Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

BMKG: Hujan Deras di Musim Kemarau bukan Anomali Iklim

Atalya Puspa
10/7/2024 11:59
BMKG: Hujan Deras di Musim Kemarau bukan Anomali Iklim
Ilustrasi(MI/Ramdani)

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan fenomena hujan deras di musim kemarau yang terjadi belakangan ini bukanlah anomali iklim. Ia mengatakan kondisi tersebut adalah hal yang normal dan wajar terjadi di Indonesia, mengingat letak geografis Indonesia berada di antara dua benua yaitu Australia dan Asia dan dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia.

"Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan. Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering," ungkap Dwikorita.

Ia menjelaskan, meski berstatus musim kemarau, bukan berarti tidak akan turun hujan sama sekali. Musim kemarau sendiri, tidak terjadi secara bersamaan di Indonesia dan berlangsung dengan durasi yang berbeda di setiap wilayah.

Baca juga : Karena Keragaman Iklim, Musim Hujan Tidak Terjadi Serentak. Ini Kata BMKG

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan BMKG, hingga akhir Juni 2024, ada 43% Zona Musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Adapun puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024, mencakup 77,27% wilayah zona musim.

Meskipun musim kemarau sedang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, kata dia, namun tidak selalu menunjukkan kondisi iklim yang kering dan panas, karena keragaman iklim di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi musim. Diterangkan Dwikorita bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia yaitu faktor global misalnya fenomena El Nino/La Nina, faktor regional misalnya Madden Julian Oscillation dan menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, dan faktor lokal misalnya adanya angin darat-angin laut.

"Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut," imbuhnya.

Baca juga : 79% Wilayah Indonesia Sudah Masuk Musim Kemarau

Hujan Dipicu Fenomena Madden Julian Oscillation

Mengenai fenomena hujan lebat dalam beberapa hari terakhir di beberapa wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Barat, Jakarta, dan Maluku, lanjut Dwikorita, hal itu disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang cukup signifikan. Di antaranya, termonitornya aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.

MJO adalah aktivitas dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah tropis, di mana terdapat pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Benua Maritim Indonesia. Fenomena ini, tambah dia, sifatnya temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang wilayah Khatulistiwa.

MJO sendiri, lanjut Dwikorita, memiliki perbedaan dalam skala ruang dan waktu dengan musim kemarau. Jika musim kemarau terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia dan berlangsung selama berbulan-bulan, maka MJO hanya terjadi di wilayah yang dilewatinya dan hanya berlangsung dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu.

Baca juga : Sejumlah Wilayah Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sepekan ke Depan

Fenomena MJO ini bisa mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan adanya periode hujan yang lebih intens, sekalipun itu di musim kemarau.

"Dalam beberapa hari terakhir, terjadi fenomena cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan mempengaruhi pembentukan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Pada periode tanggal 3 - 6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan," jelasnya.

Fenomena MJO ini telah terdeteksi sejak 28 Juni, sehingga sejak tanggal tersebut BMKG telah mengeluarkan Peringatan Dini potensi hujan lebat.

Baca juga : Hujan di Musim Kemarau, Begini Penjelasan BMKG

"Nah, daerah-daerah seperti Sumatra bagian selatan, Jawa (termasuk Jabodetabek), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian selatan mengalami kondisi atmosfer yang mendukung pembentukan awan hujan, sehingga curah hujan meningkat di wilayah-wilayah tersebut," tambah dia.

Lebih lanjut Dwikorita mengatakan, selain dipengaruhi iklim dan dinamika atmosfer, tipe hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi topografi. Kondisi topografi wilayah Indonesia yang merupakan daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan faktor lokal yang dapat menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia.

"Keragaman iklim inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia terbagi menjadi banyak zona musim, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal di mana masing-masing tipe zona memiliki periode waktu terjadinya musim hujan dan musim kemarau yang berbeda," paparnya. (Z-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya