Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BERBAGAI kisah dari pekerja rumah tangga atau PRT kerap kali menjadi korban kekerasan oleh pemberi kerja. Di balik peran penting mereka menyelesaikan berbagai tugas domestik rumah tangga, ternyata hal itu tidak sebanding dengan adanya perlindungan hukum yang layak.
Proses legislasi RUU PPRT yang terus digantung selama 19 tahun menjadi bukti bahwa perlindungan PRT masih begitu minim.
Berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat 3308 kasus kekerasan PRT sepanjang 2021 sampai dengan Februari 2024.
Baca juga : Marak Kasus Kekerasan PRT, Baleg Percepat Pembahasan RUU PPRT
Sementara itu, sejak 2012 hingga 2022, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung terus naik, data kompilasi kekerasan terhadap PRT yang dihimpun Komnas Perempuan selama 2005 hingga 2022 memaparkan telah terjadi sekitar 2.344 kasus kekerasan.
Koordinator Jala PRT Lita Anggraini mengungkapkan kasus kekerasan itu dapat berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, perdagangan manusia, dan tidak jarang gabungan semua itu, yakni berupa multi-kekerasan yang ujung-ujungnya menyebabkan PRT harus meregang nyawa.
Namun sayangnya, kekerasan terhadap PRT belum dianggap masyarakat sebagai sebuah kekerasan.
Baca juga : Duh, Indonesia Jadi Korban Bully karena Tidak Miliki Regulasi Perlindungan PRT
“Berbagai kasus kekerasan yang ada menggambarkan bahwa situasi PRT saat ini berada dalam perbudakan modern, karena mereka bekerja dalam lingkup eksploitasi dan mengalami pelecehan dan kekerasan. Selama ini, kekerasan juga diartikan hanya bisa dilakukan pada suami ke istri atau orangtua ke anak, padahal kekerasan dari pemberi kerja ke PRT juga bentuk kekerasan,” jelasnya saat konfrensi pers pada Minggu (25/2).
Baru-baru ini terkuak beberapa kasus kekerasan terhadap PRT yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Isabella velus. Diketahui, sejak September 2023 atau 6 bulan selama bekerja, dirinya disekap dan dilarang berkomunikasi bahkan mendapatkan kekerasan fisik dan dipukuli dengan berbagai benda tumpul. Tak hanya itu, Isabella juga gajinya tak dibayarkan dan tidak diberi makan.
“Dia akhirnya menyelamatkan diri dengan memanjat pagar tembok untuk meminta makan dan akhirnya ditolong warga sekitar. Jadi Isabella itu adalah korban dari perdagangan manusia, bukan hanya kekerasan tenaga kerja. Artinya bekerja di rumah berlatar tembok pagar tinggi, yang kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam di dalamnya tanpa ada perlindungan adalah hal yang berbahaya. Maka penting mengapa kita mendesak DPR untuk segera membahas dan membiasakan RUU ini,” ungkapnya.
Baca juga : NU Dorong RUU Perlindungan PRT Segera Disahkan
Aktivis Perempuan dari Organisasi Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika mengatakan bahwa urgensitas pengesahan RUU PPRT bukan hanya untuk PRT sebagai pekerja melainkan pemberi kerja. Dikatakan bahwa semakin memperpanjang masa mandek RUU, maka akan sebanding dengan tingginya korban.
“Jika pengesahan ini terus ditunda maka akan lebih banyak dan bertambah lagi korban PRT yang berjatuhan dan harus bekerja dalam situasi yang sangat tidak manusiawi. Menunda pengesahan satu hari saja, sama artinya dengan menambah korban 10 hingga 11 orang PRT yang menjadi korban kekerasan,” jelasnya.
Sementara itu, Staf Divisi Perubahan Hukum LBH Apik Jakarta, Dian Novita mengatakan, proses pengesahan RUU PPRT harus segera dilaksanakan tahun ini sebab jika tidak, prosesnya akan mengulang kembali dari awal dan memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan berpotensi akan sulit masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Baca juga : Dorong Pengesahan RUU PPRT, Komnas HAM bakal Temui DPR RI
“Tidak ada alasan untuk menunda pembahasan dari RUU PPRT karena dari daftar inventaris masalah sudah dikeluarkan oleh pemerintah pada 2023. Jadi saat ini bagaimana caranya agar ada ketok palu supaya ada pembukaan pembahasan antara pemerintah dan DPR, jika hal ini tidak disegerakan maka RUU PPRT akan kembali tersingkir dan proses legislasinya menghilang dari awal,” jelasnya.
Novi menjelaskan sejumlah daerah tidak sekali-dua kali muncul kasus PRT yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan majikannya. Selain upah yang jauh dari layak, fasilitas yang tidak memadai, dan jam kerja yang panjang, tidak jarang ada PRT yang meninggal karena dianiaya majikannya.
“Pada 2023 Indonesia masih memiliki kasus-kasus yang sangat dekat dengan perbudakan, mereka tidak digaji dengan layak, tidak diberikan jaminan kesehatan, jaminan sosial lainnya dan tidak diberikan makan, bahkan disiksa dengan sedemikian rupa," ujar Novi.
Baca juga : 2 Oknum Polisi Dalangi Pencurian dengan Kekerasan di Garut
Novi menyatakan, keadaan itu diperparah dengan sikap pemerintah yang sampai saat ini masih menggantung pembahasan RUU PPRT karena menganggap bahwa pekerja rumah tangga bukan bagian dari pekerja. Hal ini bagi Novi merupakan salah satu latar belakang mengapa kasus-kasus kekerasan terhadap pekerjaan rumah tangga itu masih terus terjadi.
“Ini adalah soal pemerintah memiliki political will atau tidak untuk menyusun UU ini, meskipun persoalan PRT sudah masuk dalam UU PKDR tapi kenyataan di lapangan belum bisa mengcover semua permasalah PRT dan belum mampu memberikan perlindungan terhadap PRT,” jelasnya.
Diketahui pada 12 Februari 2024, telah terjadi kekerasan terhadap 5 orang PRT di Jatinegara di Jakarta Timur. 4 orang diantaranya PRT Anak masih berusia, 15-17 tahun. Selama bekerja, dokumen mereka ditahan, tidak mendapat makan secara layak, mengalami kekerasan baik secara psikis, fisik dan ekonomi upah yang tidak dibayar.
Baca juga : Tanpa UE, Spanyol Tetap Sanksi Pemukim Israel
Selama bekerja mereka disekap dalam rumah yang berpagar tinggi dikelilingi kawat berduri. Mereka tidak tahan dengan situasi tersebut dan kemudian terpaksa menyelamatkan dengan memanjat pagar berduri di dini hari. Beberapa terjatuh dan mengalami luka-luka dan kemudian ditolong oleh warga sekitar dan kasus dalam investigasi Polres Jakarta Timur.
Novi tak mengelak sangat sulit mendampingi korban kekerasan PRT lantaran hukum perlindungan yang tidak kuat dalam UU PKDRT. Hakim sering kali memberi vonis hukum jauh lebih ringan daripada yang seharusnya.
“Menurut kami itu dan kesulitan dalam pendampingan hukum karena belum ada UU PPRT sendiri, sehingga hukuman korban sangat ringan sekali. Misalnya kasus KDRT PRT Khotimah, pelaku hanya dikumum hanya 4 tahun penjara 5 tahun atas tindakan penyiksaan yang tidak manusiawi,” jelasnya. (Z-5)
Anak harus memahami dan menghargai diri dan lingkungan serta mengetahui konsekuensi hukum dan akibat dari kekerasan/perundungan.
Selain itu, anak-anak juga perlu dilatih untuk berani bersuara terhadap berbagai hal negatif yang dialaminya, misalnya dari tindak kekerasan.
Kasus KDRT cukup banyak dialami oleh pasangan, baik yang masih dalam status pacaran maupun menikah
Dinas Pendidikan Pemkab Sumedang bertekad Meminimalkan terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap anak, utamanya di lingkungan sekolah.
Saat demonstrasi hari Kamis (22/8) misalnya, korban yang sempat dievakuasi ke kampus Unisba mencapai 16 orang.
Seorang perempuan berusia 30-an menderita luka ringan tetapi tidak memerlukan perawatan apa pun.
Dari hasil interogasi, rencananya 48 orang itu akan diberangkatkan ke Abu Dhabi dan Arab Saudi untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga melalui sebuah perusahaan PT. HKN
Polisi menyebut ada tujuh korban dari kasus tersebut yakni terdiri dari enam perempuan warga negara Indonesia dan satu perempuan warga negara Maroko
Tersangka memberikan upah Rp60 ribu per anak. Uang tersebut akan dibayarkan setelah sang anak bekerja selama dua bulan dan minimal sepuluh kali melayani tamu dalam satu hari.
Enam tersangka, lanjutnya, masih berusia belasan tahun bahkan berusia 15 tahun tersebut. Keenam tersangka tersebut yakni AS (17), NA (15), MTG (16), ZMR (16), JF (29) dan NF (19).
Bareskrim Polri mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan ekspoitasi seksual di wilayah Puncak, Bogor. Kasus prostitusi yang dikenal kawin kontrak, bukan rahasia.
Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan tujuan eksploitasi seksual di wilayah Puncak, Bogor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved