Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KETIKA Israel secara intensif menggempur berbagai fasilitas nuklir Iran dalam eskalasi terbaru yang kini memasuki tahap gencatan senjata, dunia justru kembali mengalihkan perhatian pada program nuklir rahasia milik Tel Aviv sendiri. Sebuah proyek yang selama lebih dari enam dekade diliputi kerahasiaan, tanpa pernah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Israel.
Sementara banyak negara mengecam ambisi Iran mengembangkan bom nuklir, para pakar keamanan menilai bahwa Israel telah lebih dulu memiliki kekuatan serupa, dan kini justru diduga tengah memperluasnya.
Dalam pernyataannya kepada The New York Times, Alexander K. Bollfrass dari International Institute for Strategic Studies (IISS), London menyebut, "Secara diplomatik, Israel tak pernah membenarkan atau membantah kepemilikan senjata nuklir."
Kebijakan tersebut dikenal luas sebagai nuclear opacity atau kebijakan ambiguitas nuklir. Pemerintah Israel kerap menyampaikan bahwa mereka tidak akan menjadi negara pertama yang memperkenalkan senjata nuklir di Timur Tengah, kalimat ambigu yang dianggap menutupi eksistensi arsenal nuklir militer mereka.
Menurut data dari Center for Arms Control and Nonproliferation dan Nuclear Threat Initiative, Israel diyakini memiliki paling sedikit 90 hulu ledak nuklir. Tak hanya itu, negara ini disebut memiliki bahan baku yang cukup untuk membuat ratusan bom lainnya, dengan sistem peluncuran yang tersebar dari pesawat tempur, kapal selam, hingga peluncur berbasis darat.
Dalam laporan yang dirilis International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), organisasi peraih Nobel Perdamaian, Israel tercatat sebagai salah satu dari sembilan negara pemilik senjata nuklir di dunia, bersama Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, Inggris, India, Pakistan, dan Korea Utara. Meski begitu, kekuatan nuklir Israel berada di posisi kedua paling kecil, hanya di atas Korea Utara.
Berbeda dari sebagian besar negara yang memiliki senjata nuklir, Israel tidak menjadi penandatangan Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT). Untuk bergabung sebagai anggota, negara harus terlebih dahulu melepas seluruh arsenal nuklirnya, langkah yang hingga kini belum pernah dilakukan Israel.
Sejak kelahirannya pada 1948, para pemimpin Israel telah menempatkan pembangunan senjata nuklir sebagai prioritas strategis. Komisi Energi Atom Israel dibentuk pada 1952. Pada 1958 dimulailah pembangunan fasilitas nuklir di Dimona, kawasan selatan gurun Negev. Proyek ini dibantu teknisi dan insinyur dari Prancis.
Dalam dokumen intelijen Amerika Serikat yang dideklasifikasi pada 1960 dinyatakan bahwa kompleks Dimona mencakup pabrik pemrosesan ulang bahan nuklir untuk memproduksi plutonium, elemen kunci dalam pembuatan bom nuklir. Arms Control Association menyebut, sejak akhir 1960-an Israel menguasai kemampuan membuat bahan peledak nuklir. Pada 1973, Washington diyakini telah menyadari bahwa Tel Aviv menyimpan bom atom.
Namun, tidak seperti Jepang, Korea Selatan, atau negara-negara NATO yang menikmati perlindungan payung nuklir Amerika Serikat, Israel tidak termasuk dalam sistem perlindungan tersebut. Para analis menilai hal ini sebagai bentuk pengakuan diam-diam bahwa Israel sudah memiliki sistem pencegahan nuklir sendiri.
Fasilitas nuklir Dimona, resmi disebut sebagai Negev Nuclear Research Centre, telah lama menjadi titik sentral dari berbagai spekulasi. Lokasi ini tertutup rapat dari pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan tidak pernah diinspeksi sejak kunjungan terbatas ilmuwan AS pada 1960-an.
Menurut laporan The New York Times, citra satelit dalam lima tahun terakhir menunjukkan ada pembangunan masif di kawasan Dimona. Para ahli menilai proyek ini setidaknya merupakan upaya renovasi besar, bahkan bisa jadi pembangunan reaktor baru yang dapat meningkatkan kapasitas produksi plutonium.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dalam laporan terbaru pada Juni 2024 juga mengonfirmasi adanya peningkatan aktivitas di fasilitas tersebut. Mereka menduga Israel tengah menjalankan modernisasi sistem senjata nuklirnya, termasuk memperbarui sarana produksi di Dimona.
Kebijakan diam Israel sempat terguncang pada 2023, saat Menteri Warisan Israel, Amichai Eliyahu, mengusulkan penggunaan bom nuklir terhadap Gaza dalam konteks perang melawan Hamas. Pernyataan tersebut menuai kecaman luas dan langsung disikapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan menangguhkan Eliyahu dari kabinet.
"Anda perlu tahu kapan harus diam," kecam pengacara HAM internasional Arsen Ostrovsky saat itu dikutip dari India Today.
Israel belakangan kerap membenarkan serangan ke Iran sebagai langkah pencegahan terhadap upaya Teheran mengembangkan bom atom. Namun, justru Tel Aviv sendiri tidak membuka fasilitas nuklirnya untuk pengawasan internasional.
Dalam sidang dewan gubernur IAEA di Wina, Maret 2024, Duta Besar Qatar untuk Austria, Jassim Yacoub Al-Hammadi, menyerukan agar fasilitas nuklir Israel dimasukkan ke dalam pengawasan IAEA dan mendesak Israel bergabung dengan NPT sebagai negara nonnuklir.
Namun hingga kini, resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 487 Tahun 1981 yang menyerukan hal serupa setelah Israel mengebom reaktor nuklir Osirak milik Irak tetap tidak diindahkan.
Kisah Dimona sendiri menarik, karena sempat luput dari radar CIA hingga akhir 1960. Seorang profesor dari University of Michigan, Henry Gomberg, yang menjadi konsultan Komisi Energi Atom Israel, curiga atas skala proyek yang dilihatnya. Ia melaporkan temuan itu kepada duta besar AS dan lembaga energi atom Prancis, yang akhirnya mendorong investigasi lebih lanjut dari CIA.
Pada 7 Desember 1960, Departemen Luar Negeri AS memanggil Duta Besar Israel untuk meminta klarifikasi. Dalam laporan internal kepada Presiden John F. Kennedy, disebutkan bahwa kegagalan CIA mendeteksi proyek itu lebih awal merupakan keberuntungan bagi Israel.
Tak bisa dimungkiri, Prancis memainkan peran besar dalam pembangunan proyek nuklir Israel. Pada 1950-an, Paris khawatir terhadap kebangkitan nasionalisme Arab di bawah Gamal Abdel Nasser dan memandang Israel sebagai sekutu strategis.
Setelah nasionalisasi Terusan Suez pada 1956, Prancis, Inggris, dan Israel melancarkan invasi ke Mesir. Di balik aksi militer itu, Prancis mengirim ratusan teknisi untuk membangun reaktor dan fasilitas pemrosesan plutonium Israel secara rahasia di Negev.
"Ini disampaikan sebagai sesuatu yang harus kami lakukan. Kami berutang kepada Israel, negara yang kami dukung dan cintai," ungkap diplomat Prancis Stephane Hessel dalam wawancara tahun 2011, dikutip dari akun @ajplus.
Insinyur Israel bahkan diizinkan menyaksikan uji coba bom atom Prancis di Sahara, Aljazair. Data dari pengujian itu kemudian digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir Israel sendiri.
Sejumlah sejarawan dan jurnalis meyakini bahwa menjelang Perang Arab-Israel 1967, Israel telah memiliki bom nuklir. Mereka juga diduga bekerja sama dengan rezim apartheid Afrika Selatan dalam uji coba rahasia di laut, yang melanggar Limited Test Ban Treaty. (I-2)
SESUAI dengan putusan PN Jakarta Pusat, sengketa internal di Partai Golkar diselesaikan melalui Mahkamah Partai
IRAN menganggap senjata nuklir tidak manusiawi dan dilarang secara agama. Memiliki senjata nuklir dapat menempatkan Teheran dalam posisi yang lebih rapuh.
OTORITAS Iran pada Senin (30/6) menyatakan bahwa korban tewas akibat serangan Israel selama konflik 12 hari mencapai 935 orang.
PRESIDEN AS Donald Trump melontarkan kecaman tajam terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, atas klaim bahwa Teheran memenangkan konflik 12 hari terakhir dengan Israel.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan bahwa dirinya mengetahui lokasi persembunyian Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, selama konflik 12 hari dengan Israel.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved