Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Aspek Formal dan Materi RUU Sisdiknas Dinilai Lemah

Faustinus Nua
13/3/2022 22:10
Aspek Formal dan Materi RUU Sisdiknas Dinilai Lemah
Ilustrasi(Antara)

PEMBAHASAN RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tengah dilakukan Kemendikbud-Ristek dan ditargetkan masuk prioritas Prolegnas pada Mei 2022. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai organisasi guru tingkat nasional, menilai RUU Sisdiknas sangat lemah dari aspek formal prosedural dan aspek isi atau materi.

"Secara prosedural pembahasan melalui uji publiknya tidak dialogis, tidak partisipatif, dan minus transparansi. Kebijakan pendidikan harusnya melingkupi semua yang berkepentingan dalam proses itu. Pendidikan menjadi sesuatu yang dipertaruhkan oleh banyak pihak, bukan hanya pemerintah saja," ungkap Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri dalam keterangannya, Minggu (13/3).

Dia menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan menjadi milik penguasa. Masyarakat menerima apa saja yang direkayasa pemerintah melalui birokrasi pendidikan.

Di masa demokrasi kini, sikap masyarakat yang pasif dan kekuasaan pemerintah yang absolut terhadap pendidikan harus dihilangkan. Organisasi guru, dosen, LPTK adalah diantara stakeholder terpenting yang harus terlibat intensif dalam kebijakan pendidikan. "Produk UU Sisdiknas yang baik dan bermutu, hendaknya dibangun atas dialog dengan semua stakeholder pendidikan secara partisipatif, jujur dan terbuka," imbuhnya.

Sedangkan dalam aspek isi atau materi, setelah mempelajarinya P2G memberikan 10 kritik awal yang konstruktif untuk perbaikan kualitas pendidikan ke depan. P2G menilai banyak pasal yang tertukar antara konsep 'hak warga negara' dengan 'kewajiban negara'. Misal Pasal 12, ada ketentuan 'masyarakat wajib' memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentu termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya.

"Padahal seharusnya masyarakat 'berhak'. Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab terkhusus dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan," tegasnya.

Menurut Iman lebih menyedihkan, pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada 'pembiayaan dasar' saja, itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu (Pasal 80 ayat 1-3). Pasal ini jelas sekali membuka ruang diskriminasi pendidikan, padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif (Pasal 5). "Tampak antara pasal bersifat kontradiktif," tambahnya.

Soal Standar Nasional Pendidikan (SNP), dasar argumentasi perubahan 8 SNP menjadi 3 SNP perlu dipertanyakan. Landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas sangat lemah karena cuma merujuk satu riset sangat terbatas oleh satu lembaga saja. Penelitian juga terbatas di 3 daerah, yakni kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen. Padahal Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh.

P2G, kata Iman ingin uraian Nasmik RUU Sisdiknas sebagai landasan akademis dibuat lebih ilmiah, komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Misal mengenai penjelasan tentang kurikulum dalam Nasmik hanya menguraikan Kurikulum 2013. Tidak satupun ditemukan uraian mengenai Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Merdeka, padahal kurikulum tersebut sudah diimplementasikan sekarang. Jadi Nasmik RUU Sisdiknas dan isi RUU Sisdiknas tidak berkorelasi dengan perubahan kurikulum, ini cukup membingungkan.

“Selain itu P2G tetap berharap agar mata pelajaran Sejarah masuk dalam ‘muatan wajib’ dan ‘mata pelajaran wajib’ dalam struktur kurikulum nasional, artinya Pasal 93 mesti direvisi. Masa Bahasa Asing masuk muatan wajib, pelajaran Sejarah tidak, hanya dijadikan pelajaran pilihan, ini kan aneh?”, cetus Iman yang mengajar Sejarah.

Kepala Bidang Kajian Kebijakan P2G, Agus Setiawan, menilai hal yang menurutnya cukup mengganjal dalam Pasal 105, ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa. Semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru dan Kemdikbud-Ristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN).

“P2G khawatir evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui Sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut," tuturnya.

Agus juga mengutarakan, P2G meminta RUU Sisdiknas menambahkan Bab dan Pasal khusus membahas Desain Pendidikan di Masa Katastrofe (catastrophe). Belajar dari pengalaman pandemi covid-19 yang sudah 2 tahun berlangung, kita harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetap resilience dalam segala kondisi kedaruratan bahkan bencana besar.

Jangan seperti sekarang di masa bencana, kebijakan pendidikan termasuk persekolahan yang dilakukan Kemdikbduristek lebih terasa tambal sulam, tanpa arah, pendekatan parsial, tidak sistemik dan fundamental. Akibat dari kondisi pembelajaran di masa pandemi ini melahirkan _“learning loss”_ yang faktanya diakui Kemdikbudristek sendiri. Makanya diperlukan landasan selevel UU sebagai pedoman penanggulangannya.

Sementara itu, Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menilai RUU Sisdiknas akan melahirkan kastanisasi sekolah. RUU ini, memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan bernama 'Persekolahan Mandiri'.

Pengelolaan antara persekolahan umum/biasa dengan Persekolahan Mandiri berbeda. Tujuan Persekolahan Mandiri untuk menghasilkan inovasi penyelenggaraan persekolahan dalam rangka mengembangkan kompetensi dan karakter pelajar.

"Bahkan dalam menghasilkan inovasi, Persekolahan Mandiri menetapkan standar input dan standar proses masing-masing sesuai dengan konteks dan kebutuhan pembelajarannya. Artinya akan ada sekolah yang diperlakukan istimewa oleh Pemerintah, dengan membuka ruang inovasi apalagi dengan standar input berbeda," terangnya.

Diperkuat dalam Nasmik, sekolah jenis ini diperbolehkan mengembangakn kurikulum mandiri. Artinya sekolah tersebut memiliki keistimewaan mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari sekolah umum biasa. Ini persis sama dengan model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang pernah dibuat pemerintah dan kenyataannya sangat diskriminatif.

Oleh sebab itu keberadaan jalur Persekolahan Mandiri dalam RUU Sisdiknas akan menciptakan kasta-kasta antarsekolah. Jika persekolahan mandiri diterapkan dalam sekolah negeri akan menciptakan kesenjangan baru dan menghidupkan kembali pelabelan sekolah ‘elit’, ‘favorit’ dan ‘unggul’.

“Kami khawatir kebijakan pendidikan Mas Nadiem Makarim melalui RUU Sisdiknas ini akan memuluskan kembali lahirnya kastanisasi pendidikan, reinkarnasi RSBI dengan wajah baru. Alih-alih berpihak pada anak, yang timbul justru praktik buruk yang memperlebar gap anak-anak keluarga kaya dan miskin,” kata dia.

Selain itu, hilangnya Kualifikasi Akademik Guru dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4 atau S1. Namun dalam RUU Sisdiknas, kualifikasi tersebut tidak ada atau dihapus.

Kualifikasi akademik sangat penting dalam sebuah profesi apalagi menyangkut pendidikan sebagai hak dasar anak. Untuk menjadi profesi dokter minimal S-1 Sarjana Kedokteran, menjadi profesi Advokat minimal S-1 Sarjana Hukum, begitu pula profesi lain. Ditambah kemudian pendidikan profesi.

"Jika RUU Sisdiknas ini disahkan maka profesi guru tampak subordinatif dari profesi lain, guru semakin inferior. Nadiem Makarim akan dicatat sejarah sebagai menteri yang tidak menjaga dan memuliakan martabat guru secara akademis," kata Satriwan.

P2G pun tetap mendorong RUU Sisdiknas mengatur upah minimum guru seperti halnya manajemen upah buruh melalui skema UMP/UMK. Selama ini kesejahteraan guru hanya janji belaka saat kampanye. Janji Nadiem Makarim angkat satu juta guru honorer terbukti gagal total. Sebab rekrutmen guru PPPK hanya berhasil mencakup 293 ribu, tak sampai 30%. Artinya peluang para guru mengajar dengan upah sangat tidak layak akan terus ada, akibat ketidakmampuan Pemerintah dan Pemda memenuhi kebutuhan guru secara nasional.

Soal Karir Guru, pasal 124 hanya satu kalimat membahas jenjang karir guru, yaitu guru bisa jadi pemimpin dalam lembaga pendidikan. Praktik ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam pengelolaan jenjang karir guru terjadi hingga kini. Contoh, guru swasta yang sudah lama menjadi pegawai tetap yayasan, lalu pindah kerja ke sekolah lain. Dapat dipastikan jenjang karirnya dimulai dari nol lagi, menjadi guru baru lagi. Pengalaman dan capaian di sekolah terdahulu tidak akan mempengaruhi statusnya di sekolah baru.

Termasuk dalam rekrutmen guru PPPK, banyak yang dari segi keilmuan dan pengalaman cukup panjang sebagai guru honorer atau swasta. Tapi saat ikut seleksi PPPK, jenjang karirnya sama mulai dari nol lagi.

Persoalan karir guru juga menjadi masalah serius khususnya bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, dan guru mata pelajaran umum pada Madrasah di bawah Kementerian Agama. Kedudukan mereka terpecah antara dua kementerian yaitu Kemdikbudristek dan Kemenag.

“Jadi P2G menilai RUU Sisdiknas ini belum berpihak kepada guru sepenuhnya, bahkan berpotensi merugikan dan merendahkan martabat profesi guru," terangnya.

Satriwan menyebut RUU Sisdiknas hanya didesain untuk mengakomodir dan melegitimasi program kerja Kemdikbud-Ristek era Nadiem Makarim belaka. P2G menilai cara-cara semacam ini berpotensi menjadikan UU Sisdiknas lemah, tidak futuristik, jangka pendek, sangat parsial, tidak menyentuh persoalan mendasar, dan lebih kental politisnya ketimbang pendidikannya.

Oleh karena itu P2G masih berharap Kemedikbud-Ristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua stakeholder pendidikan. (H-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya