dan menjadikan tulisan sebagai media perlawanan. Namun, keberaniannya berbicara tak selalu berbuah manis. Ia beberapa kali 'dibuang' ke penjara oleh rezim yang sedang memerintah, terutama karena menyuarakan pikiran dan keyakinannya. Namun, penjara tak pernah benar-benar membungkamnya. Ia tetap menulis, tetap bercerita, dan tetap menghidupkan suara mereka yang terpinggirkan.
Karya-karya Pram telah melampaui batas negara. Ia dikenal dan dihormati di berbagai belahan dunia. Pada 2005, ia menjadi satu-satunya tokoh Indonesia yang masuk daftar 100 intelektual terkemuka dunia versi majalah Inggris, Prospect. Pada 2000, ia menerima penghargaan Fukuoka Asian Culture Grand Prize dari Jepang dan Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres dari pemerintah Prancis. Ia juga dianugerahi PEN Freedom to Write Award pada 1992 serta Ramon Magsaysay Award untuk jurnalisme, sastra, dan komunikasi kreatif pada 1995.
JAWA MASA KOLONIAL
Pramoedya Ananta Toer dengan jeli menggambarkan ketimpangan sosial di Jawa pada masa kolonial. Kala itu, masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan yang kaku: kaum pribumi yang dipandang rendah, para priai yang bertindak sebagai penguasa lokal, dan penjajah Belanda yang berada di puncak hierarki. Dalam tatanan itu, perempuan pribumi menempati posisi yang paling rentan. Mereka tak hanya menghadapi penjajahan dari bangsa asing, tetapi juga dari sistem feodal yang melekat erat pada masyarakatnya sendiri.
Dalam masyarakat tradisional era kolonial, perempuan pribumi lebih sering dilihat sebagai komoditas, alat untuk memperbaiki status sosial keluarga, atau sekadar objek pemuas nafsu. Keberadaan mereka bisa dikendalikan oleh ayah, suami, atau bangsawan yang merasa berhak menentukan jalan hidup mereka. Tradisi dan patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat semakin memperkuat ketidakberdayaan mereka. Situasi itu menjadikan perempuan sebagai pihak yang paling mudah diperalat demi kehormatan keluarga atau ambisi kekuasaan.
Dalam beberapa novelnya, Pram menguraikan bagaimana tiga jerat besar, yaitu rasialisme, klasisme, dan seksisme, membelit kehidupan perempuan di bawah pemerintahan penjajah Eropa. Ia menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan bukan hanya persoalan ketidaksetaraan gender, melainkan juga berkaitan erat dengan ketimpangan ras dan kelas sosial yang membentuk struktur masyarakat Jawa waktu itu.
Rasialisme ialah jerat utama. Dalam tatanan kolonial, warna kulit dan garis keturunan menentukan derajat seseorang di mata hukum dan masyarakat. Perempuan pribumi sering kali dianggap lebih rendah dari perempuan keturunan Eropa atau Tionghoa. Mereka bisa diperlakukan sesuka hati tanpa ada konsekuensi yang berarti.
Dalam novel Bumi Manusia, misalnya, seorang gadis belia 'dijual' oleh ayahnya kepada seorang lelaki Belanda bukan semata-mata karena faktor ekonomi, melainkan juga karena keyakinan bahwa 'diambil orang Eropa' bisa meningkatkan derajat keluarga. Namun, kenyataannya, gadis itu hanya menjadi selir tanpa hak: ia hidup dalam bayang-bayang rasialisme yang mengikis harga dirinya sedikit demi sedikit.
Klasisme juga menjadi jerat yang kuat. Status sosial menentukan segalanya dan perempuan sering kali dijadikan alat untuk meninggikan martabat keluarga secara instan. Dalam masyarakat feodal, menikahkan anak perempuan dengan orang yang memiliki pangkat lebih tinggi dianggap sebagai langkah cerdas terlepas dari apakah si perempuan menghendaki pernikahan itu atau tidak. Praktik pernikahan 'paksa' antara para bangsawan lokal dan perempuan desa cukup umum terjadi (Kartodirjo, 2001).
Dalam novel Gadis Pantai, ada kisah seorang perempuan dari keluarga miskin yang 'diberikan' kepada bangsawan hanya untuk kemudian disingkirkan begitu saja ketika tidak lagi dibutuhkan. Mereka tak lebih dari barang yang bisa diganti, ditinggalkan tanpa hak atas anak mereka sendiri, tanpa suara untuk membela diri.
Seksisme menjadi dasar dari seluruh eksploitasi yang mereka alami. Masyarakat melihat perempuan hanya sebagai pelengkap: penurut, mengurus rumah tangga, melahirkan anak, dan tunduk kepada laki-laki. Dalam beberapa novel Pram, banyak tokoh perempuan yang tidak punya pilihan atas tubuh dan hidup mereka sendiri. Mereka dinikahkan, dijual, atau bahkan sekadar dijadikan 'istri percobaan' yang bisa dicampakkan kapan saja. Perempuan tidak diberi ruang untuk berpikir, berbicara, atau menentukan nasib mereka sendiri.
Jerat-jerat di atas dapat mewariskan ketidakberdayaan. Mereka yang tak punya kuasa akan mudah menerima ideologi si penindas tanpa menyadari ketidakadilan yang sebetulnya sedang berlangsung. Paulo Freire (1985) menyebut kondisi itu sebagai culture of silence yang mana kaum tertindas, termasuk perempuan dalam konteks novel-novel Pram, seperti dipaksa bungkam dan menganggap inferioritas mereka sebagai sesuatu yang wajar hingga akhirnya kehilangan kesadaran untuk melawan.
KEBANGKITAN PEREMPUAN
Meski dibelenggu oleh rasialisme, klasisme, dan seksisme, perempuan dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer tidak selalu menyerah pada nasib. Ada yang memberontak dalam diam, ada yang menentang secara terang-terangan. Pram dengan saksama menangkap berbagai bentuk perlawanan itu, dari sekadar mempertahankan harga diri, menolak tunduk pada sistem yang menindas, hingga menggunakan kecerdasan sebagai senjata untuk bangkit menghadapi kesewenang-wenangan.
Dalam salah satu kisahnya, seorang gadis pribumi yang dijual oleh keluarganya untuk menjadi selir seorang pria Belanda awalnya hanya bisa pasrah menerima nasib. Namun, seiring waktu, ia mulai melihat peluang untuk merebut kembali kendali atas hidupnya. Ia belajar, berpikir, dan menyadari bahwa pendidikan ialah jalan menuju pembebasan. Perlahan ia menemukan keberanian untuk melawan, bukan dengan senjata atau amarah, melainkan dengan kecerdasan yang membuatnya tak lagi bisa direndahkan.
Pram sering menampilkan perempuan seperti itu dalam novelnya, yaitu tokoh-tokoh yang meskipun berada dalam posisi yang serbaterpojok, tetapi tetap mencari celah untuk keluar dari jeratan. Mereka sadar bahwa sistem sosial yang ada tidak memberi mereka pilihan dan menolak untuk sekadar menjadi korban. Ada yang melawan dengan membangun kesadaran dalam dirinya, ada yang nekat mengambil risiko, ada pula yang memilih untuk bertahan dengan kepala tegak. Mereka menolak tunduk pada nasib yang dipaksakan.
Perlawanan itu mungkin tidak selalu berujung pada kemenangan besar. Dalam banyak kasus, perempuan yang menolak tunduk tetap harus menanggung konsekuensi yang berat. Namun, bukan itu yang menjadi inti dari cerita mereka, melainkan keberanian untuk melangkah, sekecil apa pun langkah itu. Pram seolah ingin mengatakan bahwa harapan selalu ada. Bahwa meskipun sistem sosial yang menindas terasa begitu kokoh, selalu ada cara untuk menggerogotinya dari dalam.
Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar mengenang perjalanan hidupnya, melainkan juga merenungkan warisan pemikirannya. Lewat kisah-kisah perempuan yang berani bangkit, ia mengajarkan kita bahwa kezaliman tidak harus diterima sebagai takdir. Bahwa perlawanan, sekecil apa pun, tetap memiliki arti. Bahwa suara perempuan, yang sekian lama dibungkam, selalu punya kekuatan untuk mengubah dunia.
Karya-karya pascakolonial, seperti yang ditulis oleh Pram, meninjau ulang secara kritis berbagai ragam perlawanan terhadap sejarah kolonialisme serta sistem neokolonial yang masih akan terus ada. Pram berupaya menyoroti hubungan yang kompleks antara penjajah dan yang terjajah dengan menekankan bagaimana kekuasaan hegemonik digunakan untuk menekan dan mengendalikan kaum terjajah. Ia, pada akhirnya, ingin menghidupkan gagasan tentang keadilan sosial, emansipasi, dan demokrasi.
Kini, 100 tahun setelah kelahiran Pram, pertanyaan yang sama masih menggema: apakah jerat-jerat yang menindas kaum perempuan dalam karyanya sudah benar-benar lepas? Ataukah mereka masih terjebak dalam pusaran rasialisme, klasisme, dan seksisme yang terus berulang dalam wajah-wajah baru?
Menstruasi yang normal dan teratur adalah tanda bahwa reproduksi perempuan dalam kondisi baik, dan tubuh secara keseluruhan dalam keadaan sehat.
Seiring dengan pertambahan usia pada perempuan serta kehamilan mampu menyebabkan penurunan kekuatan otot panggul dalam menopang organ-organ vital.
Perjuangan perempuan Indonesia hari ini ialah kelanjutan dari jejak-jejak lokal yang pernah berjaya, tapi kini dibingkai dalam ideologi negara, yaitu Pancasila.
BRInita merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan BRI Peduli yang berfokus pada tiga pilar utama: pendidikan, pemberdayaan UMKM, dan pelestarian lingkungan.
POTENSI perempuan di sejumlah sektor harus mampu ditingkatkan melalui berbagai upaya pemberdayaan sebagai bagian dari langkah mengakselerasi pembangunan nasional.
Pada tahun ini, peringatan Hari Aksi Kesehatan Perempuan Internasional mengangkat tema Dalam Solidaritas Kita Melawan: Perjuangan Kita, Hak Kita.
AKANKAH gerakan emansipasi perempuan yang marak di Arab Saudi sejak beberapa tahun terakhir ini akan mengantarkan pada relasi gender setara?
KETEGANGAN antara India dan Pakistan kembali memuncak setelah serangan teroris di Pahalgam, Kashmir India, bulan lalu, tepatnya 22 April 2025.
Salah satu elemen yang paling kentara dari revitalisasi pendidikan di bawah koordinasi Kemendikdasmen adalah akselerasi pemerataan infrastruktur digital.
SAYA besar dalam tradisi masyarakat muslim yang cenderung homogen.
PADA 13 April 2025, tepat 75 tahun hubungan Indonesia dan Tiongkok di era modern.
DALAM beberapa pekan terakhir, muncul perbincangan hangat terkait dengan keinginan warga Indonesia untuk pindah ke luar negeri
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved