Perguruan Tinggi di Indonesia Alami Tekanan Tinggi Sebab Tuntutan Publikasi

Despian Nurhidayat
18/7/2025 08:52
Perguruan Tinggi di Indonesia Alami Tekanan Tinggi Sebab Tuntutan Publikasi
Ilustrasi(Dok.MI)

WAKIL Rektor Bidang Mutu dan Kerja Sama Universitas Paramadina, Iin Mayasari, mengatakan bahwa perguruan tinggi sedang mengalami tekanan yang cukup tinggi karena tuntutan untuk publikasi

“Tuntutan publikasi ini berasal dari pencapaian untuk tetap mempertahankan peringkat universitas dan peraturan untuk publikasi. Universitas yang menginginkan untuk mendapatkan peringkat bagus, misalnya melalui QS World University Rankings, universitas berusaha menggunakan kualitas dan jumlah publikasi ilmiah sebagai indikator utama penilaian kinerja universitas,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Jumat (18/7). 

Lebih lanjut, menurutnya perguruan tinggi juga menggunakan publikasi yang terindeks dalam database terkenal yaitu Scopus dan Web of Science dan jumlah sitasi yang diterima sebagai faktor utama dalam meningkatkan peringkat sebuah perguruan tinggi.

Perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya menerapkan sistem insentif dan promosi akademik yang berfokus pada kuantitas publikasi, terutama di jurnal internasional yang dapat diakui oleh  dunia akademisi. 

Kondisi ini lah yang menuntut para dosen untuk selalu menulis banyak dalam waktu singkat dengan mengabaikan kualitas dan integritas penelitian. 

“Dosen juga terjebak untuk melakukan sejumlah hal. Pertama menggunakan penelitian mahasiswa dan mengakui sebagai penelitian sendiri atau menggunakan tugas-tugas mahasiswa di perkuliahan yang dipublikasi langsung oleh dosen,” kata dia. 

“Kedua, menggunakan strategi salami slicing. Misalnya satu studi penelitian yang utuh dibagi menjadi bagian yang lebih kecil dan dipublikasikan sebagai artikel yang berbeda secara terpisah,” lanjut Iin. 

Dia menjelaskan bahwa data yang ada akan dipecah-pecah menjadi bagian dari penelitian tersendiri. Makna salami itu seperti mengiris tipis sosis salami yang menunjukkan sebuah penelitian yang luas dipecah menjadi ‘irisan-irisan’, yang tampaknya merupakan penelitian terpisah, padahal sebenarnya sebagai bagian penelitian besar. 

Dorongan untuk banyak publikasi juga menjadikan para dosen untuk mempublikasikan pada jurnal praktik tidak sehat misalnya publikasi di jurnal predator dengan pembayaran publikasi mahal, tanpa standar peer-review yang baik, dan manipulasi kutipan, serta afiliasi ganda untuk meningkatkan jumlah publikasi.

Setiap universitas seharusnya memiliki standar dan peraturan tentang etika riset, pemahaman dan pelaksanaan peraturan tersebut secara konsisten masih sulit.  

“Pelanggaran yang biasanya sering terjadi termasuk fabrikasi (membuat data palsu), falsifikasi (memanipulasi data), dan plagiarisme (mengambil karya orang lain tanpa atribusi),” ujar Iin. 

“Selain itu, juga ada fenomena ghostwriting. Para dosen atau profesor atau bisa menggunakan seorang ghostwriter untuk menulis draf awal artikel, bab buku, atau bahkan proposal penelitian.  Para dosen kemudian melakukan perubahan kecil atau menambah namanya sebagai penulis utama tanpa memberikan penghargaan yang layak kepada ghostwriter,” sambungnya. 

Di tingkat perguruan tinggi, terkait sistem pengawasan terhadap integritas riset belum sepenuhnya dijalankan dengan baik. Terdapat mekanisme pelaporan yang tidak dikelola baik, sehingga semua penelitian dilakukan asal jadi. 

Reviewer internal juga belum berjalan optimal. Selain, itu dewan kode etik di perguruan tinggi juga belum optimal untuk menjalankan autoritasnya, karena bersamaan dengan tuntutan adanya kebutuhan untuk publikasi dengan segera. 
 
“Maka dari itu, laporan Research Integrity Risk Index (RI2) ini bisa memberikan pandangan sisi lain. Ada perdebatan terkait validitas indeks ini secara khusus, namun terkait dengan integritas akademik perlu ada diskusi secara lebih serius baik di tingkat pemerintah dan universitas,” tuturnya. 

“Untuk memperbaiki Research Integrity Risk Index di Indonesia, membutuhkan upaya holistik yang melibatkan perbaikan sistem penilaian  kinerja universitas, pemberian insentif, penguatan etika penelitian, menanamkan budaya akademik berintegritas, dan menguatkan kejujuran,” pungkas Iin. (Des/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya