Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tuntutan Transparansi Iran dalam Kembangkan Nuklir

Khoerun Nadif Rahmat
27/9/2024 09:30
Tuntutan Transparansi Iran dalam Kembangkan Nuklir
Aset nuklir Iran.(Dok Al-Jazeera)

IRAN, pemain kunci dalam lanskap energi global, berada di tengah-tengah kontroversi yang sedang berlangsung mengenai program nuklirnya. Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Mohammad Eslami, baru-baru ini menegaskan bahwa tidak ada tujuan rahasia di balik aktivitas nuklir negaranya.

Ia menekankan bahwa pengayaan uranium, yang mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama bertujuan penelitian dan produksi isotop untuk aplikasi industri. Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat yang diperburuk oleh sanksi-sanksi ekonomi dan kekhawatiran tentang transparansi program nuklir Iran.

Iran telah mengumpulkan cadangan uranium yang diperkaya hingga 60%. Ini berarti tingkat yang mendekati 90% yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir. Eskalasi ini menimbulkan kekhawatiran di dalam Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang mengecam kurangnya kerja sama Teheran. Memang, sejak 2021, Iran sangat mengurangi inspeksi di situs nuklirnya, mencabut kamera pengawas, dan menarik akreditasi para ahli.

Baca juga : Iran Buka Pintu Perundingan Nuklir Kembali

Situasi itu menyebabkan pengadopsian resolusi kritis oleh dewan gubernur IAEA, meskipun pada tahap ini masih bersifat simbolis. Terlepas dari ketegangan-ketegangan ini, Eslami bersikeras bahwa Iran beroperasi dengan transparansi penuh. "Aktivitas kami sepenuhnya transparan. Ini bukan seolah-olah kami memproduksi zat dengan tujuan rahasia," kata Eslami mengutip energynews, Rabu (25/6).

Isu Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), kesepakatan nuklir 2015, tetap menjadi pusat diskusi. Eslami menyatakan harapannya meluncurkan kembali negosiasi untuk merevitalisasi perjanjian ini yang bertujuan membatasi aktivitas nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi. Namun, perjanjian ini sangat dikompromikan setelah penarikan diri Amerika Serikat (AS) pada 2018 dan kegagalan negosiasi di Wina pada 2022.

Eslami menegaskan bahwa JCPOA tidak mati dan Iran siap memenuhi komitmennya segera setelah pihak-pihak lain melanjutkan kewajiban mereka. Namun, negara-negara E3 (Prancis, Inggris, Jerman) dan AS menyatakan keraguan tentang kesediaan Teheran untuk kembali ke meja perundingan. Mereka menunjuk pada tidak ada tanda-tanda konkret kerja sama dari Iran dan memperingatkan bahwa kesabaran mereka ada batasnya.

Baca juga : Iran Kecam Resolusi Pengawas Nuklir PBB

Dengan latar belakang ini, para ahli percaya bahwa dimulainya kembali dialog tampaknya tidak mungkin terjadi sebelum pemilihan presiden AS, sehingga meningkatkan ketegangan antara kedua belah pihak. Situasi saat ini menyoroti tantangan-tantangan yang dihadapi Iran dalam upayanya mengembangkan energi yang berkelanjutan.

Sanksi ekonomi memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor energi Iran serta membatasi akses terhadap teknologi dan investasi asing yang dibutuhkan untuk memodernisasi infrastrukturnya. Pada saat yang sama, Iran berusaha mendiversifikasi sumber-sumber energinya dan memperkuat posisinya di pasar global sembari menavigasi lingkungan geopolitik yang kompleks.

Memperburuk ketegangan

Di sisi lain, pengejaran program nuklirnya dapat memperburuk ketegangan dengan negara-negara Barat, sehingga membuat kerja sama di masa depan semakin sulit. Dalam konteks ini, transparansi dan kesediaan untuk terlibat dalam dialog akan sangat penting untuk meredakan kekhawatiran internasional dan menumbuhkan iklim kondusif untuk kerja sama di sektor energi.

Baca juga : IAEA Memperingatkan KeKhawatiran atas Rencana Nuklir Iran

Perkembangan terakhir menggarisbawahi pentingnya pendekatan seimbang dan pragmatis dalam hubungan internasional dengan mempertimbangkan kepentingan strategis masing-masing pihak. Kemampuan Iran menghadapi tantangan-tantangan ini akan menentukan tidak hanya masa depan program nuklirnya, tetapi juga perannya dalam lanskap energi global.

Kelompok pengawas nuklir PBB memperingatkan dalam suatu laporan yang baru-baru ini diungkapkan bahwa Iran telah meningkatkan stok uranium yang diperkaya hingga mendekati level tingkat senjata. Laporan IAEA menyebutkan Iran memiliki 363,1 pon uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60%. Jumlah tersebut meningkat 49,8 pon sejak laporan terakhir IAEA pada Mei dan mendekati tingkat kemurnian 90% untuk senjata nuklir. 

Laporan tersebut mengatakan bahwa pada 17 Agustus, Iran memiliki persediaan uranium yang diperkaya secara keseluruhan sebesar 12.681 pon. "Produksi dan akumulasi uranium yang diperkaya tinggi yang terus berlanjut oleh Iran, satu-satunya negara nonnegara senjata nuklir yang melakukan hal tersebut, menambah keprihatinan badan tersebut," demikian kesimpulan laporan itu.

Baca juga : AS dan Eropa Desak Iran Hentikan Proyek Nuklir

Seperti diketahui sebelumnya, Iran, menandatangani JCPOA, yang umumnya dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, pada 2015. Dalam JCPOA, Iran setuju membongkar sebagian besar program nuklirnya dan mengizinkan inspeksi internasional yang lebih luas dengan imbalan pencabutan sanksi senilai miliaran dolar AS.

Iran mulai mengabaikan kesepakatan tersebut setahun setelah Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018. Pada September 2023, Iran melarang inspektur IAEA untuk memantau program nuklirnya. Laporan terbaru IAEA mengatakan bahwa Iran belum mempertimbangkan kembali larangan tersebut dan kamera pengintai IAEA tetap terganggu.

Badan tersebut mengatakan telah meminta Iran untuk memberikan akses ke lokasi pembuatan centrifuge di kota Isfahan agar dapat memperbaiki kamera-kamera mereka, tetapi Teheran belum memberikan jawaban. Laporan ini juga mengatakan bahwa Iran masih belum memberikan jawaban mengenai asal-usul dan lokasi terkini dari partikel-partikel uranium buatan manusia yang ditemukan di dua lokasi, Varamin dan Turquzabad, yang belum dinyatakan sebagai situs nuklir potensial oleh Teheran.

Setelah presiden baru Iran, Masoud Pezeshkian, terpilih pada Juni lalu, IAEA menawarkan untuk mengirimkan kepala badan tersebut ke Teheran untuk meluncurkan kembali dialog dan kerja sama antara badan tersebut dan Iran. Meskipun Pezeshkian setuju untuk bertemu dengan kepala IAEA, hal itu belum terjadi. (Ndf/Z-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya