Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Transformasi Finansial: Ketika Teknologi Menjadi Pedang Bermata Dua

Fajrur Rizal Bakhri Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya
06/2/2025 18:11
Transformasi Finansial: Ketika Teknologi Menjadi Pedang Bermata Dua
Fajrur Rizal Bakhri Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya(Dok. Pribadi)

PERKEMBANGAN teknologi informasi yang semakin pesat dan permintaan konsumen yang semakin beragam menyebabkan model layanan keuangan tradisional sudah tidak relevan bagi konsumen yang ingin mendapatkan efisiensi, kenyamanan, dan kustomisasi layanan.

Transformasi finansial menjadi suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh perusahaan keuangan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan bisnis yang sudah mengedepankan aspek teknologi digital. Transformasi finansial diperlukan untuk mengembangkan bisnis di era digitalisasi, di mana organisasi dan manusia sangat bergantung pada data dan teknologi, sehingga transformasi finansial diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam operasional perusahaan dan memberikan nilai tambah bagi pelanggan.

Kebutuhan terhadap transformasi finansial diperkuat oleh berbagai faktor pendorong perkembangan digitalisasi, mengingat Indonesia merupakan negara dengan potensi ekonomi yang besar dalam menyerap arus digitalisasi. Faktor pendorong tercermin dalam tiga aspek utama, yaitu peluang digital, perilaku digital, dan transaksi digital. Peluang digital meliputi potensi demografi, potensi ekonomi dan keuangan digital, potensi penetrasi penggunaan internet, dan potensi peningkatan konsumen. Perilaku digital meliputi kepemilikan perangkat dan penggunaan aplikasi seluler (mobile apps), sementara transaksi digital meliputi transaksi perdagangan daring (e-commerce), transaksi perbankan digital, dan transaksi uang elektronik.

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh SEA e-Conomy 2022 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, menunjukkan nilai ekonomi digital Indonesia tercatat mencapai US$77 miliar pada 2022 atau sekitar 5,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai kisaran US$220-360 miliar pada 2030 atau sekitar 9-15% dari PDB 2030. Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia yang semakin masif tidak bisa dilepaskan dari disrupsi teknologi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Financial Technology (Fintech) merupakan respons terhadap perubahan permintaan konsumen terhadap layanan keuangan secara digital yang inovatif. Fintech merupakan bentuk transformasi di industri keuangan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk meningkatkan aktivitas keuangan agar lebih praktis, nyaman, dan berbiaya rendah. Fintech dapat berperan sebagai alat atau teknologi untuk memudahkan proses transaksi antara pembeli dan penjual serta dapat mengurangi celah atau penipuan dalam proses transaksi. Fintech secara umum merupakan bisnis rintisan yang didirikan dengan mengandalkan dan mengoptimalkan penggunaan teknologi perangkat lunak.

Regulasi Fintech di Indonesia

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial dijelaskan bahwa Fintech merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, jasa, teknologi, dan/atau model bisnis baru, dan dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, serta keandalan sistem pembayaran.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 13/POJK.02/2018 mendefinisikan Fintech dengan istilah Inovasi Keuangan Digital (IKD). Kedua regulasi memiliki makna yang sama pada Fintech, yaitu sebagai segala bentuk inovasi yang memberikan nilai tambah dalam jasa keuangan. Industri Fintech di Indonesia memiliki perkembangan yang pesat karena berdasarkan laporan yang dirilis oleh Asosiasi Fintech Indonesia tahun 2023 menunjukkan secara keseluruhan anggota AFTECH hingga akhir 2022 telah mencapai 366 perusahaan, yang mengalami peningkatan dari 352 pada akhir 2021 dan 302 di akhir tahun 2020.

Jenis Layanan Fintech di Indonesia

Berbagai jenis bisnis yang dijalankan oleh perusahaan Fintech di Indonesia yaitu: 1) layanan pembayaran, kliring, dan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri perbankan seperti Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), Brimo, BCA Mobile, Livin' by Mandiri; 2) layanan menghimpun dan mengolah data yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu pengambilan keputusan, menyediakan perbandingan produk mulai dari harga, fitur, hingga manfaat, seperti Cekaja, Cermati, dan Tunaiku; 3) manajemen risiko dan investasi sebagai teknologi finansial yang menyediakan layanan perencanaan keuangan dan platform e-trading dan e-insurance seperti Bareksa; 4) Peer to Peer Lending (P2P) yang mempertemukan pemberi pinjaman (investor) dengan pencari pinjaman dalam satu platform, sedangkan investor akan mendapatkan bunga dari dana yang diinvestasikan seperti Adakami dan Easycash.

Tantangan dan Permasalahan dalam Fintech

Berbagai bentuk Fintech merupakan inovasi dari pengembangan layanan keuangan untuk memenuhi perubahan permintaan konsumen. Perkembangan Fintech yang pesat tidak hanya membawa peluang dan tantangan bisnis baru bagi industri keuangan, namun juga meningkatkan daya saing maupun mempromosikan pasar keuangan. Fintech memberikan manfaat bagi masyarakat mulai dari pembayaran, pencarian modal, dana pinjaman, dan investasi tanpa harus datang ke bank atau lembaga keuangan. Fintech mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat di daerah akan layanan keuangan yang belum tersedia kantor bank. Masyarakat tidak perlu menyiapkan dokumen untuk mendapatkan layanan keuangan, karena tinggal melakukan pengisian identitas pribadi secara online.

Fintech memberikan keuntungan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan keuangan dengan cepat dan persyaratan yang lebih sederhana, namun di sisi lain terdapat beberapa permasalahan pada Fintech di Indonesia. Tindak pidana berupa penipuan dengan berbagai modus menggunakan teknologi keuangan makin sulit dilacak karena transaksi dilakukan secara tidak langsung. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, namun belum mampu menjangkau tindak pidana yang dilakukan melalui bisnis daring, terutama yang terkait dengan alat bukti transaksi. Permasalahan lain adalah belum terdapat undang-undang khusus yang mengatur penyelesaian sengketa Fintech oleh Pengadilan Niaga.

Perlindungan Data dan Keamanan Konsumen

Seiring dengan kemajuan Fintech, isu tentang perlindungan data konsumen juga perlu menjadi perhatian serius. Perusahaan Fintech dalam pemberian layanan keuangan akan meminta beberapa dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan sebagainya untuk dikirimkan melalui aplikasi yang telah disediakan sebagai syarat untuk memastikan keseriusan konsumen dalam melakukan pinjaman uang atau layanan keuangan lain. Data-data yang dikirimkan oleh konsumen rentan mengalami kebocoran karena disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, baik oleh lembaga Fintech itu sendiri maupun oleh individu-individu tertentu.

Permasalahan hukum yang terjadi dalam bisnis pinjaman online antara lain tidak adanya perlindungan data pribadi, penentuan bunga sepihak oleh penyelenggara tanpa adanya penetapan dan pengawasan dari pemerintah, maraknya Fintech ilegal, penagihan utang yang bersifat intimidatif oleh debt collector, serta pengungkapan identitas nasabah yang tidak membayar utang oleh penyelenggara tanpa mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa yang benar. Permasalahan yang terdapat dalam industri Fintech menyebabkan kemajuan teknologi keuangan seperti pisau bermata dua yang di satu sisi memberikan manfaat, namun di sisi lain dapat merugikan masyarakat.

Regulasi industri Fintech di Indonesia hanya diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Peraturan Bank Indonesia, sehingga diperlukan undang-undang yang lebih komprehensif dan tersendiri, yang dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan layanan Fintech. Regulasi dapat diartikan sebagai serangkaian aturan yang disusun dan diawasi oleh otoritas untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan tertib dan efisien.

Keberadaan regulasi memiliki fungsi sebagai pelindung yang efektif terhadap pihak-pihak yang terlibat mulai dari pemilik dan pelaku bisnis hingga konsumen. Bagi perusahaan Fintech yang patuh dan taat pada regulasi serta menerapkan tata kelola yang baik, cenderung memiliki manajemen risiko yang baik dan daya saing yang tinggi di pasar. Di sisi konsumen, regulasi yang baik dapat memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan terhadap produk dan layanan yang diberikan perusahaan Fintech. (Z-10) 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya