Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KOMNAS Perempuan mengecam tindakan intoleransi yang disertai tindakan kekerasan oleh sekelompok warga terhadap sejumlah mahasiswa/i Universitas Pamulang yang sedang melaksanakan acara keagamaan yaitu Doa Rosario pada Minggu (5/5) lalu di Babakan, Cisauk, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Komnas Perempuan menyayangkan keberadaan aparatur pemerintah dan penegak hukum yang seharusnya memberikan jaminan keamanan terhadap pelaksanaan ibadah Rosario namun terindikasi justru semakin memperkeruh keadaan dan tidak menerima penjelasan korban.
Tindakan intoleransi disertai kekerasan oleh sejumlah warga itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan untuk menyatakan agama dan/atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Baca juga : Kasus Kekerasan di Pamulang, Kemenag Apresiasi Farhan Rizky Romadon
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang khawatir intoleransi dan kekerasan sebagai pola umum yang digunakan untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas keagamaan warga karena dianggap menggangu ketertiban umum.
"Pelaksanaan Doa Rosario yang dilakukan mahasiswa/i merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak beragama yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Aparatur negara mempunyai kewajiban penuh untuk memberikan jaminan perlindungan," kata Veryanto dalam keterangan resmi, Senin (13/5).
Adanya keragaman kelompok etnik dan agama di dalam masyarakat, tegas dia, perlu menjadi perhatian aparatur negara dalam menciptakan ruang-ruang toleransi, saling menghargai untuk mengikis ruang-ruang segregasi yang dapat memicu kebencian yang melahirkan intoleransi dan kekerasan.
Baca juga : 4 Tersangka Kasus Pembubaran Ibadah Doa Rosario Mahasiswa di Tangerang Terancam 10 Tahun Penjara
Senada dengan Veryanto, Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti menyampaikan empati kepada para mahasiswi/mahasiswa yang mengalami kekerasan, ketakutan, dan trauma pascatindakan intoleransi tersebut.
"Pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan perlu memastikan langkah-langkah pendampingan dan pemulihan dari trauma pada para mahasiswi/mahasiswa sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban negara pada pemenuhan hak korban," tegas Dewi.
Dia juga mengingatkan agar peristiwa Cisauk ini, jika tidak ditangani secara tepat dan cepat dengan mendasarkan pada hak asasi manusia dan konstitusi akan bisa menjadi pembenaran pada tindakan-tindakan serupa yang akan merusak nilai kebhinnekaan dan keragaman.
Baca juga : Pembunuhan Perempuan Terus Terjadi, Mengapa?
Tindakan intolerasi dan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda agama dan keyakinan menunjukan bahwa kesadaran hidup dalam perbedaan di tataran akar rumput masih rapuh.
Sebab itu, pendekatan hak asasi manusia dan konstitusi dalam penanganan kasus-kasus intoleransi atas nama agama dan keyakinan menjadi penting. Cara-cara penanganan secara sembunyi-sembunyi dan perdamaian semu harus dihindarkan. Sebab hanya akan menyelesaikan persoalan dipermukaan namun menyisakan luka di dalam.
Komisoner Komnas Perempuan Nahe'i menambahkan penanganan peristiwa intoleransi juga penting untuk melibatkan kelompok perempuan dalam membangun rekonsiliasi keberlanjutan, sehingga terbangun nilai toleransi atas keberagaman, serta membangun rasa damai antar kelompok yang beragam.
Baca juga : Kekerasan Perempuan di Ranah Negara Naik Tajam
Pemerintah Daerah juga penting untuk memastikan perempuan korban intoleransi serta keluarganya mendapatkan rehabilitasi sosial berkelanjutan.
Nahe'i menyampaikan, dalam peristiwa intoleransi yang terjadi dalam Catatan Komnas Perempuan (Catahu) sering kali mengabaikan peran perempuan dalam upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi pasca konflik.
Nahe'i pun mengapreasisi langkah cepat aparat penegak hukum yang melakukan penanganan dan tindakan pada pelaku intoleransi dan kekerasan.
Namun, Nahe'i mengingatkan bahwa dalam penyelesaian penanganan tindakan intoleransi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga mempunyai kewajiban membangun rekonsiliasi berkelanjutan untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa di masa mendatang.
Penanganan belum selesai selama belum ada rehabilitasi berkelanjutan bagi semua pihak yang melibatkan berbagai pihak. Penanganan serupa juga diharapkan untuk kasus-kasus intoleransi yang pernah terjadi yang hingga saat ini belum ada penanganan yang komprehensif.
Nahe'i, Dewi Kanti, dan Veriyanto Sitohang merupakan komisioner yang mengampu Gugus Kerja Perempuan dalam Kebhinekaan (GKPK) yang merupakan unit kerja Komnas Perempuan untuk persoalan intoleransi dan dampaknya pada perempuan.
Berdasarkan informasi awal yang diperoleh mereka pada kasus ini, Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Agama berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pada Pemerintah Daerah Provinsi Banten dan Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan agar melakukan langkah-langkah penanganan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan HAM dan konstitusi.
Kemudian, Pemerintah Daerah diminta melibatkan peran perempuan dalam membangun rekonsiliasi berkelanjutan untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa di masa mendatang, membangun upaya damai berkelanjutan.
Kementerian Agama harus mengevaluasi program moderasi beragama dan peran-peran FKUB agar benar-benar menjadi ruang perjumpaan dan ruang kerja bersama antar umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, mendorong Kepolisian Tanggerang Selatan di bawah pengawasan Polda Banten melakukan proses hukum dan menjamin rasa aman terhadap masyarakat dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
GKPK diamanatkan oleh Sidang Komisi Paripurna untuk melakukan pemantauan lebih lanjut sebagai basis untuk penyikapan yang lebih utuh Komnas Perempuan atas peristiwa tersebut, sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi respon atas desakan masyarakat sipil untuk lembaga HAM membuat pencarian fakta dan rekomendasi penanganan yang komprehensif. (Z-1)
Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2024 telah terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan 2023.
AMNESTY International merilis laporan tahunan 2024 yang mengungkapkan bahwa praktik otoritarian semakin menjangkiti negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Bupati Kebumen Lilis Nuryani mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berani melapor jika terjadi kekerasan.
Berdasarkan data UPTD PPA, sebanyak 13 orang merupakan perempuan. Sisanya 5 orang anak laki-laki dan 7 orang anak perempuan.
WAKIL Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira menyoroti kejahatan yang terus dilakukan oleh kekerasan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Sepanjang 2024 terdapat 31.947 kasus kekerasan dengan 27.658 kasus di antaranya dialami perempuan.
"Walaupun grupnya sudah ditutup, bukan berarti enggak bisa dikejar ya, pasti bisa dikejar siapa adminnya, siapa yang mengelolanya."
DALAM rangka Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025 atau May Day 2025, Komnas Perempuan menyerukan kepada negara dan pelaku usaha untuk memperkuat upaya mewujudkan keadilan,
Komnas Perempuan juga mengapresiasi respon cepat aparat penegak hukum, dalam hal ini Polda Jawa Barat, yang telah menangkap dan menetapkan pelaku
Komnas Perempuan memandang kematian Juwita dikategorikan femisida.
Komnas Perempuan juga telah menggagas pedoman untuk membangun organisasi yang inklusif serta pedoman bebas kekerasan berbasis gender yang telah menjadi rujukan banyak pihak.
KOMNAS Perempuan mencatat dalam rentang 2020-2024, sekurangnya terdapat 190 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh TNI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved