Karut-marut Politik Pendidikan di Indonesia Mesti Diperbaiki

Despian Nurhidayat
22/6/2024 13:00
Karut-marut Politik Pendidikan di Indonesia Mesti Diperbaiki
Pimpinan kampus UGM berdialog dengan mahasiswa yang melakukan aksi berkemah di Balairung UGM, Sleman, D.I Yogyakarta , Kamis (30/5/2024)(ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

REKTOR Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini mengatakan bahwa uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal disebabkan alokasi anggaran pendidikan tinggi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) hanya 1,1% atau Rp7 triliun dari total anggaran 20% yang harus dialokasikan kepada sektor pendidikan secara keseluruhan.

“Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dipaksa untuk mencari anggaran sendiri dengan cara mengeruk uang dari mahasiswa sehingga pendidikan tinggi tidak lebih dari pasar, ada uang ada barang,” ungkapnya, Sabtu (22/6).

Lebih lanjut, Didik menambahkan bahwa PTN ini akhirnya melupakan kualitas dan tugas untuk membangun daya saing bangsa, mandek untuk mencari inovasi teknologi untuk kemajuan, dan tertinggal dalam riset mendalam.

Baca juga : Tolak Pinjol Jadi Opsi Bayar UKT, Komisi X DPR Usul Perbaharui Struktur Anggaran Pendidikan

“Mereka kemudian menumpuk mahasiswa melakukan pola pengejaran ala kursus-kursus yang lazim ada di banyak kota di Indonesia. Karena itu, setidaknya 10-20 universitas utama di Indonesia hanya menjadi universitas kelas underdog di Asia, apalagi di dunia. Tidak usah dibandinGKAN dengan NUS di Singapura (ranking 8 dunia), dengan Maklaysia (UKM) saja ketinggalan jauh,” tegasnya.

Menurut Didik, dosen dan mahasiswa Indonesia mesti tahu bahwa alokasi untuk pendidikan tinggi memang tidak mendapat perhatian yang memadai, atau bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali diperhatikan dengan baik dan wajar sebagaimana amanat konstitusi, warga negara berhak mendapat pendidikan yang baik (pasal 31 UUD 1945).

“Perguruan tinggi swasta apalagi, bukan hanya tidak diperhatikan, tetapi justru dibedakan statusnya, dianaktirikan dan ada perlakuakan semacam rasisme pendidikan tinggi. Jadi ribuan perguruan tinggi yang didirikan oleh inisiatif masyarakat, tanpa dukungan dana negara, tidak mendapat kucuran anggaran pendidikan tersebut kecuali secuil anggaran pengabdian masyarakat atau penelitian, yang tidak pasti, kadang ada dan kadang tidak,” kata Didik.

Baca juga : Hanya Tunda Kenaikan UKT, Nadiem Dinilai Cuci Tangan dan Gagal Paham Akar Masalah

Dia juga mengatakan bahwa keberadaan perguran tinggi di kementerian lain atau lembaga lain di luar Kemendikbud-Ristek memakan dana tersebut empat kali atau 400% lebih banyak dari PTN di bawah Kemendikbud-Ristek.

“Jumlahnya sangat besar yakni Rp32 triliun. Ini merupakan bentuk politik pendidikan tinggi yang anomali dan menyimpang. Bahkan setiap mahasiswa di kementrian seperti ini ada mark up gila-gilaan karena ratio biaya APBN per mahasiswa di kementrian-kementrian ini jauh lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud-Ristek yang diperkirakan dan ada indikasi mencapai Rp60 juta per mahasiswa,” ujar Didik.

“Sementara itu, perguruan tinggi negeri lain di bawah Kemendikbud-Ristek hanya Rp10 juta atau Rp15 juta per mahasiswa. Ini jelas merupakan praktek mark up anggaran yang tidak wajar,” lanjutnya.

Baca juga : Kenaikan UKT PTN untuk 2024 Akhirnya Dibatalkan

Menurutnya, PTN di bawah Kemendikbud-Ristek mengerahkan tenaga mencari uang dari mahasiswa sehingga uang kuliah mahal. Sementara itu, PTN di bawah kementerian lain tinggal terima dana APBN.

“Saya mengusulkan perguruan tinggi di luar Kemendikbud-Ristek pada jurusan umum lebih baik dibubarkan saja atau bergabung dengan Kemendikbud-Ristek. Keahlian seperti  akuntansi, ilmu Politik pemerintahan, ilmu sosial, kebijakan publik, dan sejenisnya sudah tidak langka lagi dan bisa dihasilkan oleh perguruan tinggi pada umumnya.  Ini dilakukan agar tidak ada lagi keistimewaan anggaran yang belebihan. Kementerian tersebut fokus pada tugas pokoknya, yang kebanyakan juga bermasalah,” ucap Didik.

Didik menilai semua hal yang memprihatinkan ini bisa dilihat dari bagaimana alokasi anggaran pendidikan tinggi dan pendidikan secara keseluruhan, yang salah sasaran. Alokasi anggaran yang diamanatkan konstitusi jelas, yakni 20% untuk pendidikan.

Baca juga : Lulusan Perguruan Tinggi Mesti Adaptif Hadapi Tantangan Global

“Dari 20% dana pendidikan atau Rp665 triliun tersebut, lebih dari separuh tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi untuk pendidikan dan pengeluaran yang tidak jelas dan tidak terkait dengan pendidikan,” lanjutnya.

Didik menegaskan sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.  Untuk mendapat pendidikan tersebut, maka amanat konstitusi tegas, yakni memandatkan pemerintah sekurang-kurangnya 20% dialokasikan untuk pendidikan.

Namun, dia menilai fakta di lapangan seperti uang kuliah mahal, protes mahasiswa Indonesia, perguruan tinggi negeri tidak mendapat alokasi yang memadai, ada indikasi mark up biaya pendidikan tinggi  di luar Kemendikbud-Ristek, dan banyak masalah lain menandakan adanya penyimpangan politik pendidikan.

Ini dikatakan menjadi pelanggaran yang terkait konstitusi dan mungkin menjadi titik lemah di politik nasional karena bisa dipakai sebagai pintu masuk pemakzulan di kala pemerintah lemah. Masalah ini bisa ditarik sebagai pelanggaran atas konstitusi, yakni pasal 31 UUD 1945.

“Sebaiknya pemerintah baru memikirkan karut-marut politik pendidikan seperti sekarang ini, khususnya politik pendidikan tinggi. Arah alokasi dana yang menyimpang mesti diperbaiki,” pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya