Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kekerasan Terhadap PRT Terus Meningkat, Pengesahan RUU PPRT Diminta jangan Gagal Lagi

Devi Harahap
25/2/2024 17:45
Kekerasan Terhadap PRT Terus Meningkat, Pengesahan RUU PPRT Diminta jangan Gagal Lagi
Aksi unjuk rasa meminta pengesahan RUU PPRT(MI/M Irfan)

BERBAGAI kisah dari pekerja rumah tangga atau PRT kerap kali menjadi korban kekerasan oleh pemberi kerja. Di balik peran penting mereka menyelesaikan berbagai tugas domestik rumah tangga, ternyata hal itu tidak sebanding dengan adanya perlindungan hukum yang layak. 

Proses legislasi RUU PPRT yang terus digantung selama 19 tahun menjadi bukti bahwa perlindungan PRT masih begitu minim.

Berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat 3308 kasus kekerasan PRT sepanjang 2021 sampai dengan Februari 2024. 

Baca juga : Marak Kasus Kekerasan PRT, Baleg Percepat Pembahasan RUU PPRT

Sementara itu, sejak 2012 hingga 2022, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung terus naik, data kompilasi kekerasan terhadap PRT yang dihimpun Komnas Perempuan selama 2005 hingga 2022 memaparkan telah terjadi sekitar 2.344 kasus kekerasan.

Koordinator Jala PRT Lita Anggraini mengungkapkan kasus kekerasan itu dapat berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, perdagangan manusia, dan tidak jarang gabungan semua itu, yakni berupa multi-kekerasan yang ujung-ujungnya menyebabkan PRT harus meregang nyawa. 

Namun sayangnya, kekerasan terhadap PRT belum dianggap masyarakat sebagai sebuah kekerasan.

Baca juga : Duh, Indonesia Jadi Korban Bully karena Tidak Miliki Regulasi Perlindungan PRT

“Berbagai kasus kekerasan yang ada menggambarkan bahwa situasi PRT saat ini berada dalam perbudakan modern, karena mereka bekerja dalam lingkup eksploitasi dan mengalami pelecehan dan kekerasan. Selama ini, kekerasan juga diartikan hanya bisa dilakukan pada suami ke istri atau orangtua ke anak, padahal kekerasan dari pemberi kerja ke PRT juga bentuk kekerasan,” jelasnya saat konfrensi pers pada Minggu (25/2).

Baru-baru ini terkuak beberapa kasus kekerasan terhadap PRT yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Isabella velus. Diketahui, sejak September 2023 atau 6 bulan selama bekerja, dirinya disekap dan dilarang berkomunikasi bahkan mendapatkan kekerasan fisik dan dipukuli dengan berbagai benda tumpul. Tak hanya itu, Isabella juga gajinya tak dibayarkan dan tidak diberi makan.

“Dia akhirnya menyelamatkan diri dengan memanjat pagar tembok untuk meminta makan dan akhirnya ditolong warga sekitar. Jadi Isabella itu adalah korban dari perdagangan manusia, bukan hanya kekerasan tenaga kerja. Artinya bekerja di rumah berlatar tembok pagar tinggi, yang kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam di dalamnya tanpa ada perlindungan adalah hal yang berbahaya. Maka penting mengapa kita mendesak DPR untuk segera membahas dan membiasakan RUU ini,” ungkapnya.

Baca juga : NU Dorong RUU Perlindungan PRT Segera Disahkan

Aktivis Perempuan dari Organisasi Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika mengatakan bahwa urgensitas pengesahan RUU PPRT bukan hanya untuk PRT sebagai pekerja melainkan pemberi kerja. Dikatakan bahwa semakin memperpanjang masa mandek RUU, maka akan sebanding dengan tingginya korban.

“Jika pengesahan ini terus ditunda maka akan lebih banyak dan bertambah lagi korban PRT yang berjatuhan dan harus bekerja dalam situasi yang sangat tidak manusiawi. Menunda pengesahan satu hari saja, sama artinya dengan menambah korban 10 hingga 11 orang PRT yang menjadi korban kekerasan,” jelasnya.

Sementara itu, Staf Divisi Perubahan Hukum LBH Apik Jakarta, Dian Novita mengatakan, proses pengesahan RUU PPRT harus segera dilaksanakan tahun ini sebab jika tidak, prosesnya akan mengulang kembali dari awal dan memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan berpotensi akan sulit masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Baca juga : Dorong Pengesahan RUU PPRT, Komnas HAM bakal Temui DPR RI

“Tidak ada alasan untuk menunda pembahasan dari RUU PPRT karena dari daftar inventaris masalah sudah dikeluarkan oleh pemerintah pada 2023. Jadi saat ini bagaimana caranya agar ada ketok palu supaya ada pembukaan pembahasan antara pemerintah dan DPR, jika hal ini tidak disegerakan maka RUU PPRT akan kembali tersingkir dan proses legislasinya menghilang dari awal,” jelasnya.

Novi menjelaskan sejumlah daerah tidak sekali-dua kali muncul kasus PRT yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan majikannya. Selain upah yang jauh dari layak, fasilitas yang tidak memadai, dan jam kerja yang panjang, tidak jarang ada PRT yang meninggal karena dianiaya majikannya.

“Pada 2023 Indonesia masih memiliki kasus-kasus yang sangat dekat dengan perbudakan, mereka tidak digaji dengan layak, tidak diberikan jaminan kesehatan, jaminan sosial lainnya dan tidak diberikan makan, bahkan disiksa dengan sedemikian rupa," ujar Novi.

Baca juga : 2 Oknum Polisi Dalangi Pencurian dengan Kekerasan di Garut

Novi menyatakan, keadaan itu diperparah dengan sikap pemerintah yang sampai saat ini masih menggantung pembahasan RUU PPRT karena menganggap bahwa pekerja rumah tangga bukan bagian dari pekerja. Hal ini bagi Novi merupakan salah satu latar belakang mengapa kasus-kasus kekerasan terhadap pekerjaan rumah tangga itu masih terus terjadi.

“Ini adalah soal pemerintah memiliki political will atau tidak untuk menyusun UU ini, meskipun persoalan PRT sudah masuk dalam UU PKDR tapi kenyataan di lapangan belum bisa mengcover semua permasalah PRT dan belum mampu memberikan perlindungan terhadap PRT,” jelasnya.

Diketahui pada 12 Februari 2024, telah terjadi kekerasan terhadap 5 orang PRT di Jatinegara di Jakarta Timur. 4 orang diantaranya PRT Anak masih berusia, 15-17 tahun. Selama bekerja, dokumen mereka ditahan, tidak mendapat makan secara layak, mengalami kekerasan baik secara psikis, fisik dan ekonomi upah yang tidak dibayar.

Baca juga : Tanpa UE, Spanyol Tetap Sanksi Pemukim Israel

Selama bekerja mereka disekap dalam rumah yang berpagar tinggi dikelilingi kawat berduri. Mereka tidak tahan dengan situasi tersebut dan kemudian terpaksa menyelamatkan dengan memanjat pagar berduri di dini hari. Beberapa terjatuh dan mengalami luka-luka dan kemudian ditolong oleh warga sekitar dan kasus dalam investigasi Polres Jakarta Timur.

Novi tak mengelak sangat sulit mendampingi korban kekerasan PRT lantaran hukum perlindungan yang tidak kuat dalam UU PKDRT. Hakim sering kali memberi vonis hukum jauh lebih ringan daripada yang seharusnya.

“Menurut kami itu dan kesulitan dalam pendampingan hukum karena belum ada UU PPRT sendiri, sehingga hukuman korban sangat ringan sekali. Misalnya kasus KDRT PRT Khotimah, pelaku hanya dikumum hanya 4 tahun penjara 5 tahun atas tindakan penyiksaan yang tidak manusiawi,” jelasnya. (Z-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya