Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Pemenuhan Hak Pendidikan Anak

Anggi Afriansyah Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN
27/6/2023 05:05
Pemenuhan Hak Pendidikan Anak
(Dok. Pribadi)

PADA Pasal 34 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disampaikan beberapa poin penting terkait akses pendidikan bagi WNI. Pertama, setiap warga negara yang berusia enamtahun dapat mengikuti program wajib belajar. Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ketiga, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan lembaga pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. 

Selain itu, ada Peraturan Pemerintah RI No 47/2008 tentang Wajib Belajar, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 80/2013tentang Pendidikan Menengah Universal, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 10/2020 tentang Program Indonesia Pintar. 

Pada aturan terakhir, disampaikan bahwa program Indonesia pintar memiliki tujuan untuk meningkatkan akses bagi anak usia 6-12 tahun untuk mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal/rintisan wajib belajar 12  tahun; mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop out) atau tidak melanjutkan pendidikan akibat kesulitan ekonomi dan/atau menarik siswa putus sekolah atau tidak melanjutkan agar kembali mendapatkan layanan pendidikan di sekolah, sanggar kegiatan belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, lembaga kursus dan pelatihan, satuan pendidikan nonformal lainnya, atau balai latihan kerja.

 

Keterbatasan

Meksipun sudah ada berbagai aturan yang dirilis untuk meningkatkan partisipasi pendidikan, dalam faktanya masih terdapat situasi yang mana akses dan kesempatan bagi setiap anak bangsa belum merata diraih. Merujuk pada data BPS, nilai rata-rata lama sekolah (RLS) pada 2022 mencapai 9,08 tahun atau setara kelas 9 SMP/sederajat. Namun, perlu menjadi catatan RLS penduduk 15 tahun ke atas di perkotaan (9,95 tahun) masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang ada di perdesaan (7,88 tahun), demikian juga perbandingan antara DKI Jakarta (11,30 tahun) dan Papua (7,31 tahun). Selain itu, dari segi penduduk yang dapat mengakses ke perguruan tinggi antara desa dan kota masih terlihat kesenjangannya, yaitu 5,57% dan 13,51%.

Data BPS (2022) menunjukkan jika ditilik dari status sosial ekonomi, perbedaan angka partisipasi sekolah terlihat samar pada usia 7-12 (SD), tetapi semakin nyata seiring peningkatan umur. Penduduk pada kelompok pengeluaran teratas (kuintil 5) memiliki kontribusi terbesar untuk angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah/sederajat dan perguruan tinggi. 

Beberapa riset mencoba mengidentifikasi mengapa masih terdapat anak-anak Indonesia yang mengalami putus sekolah. Aristin (2016) memaparkan jarak tempat tinggal dengan sekolah, jenis pekerjaan orangtua, jumlah tanggungan keluarga, latar belakang pendidikan orangtua, dan tingkat pendapatan dan kegiatan produktif anak dalam rumah tangga berpengaruh pada tingkat putus sekolah SMP. 

Lalu Handayani dkk (2017) memaparkan situasi yang mana ada persoalan tata kelola pendidikan yang menyangkut payung hukum ataupun sinergi dan kolaborasi untuk pemenuhan wajib belajar 12 tahun. Sementara itu, Muttaqin (2018) memaparkan modal manusia di tingkat rumah tangga berkontribusi terhadap kemungkinan anak-anak putus sekolah. Menurutnya, anak-anak dari orangtua yang berpendidikan lebih rendah cenderung tidak pernah bersekolah atau putus sekolah.

Memperhatikan situasi itu, pemerintah perlu lebih telaten memperhatikan persoalan-persoalan yang menjadi penyebab masih adanya siswa yang mengalami putus sekolah. Persoalan mendasar terkait isu akses transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, listrik dan air bersih, masih menjadi perkara aktual yang dihadapi penduduk di Indonesia. Pemenuhan hak mendasar itu sangat berkaitan dengan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah antara lain: pertama, penguatan implementasi berbagai regulasi di tingkat pusat maupun daerah untuk mendukung peningkatan partisipasi pendidikan pendidikan. Kedua, optimalisasi kolaborasi multi-stakeholder untuk menyukseskan peningkatan partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Ketiga, menjaga keberlanjutkan setiap kebijakan, program, dan pendanaan tentang untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pendidikan.

 

Mendidik manusia Indonesia

Selain itu, patut disadari bahwa pendidikan, seperti yang diungkap Fuad Hassan (pada Dialog Prisma edisi Februari 1986), dapat membangun manusia Indonesia dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak tertinggal perkembangan zaman. Selain itu, dalam pandangan Hassan, tidak sekadar tamat/lulus sekolah, tetapi harus diperhatikan ketika menyelesaikan jenjang pendidikan harus menguasai kualifikasi tertentu. Poin yang dipaparkan itu menjadi penanda pentingnya kualifikasi akademik yang disertai kompetensi di bidang ilmu yang digeluti. 

Hal yang patut menjadi perhatian pemerintah ialahjika peningkatan kualifikasi akademik akibat meningkatnya partisipasi di bidang pendidikan tidak disertai dengan peningkatan kompetensi dan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Furlong dkk (2018), dalam konteks Inggris,misalnya, menyampaikan peningkatan lulusan sekolah dan universitas telah memicu proses inflasi kualifikasi, menjadikannya jauh lebih sulit bagi kaum muda yang berkualitas untuk memasuki posisi keterampilan tinggi. Itu disebabkan meskipun kaum muda (Inggris) saat ini memiliki kualifikasi yang lebih baik daripada yang mereka lakukan pada resesi 1980-an atau 1990-an, mereka masih sangat terkonsentrasi di sektor ekonomi dengan keterampilan rendah (Furlong, 2018).  

Selain itu, Furlong dkk (2018) juga memaparkan terjadinya peningkatan jumlah anak muda yang bekerja di pekerjaan yang sebetulnya over-qualified. Prospek pekerjaan yang buruk dan inflasi kualifikasi telah mendorong kaum muda untuk tetap mengenyam pendidikan dengan harapan, dalam jangka panjang, mereka dapat mengakses pekerjaan yang menarik di sektor pasar tenaga kerja yang lebih aman. 

Jika merujuk pada konteks Indonesia di tengah situasi saat ini, berdasarkan data BPS pada Agustus 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) penduduk kelompok umur muda (15-24 tahun) merupakan TPT tertinggi (20,63%). Sementara itu,TPT di tingkat diploma I/II/II (4,59%) dan diploma IV, S-1, S-2, S-3 (4,80%). Data itu perlu mendapatkan perhatian sebab aspirasi meningkatkan jenjang pendidikan tentu berkaitan dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, jika sudah bersekolah tinggi tingkat pendapatan tidak meningkat, apalagi sulit untuk mendapat pekerjaan, semakin banyak orang yang secara pragmatis mempertanyakan untuk apa sekolah tinggi.

Apalagi anak-anak muda dihadapkan dengan situasi yang problematik, seperti kegalauan identitas, prospek pekerjaan masa depan, relasi antarteman dan orangtua, serta ancaman kekerasan verbal atau fisik. Di sisi lain, situasi politik (menjelang 2024) juga sering meningkatkan tensi emosional yang ada di masyarakat, semakin membuat anak muda menjadi rentan. Mereka juga, meski secara demografis sangat besar, tidak mendapat perhatian utama dalam lanskap pembangunan. 

Ikhtiar untuk membentuk manusia yang dapat memenuhi kodrat kemanusiaan, seperti yang diungkap Latif (2018), menjadi sangat penting. Dalam konteks Indonesia, dalam pandangan Latif (2018), pendidikan perlu menjadi ruang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kodrati yang ada di dalam Pancasila. Pola pendidikan yang memampukan manusia memahami diri sendiri dan lingkungannya, meningkatkan kualitas diri, mampu menghadapi kesulitan, dan memiliki etos kerja.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya