Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Buruk Rupa Komisi Pemberantasan Korupsi

Kurnia Ramadhana Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
06/7/2023 05:05
Buruk Rupa Komisi Pemberantasan Korupsi
(ANTARA/Tri Meilani )

KETERPURUKAN citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian tak tertolong. Rentetan problematika terus silih berganti. Mulai kebocoran informasi penyelidikan, pungutan liar miliaran rupiah di rumah tahanan, hingga penggelapan anggaran perjalanan dinas kepegawaian. Praktik-praktik lancung itu sama sekali tak terbayangkan terjadi di lembaga yang mengagungkan nilai integritas. Namun, apakah itu suatu hal yang mengejutkan bagi masyarakat? Tentu jawabannya tidak.

Kondisi abnormal di lembaga antirasuah itu tak bisa dilepaskan dari dua momok yang terjadi pada 2019 lalu. Hantaman politik kala itu berhasil mengobrak-abrik KPK melalui Revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) dan memasukkan pimpinan tak beretika. Dari sekian banyak permasalahan dalam RUU KPK, salah satu yang paling krusial ialah lunturnya independensi lembaga. Akibatnya, tak heran jika kemudian pola penindakan KPK kerap dicurigai bermuatan politis atau mengikuti keinginan penguasa.

Pada aspek kepemimpinan, fakta yang tak terbantahkan ialah menyangkut rekam jejak buruk jajaran petinggi KPK. Betapa tidak, selama kurun waktu empat tahun terakhir saja setidaknya sudah tiga orang pimpinan hilir mudik masuk proses persidangan etik di Dewan Pengawas, di antaranya, Firli Bahuri, Lili Pintauli, dan Johanis Tanak.

Firli sendiri bukan kali pertama melanggar kode etik. Jauh sebelum terbukti menunjukkan gaya hidup hedonisme, ia diketahui sempat disanksi karena terbukti berhubungan dengan pihak beperkara pada 2019 lalu. Sementara itu, Lili dan Tanak, keduanya diproses Dewan Pengawas atas dugaan berkomunikasi dengan orang-orang yang juga diusut KPK. Dari sini, terdapat benang merah yang menyambungkan tingkah mereka, yakni memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Lembaga yang menjadi asa sekaligus anak kandung reformasi itu praktis semakin jauh dari cita-cita pembentukannya terdahulu. Merujuk pada bagian konsiderans UU KPK, misalnya, disebutkan secara terang bahwa KPK diharapkan menjadi antitesis lembaga penegak hukum lain dan melaksanakan fungsi pemberantasan korupsi secara profesional. Alih-alih tercapai, jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada awal April lalu menempatkan KPK di bawah Kejaksaan Agung dan hanya terpaut tipis dari Polri dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat.

Pada periode kepemimpinan KPK sebelumnya, hal itu jarang atau bahkan tak pernah terjadi. KPK dengan segala kerja pemberantasan korupsi selalu menjadi lembaga yang paling diharapkan dan dipercaya masyarakat.

Begitu pula dalam konteks buruknya profesionalisme kerja penindakan. Sebagai contoh, selama kurun waktu satu tahun terakhir masyarakat dihadapkan dengan isu pemaksaan penanganan suatu perkara yang kental dengan nuansa politis oleh pimpinan KPK. Gelar perkara yang biasanya dilakukan kurang dari lima kali dipaksa berkali-kali, bahkan disinyalir sudah lebih dari 10 kali. Itu menandakan terdapat potensi lembaga penegak hukum berubah menjadi 'petugas partai' atau 'pasukan penguasa' untuk membantu mereka memberangus lawan-lawan politik mereka.

Harus diakui, mengembalikan nama baik KPK saat ini seperti mendorong tronton mogok. Sebagaimana diketahui, sejak lembaga antirasuah itu resmi dibentuk pada 2003 lalu, dahaga akan penegakan hukum yang tajam ke atas perlahan terjawab melalui penindakan KPK. Akan tetapi, kini, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, rontok secara signifikan.

Untuk mengukurnya, mudah saja, misalnya, jumlah operasi tangkap tangan (OTT). Bisa dibayangkan sejak Firli menjabat selama tiga tahun terakhir, KPK hanya mampu melakukan 23 OTT, sedangkan era Agus Rahardjo bisa mencapai 66 OTT. Dari segi kualitas, ada banyak yang bisa disorot, mulai kegagalan meringkus buron Harun Masiku, rendahnya penuntutan terhadap elite partai, seperti Juliari Batubara dan Edhy Prabowo, serta mandeknya pengusutan perkara besar, satu di antaranya korupsi pengadaan KTP elektronik.

Problematika KPK kembali mencuat ketika salah seorang pimpinannya, Nurul Ghufron, mengajukan uji materi ke MK menyoal perpanjangan masa jabatan, dari empat tahun menjadi lima tahun. Bukannya ditolak, Mahkamah malah mengabulkannya dengan dalih yang sulit dinalar. Padahal, berkaitan dengan lama menjabat jelas bukan kewenangan Mahkamah, melainkan pembentuk UU (open legal policy). Putusan itu sekaligus membuktikan bahwa cabang kekuasaan yang melemahkan KPK bukan hanya eksekutif dan legislatif, melainkan juga termasuk yudikatif. Masyarakat pun dipaksa pasrah dengan situasi anomali pemberantasan korupsi semacam ini.

Untuk mengatasi karut-marut situasi pemberantasan korupsi, diperlukan perubahan mendasar yang tak bisa hanya dilakukan satu pihak. Pertama, pengawasan administratif oleh Presiden terhadap KPK mutlak harus dijalankan sebab kondisi saat ini, suka tidak suka, lembaga antirasuah itu telah berada di bawah cabang kekuasaan eksekutif.

Meskipun, sebenarnya, kesempatan menambal keterpurukan KPK sudah pernah ada, sayangnya itu tidak diambil oleh Presiden, tepatnya saat puluhan pegawai dipecat secara sewenang-wenang melalui tes wawasan kebangsaan. Akan tetapi, sekalipun itu merupakan jalan keluar, banyak pihak meragukan hal itu dijalankan. Itu disebabkan belakangan waktu terakhir Presiden lebih senang cawe-cawe dalam isu politik ketimbang memikirkan nasib pemberantasan korupsi mendatang.

Kedua, konteks internal, Dewan Pengawas harus bertindak objektif dan independen dalam menegakkan kode etik kelembagaan. Selama ini hal itu kerap luput dari kerja Dewan Pengawas. Sanksi yang mereka jatuhkan sering kali tak berorientasi pada pemberian efek jera. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, sanksi tegas rasanya hanya dijatuhkan kepada level pegawai, tapi tumpul ke pimpinan. 

Tesis awal masyarakat yang yakin akan performa Dewan Pengawas karena melihat rekam jejak para anggotanya justru bertolak belakang dengan kinerja mereka. Contoh konkret saat Dewan Pengawas memutuskan menghentikan proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Lili. Padahal, perbuatan Lili kala itu tidak hanya bernuansa pelanggaran etik, tetapi juga hampir pasti memenuhi unsur pidana karena diduga keras menerima gratifikasi berupa tiket dan akomodasi saat perhelatan Moto-GP Mandalika berlangsung.

Ketiga, solusi akhir menyelematkan KPK ialah mendesak pimpinannya, terutama pihak-pihak yang memiliki rekam jejak bermasalah, seperti Firli, untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya. Dasar hukumnya bukan tidak ada, TAP MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sudah secara tegas mengatakan setiap pejabat publik harus siap mundur jika telah melanggar kaidah dan sistem nilai. Daftar panjang permasalahan KPK yang telah diuraikan di atas seharusnya bisa dijadikan bukti untuk meminta Firli hengkang dari jabatannya sebagai pimpinan lembaga antirasuah.

Setiap pihak, terutama pemerintah, mestinya sadar bahwa nasib pemberantasan korupsi sedang dalam ancaman serius. Indeks persepsi korupsi Indonesia sudah anjlok para 2022, bahkan skornya kembali seperti pada 2014 lalu. Itu mengartikan bukannya membaik, justru mundur, jatuh, dan terjerembab. Oleh sebab itu, penegakan hukum pemberantasan korupsi harus berjalan independen, objektif, dan terpenting jauh dari motif politik penguasa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya