Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

Terkuak, Infiltrasi Intelijen Israel di Iran

Dhika Kusuma Winata
05/8/2025 09:17
Terkuak, Infiltrasi Intelijen Israel di Iran
Ilustrasi.(Freepik)

SERANGAN mendadak Israel terhadap Iran selama 12 hari pada Juni lalu tak hanya mengejutkan dunia internasional tetapi juga membuka tabir kerentanan serius di dalam sistem keamanan Republik Islam tersebut. Langkah militer yang diluncurkan saat Iran tengah terlibat dalam negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat itu mengagetkan bahkan bagi pihak internal Teheran meski beberapa negara sempat memberi peringatan mengenai pergerakan mencurigakan Israel.

Menurut laporan Middle East Eye, sumber dari kalangan konservatif Iran menyebut jaringan mata-mata Israel telah lama bercokol di dalam negeri memantau pergerakan pejabat-pejabat penting. Dukungan dari informan bayaran, agen rahasia Mossad, serta jaringan operasi yang disebut-sebut disusupkan di antara migran asal Afghanistan, diyakini mempermudah pelaksanaan serangan secara sistematis dan tepat sasaran.

Sejumlah peretasan terhadap lembaga keuangan dan institusi pemerintahan Iran juga diyakini telah membocorkan data sensitif seperti nomor telepon dan alamat tokoh-tokoh elite serta keluarganya. Data itu menjadi pintu masuk bagi penetrasi lebih dalam.

"Ada beberapa Eli Cohen di dalam Republik Islam juga," ujar sumber tersebut merujuk pada mata-mata legendaris Israel yang dieksekusi di Suriah.

Sasaran operasi terencana

Sudah sejak 2021, mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad pernah membeberkan kepala desk Israel di Kementerian Intelijen Iran ternyata merupakan agen Mossad dan telah ditangkap. Ia saat itu mempertanyakan bagaimana bisa pejabat tertinggi yang ditugasi memantau mata-mata Israel justru merupakan musuh dalam selimut.

Puncak keterkejutan dalam peristiwa pada 17 Juni lalu terjadi hanya empat hari setelah perang dimulai ketika Israel berhasil membunuh perwira militer tertinggi Iran, Ali Shadmani, yang memimpin markas besar Khatam al-Anbiya, pusat komando perang negara tersebut.

Putri Shadmani mengatakan kepada media Iran ayahnya bukan sekadar korban serangan udara acak melainkan menjadi sasaran dalam operasi yang sangat terencana.

"Banyak yang mengira beliau gugur dalam serangan biasa, tetapi sebenarnya ia dibunuh dalam operasi yang ditargetkan secara langsung," ucapnya.

Media berbahasa Ibrani pun merayakan kematian sosok yang mereka sebut sebagai panglima perang Iran dan tokoh militer terdekat dengan Pemimpin Tertinggi Iran.

Tiga insiden disoroti

Fayaz Zahed, anggota Dewan Media Pemerintah Iran, mengungkap lebih banyak rincian dalam wawancara televisi. Ia menyoroti tiga insiden yang memperlihatkan kedalaman infiltrasi Mossad dalam struktur keamanan Iran. 

Dalam salah satu kejadian, Komandan IRGC Hossein Salami dikabarkan memberi peringatan kepada kepala penyiaran negara, Peyman Jebelli, pada pukul 01.30 dini hari pada 13 Juni bahwa Israel akan menyerang malam itu. Hanya 90 menit kemudian, Salami tewas dalam serangan Israel. Hal itu menunjukkan sekalipun ada informasi awal, upaya pencegahan gagal dilakukan.

Zahed juga mempertanyakan sosok yang mengarahkan kepala intelijen IRGC, Mohammad Kazemi, ke sebuah gedung yang dua hari kemudian menjadi sasaran serangan Israel.

Dia menyebutkan insiden lain ketika sembilan jenderal Garda Revolusi berkumpul di markas Gabungan Staf Militer. Israel, menurutnya, tampak telah mengetahui agenda tersebut dan menunggu hingga jenderal ke-10 tiba sebelum meluncurkan serangan.

"Klaim bahwa operasi dimulai setelah satu orang terlambat hadir dalam pertemuan itu bukan perkara sepele," katanya.

Dia menuntut penyelidikan mendalam dari Kementerian Intelijen dan badan intelijen IRGC, memperingatkan kejadian serupa bisa terulang.

Imigran Afghanistan

Salah satu titik rawan yang disebut-sebut turut mempermudah Israel adalah masuknya imigran Afghanistan secara ilegal ke Iran. Orang-orang Afghanistan diyakinu bukan mata-mata Israel tetapi banyaknya migran yang masuk secara tidak resmi, khususnya setelah Taliban berkuasa, menciptakan celah besar bagi agen intelijen Israel.

Langkah Presiden Ebrahim Raisi saat itu untuk melonggarkan perbatasan kini dianggap sebagai kesalahan besar dari sisi keamanan. Beberapa migran bahkan disebut tanpa sadar telah dirancang untuk merakit komponen serangan drone dari dalam wilayah Iran.

"Mereka tidak tahu siapa yang mempekerjakan mereka dan mereka hanya mengikuti instruksi," lanjut sumber tersebut.

Kerapuhan ideologis

Seorang mantan pejabat keamanan menjelaskan Israel mulai menyusupi infrastruktur intelijen Iran sejak dua dekade lalu dengan memanfaatkan kerapuhan ideologis dalam sistem. Ia menilai pemilu Ahmadinejad pada 2005 sebagai titik balik yang melemahkan struktur keamanan.

"Kala itu, para veteran berpengalaman dari era 1980-an disingkirkan dan digantikan oleh generasi baru yang kurang pengalaman di lapangan," ujarnya.

Setelah unjuk rasa Gerakan Hijau pada 2009, banyak pejabat naik pangkat dengan mengedepankan loyalitas kepada Pemimpin Tertinggi dan sikap keras terhadap oposisi. Lingkungan semacam itu, menurutnya, memungkinkan agen asing naik dalam struktur tanpa terdeteksi. Ia juga mengkritik pergeseran fokus sistem keamanan Iran.

"Semakin ideologis sistem ini, semakin besar perhatian mereka untuk menindak perempuan yang tak berjilbab dan pembangkang, alih-alih mengejar mata-mata asing," ungkap sumber tersebut.

Konflik yurisdiksi

Fragmentasi lembaga-lembaga keamanan yang saling tumpang tindih juga disebut memperparah disfungsi internal dan konflik yurisdiksi. Pascaserangan, Kementerian Intelijen mengklaim telah menggagalkan rencana pembunuhan terhadap 23 pejabat tinggi serta menangkap 20 agen Mossad.

Di tengah sorotan publik, nama Ali Shamkhani, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dan penasihat Pemimpin Tertinggi, sempat dikabarkan tewas dalam serangan Israel. Namun, kemudian ia muncul di televisi pemerintah dan menyatakan dirinya sempat terjebak di bawah reruntuhan selama berjam-jam, pernyataan yang justru memicu spekulasi.

"Saya perhatikan wajahnya di televisi, tidak tampak seperti seseorang yang baru saja tertimbun puing selama tiga jam," ujar mantan anggota parlemen Gholamali Jafarzadeh Imenabadi.

Anggota parlemen lainnya Ahmad Bakhshayesh Ardestani menambahkan terdapat ambiguitas serius dalam kasus Shamkhani dan bahkan ada klaim putranya sempat memperingatkan untuk meninggalkan gedung sebelum serangan dimulai. Kecurigaan bertambah lantara dua ajudan Shamkhani sebelumnya pernah ditangkap atas tuduhan memata-matai untuk Israel.

Banyak pihak kini percaya bahwa infiltrasi yang terjadi bukan hanya mendalam dan terencana tetapi juga masih jauh dari selesai. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya