Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
50 tahun berkarier di industri perfilman Indonesia telah membawa Slamet Rahardjo menjadi salah satu sosok yang melewati berbagai perubahan zaman di industri. Mulai dari syuting dengan alat serba terbatas, perubahan gaya artistik hingga masa kini yang kerja produksinya lebih mumpuni. Slamet, sampai saat ini juga masih aktif terlibat dalam berbagai peran.
Baca juga : Ario Bayu Sebut FFI 2024 Ingin Memberi Dampak Kebudayaan, Seni dan Ekonomi
Pada FFI 2022, ia masih bisa bersaing dengan para aktor lain untuk memenangkan Piala Citra FFI untuk pemeran pendukung pria terbaik lewat film Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga. Tahun ini, Slamet dipercaya menjadi Duta FFI 2024 bersama Dian Sastrowardoyo, Kamila Andini, Lutesha dan Bryan Domani.
“50 tahun di film, (saya) bukan Duta FFI tapi duta film,” kelakar Slamet Rahardjo saat sesi wawancara terbatas dengan media di The Darmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis, (26/9).
Bagi Slamet, film menjadi cara untuk memahami kehidupan. FFI 2024 yang mengusung tema Merandai Cakrawala Sinema Indonesia dimaknainya sebagai jalan untuk merepresentasikan apa yang terjadi dari kehidupan sebenarnya lewat film.
Baca juga : Badai Pasti Berlalu: Persinggungan Musik dengan Film di Tahun 1977
“Merandai, istilahnya adalah mari kita memahami kehidupan, mendendangkannya, memfungsikan, dan memfilmkan kehidupan. Apa yang ada di dalam film, merupakan representasi dari kehidupan sebenarnya,” lanjut Slamet.
Ia berkata, untuk tidak membandingkan antara film-film yang diproduksi pada zaman dulu dan sekarang. Ada perbedaan, baik secara pendekatan hingga perubahan artistik.
“Sekarang itu, ada beberapa potensi anak muda yang menitipkan pesan-pesan dari kampungnya, dari masyarakat dan kehidupannya, menjadi sesuatu yang menarik. Zaman saya dulu, itu lebih didramatisasi, stamboel. Karena konvensinya mengacu pada teater, yang mana sejarah perfilman di Indonesia para penggeraknya juga dimulai dari orang-orang teater,” cerita Slamet.
Baca juga : Slamet Rahardjo Banyak Berimprovisasi untuk Film Algrafi
Sementara saat ini, menurutnya, ada penjelajahan artistik yang tidak lagi sekadar mengacu pada konvensi teater, yang secara penyajian tampilannya secara langsung di hadapan audiens.
“Dengan masa sekarang, berbeda. kamera berbeda. Kamera bukan sekadar pengganti mata penonton, kamera adalah problem itu sendiri,” lanjutnya.
“Jangan bandingkan zaman saya bikin film yang enggak punya monitor, seluloid masih harus didatangkan dari luar negeri, set enggak bisa diubah. Sekarang, dengan fasilitas yang luar biasa, saya tantang pembuat film generasi baru untuk membuat karya yang bagus. Jangan malas.”
Bagi Slamet, film sebaiknya harus menjadi vitamin, alih-alih racun. Perayaan FFI tahun ini, disebutnya juga menjadi ruang berpikir untuk berimajinasi.
“Festival sebetulnya merupakan pawai dari keramaian, dan dibikin oleh orang-orang cerdas. Artinya, pencarian tentang narasi yang mencerminkan kehidupan atau film Indonesia, itu tidak kunjung selesai,” kata Slamet. (M-4)
Melalui interaksi langsung dengan pasien ALS dan keluarga mereka, Vino G Bastian mendapatkan pemahaman mendalam tentang tantangan fisik dan emosional yang dihadapi pejuang ALS.
Film Hanya Namamu Dalam Doaku menandai reuni akting Vino G Bastian dan Nirina Zubir setelah 21 tahun mereka berkolaborasi dalam film 30 Hari Mencari Cinta.
Sebagian besar produksi film Pengin Hijrah dilakukan di tiga kota di Uzbekistan. Toshkent, Samarkan, dan Bukhara
Lagu Barasuara, Pancarona dan Terbuang Dalam Waktu, mengisi plot cerita baru dalam film Sore: Istri dari Masa Depan, yang disutradarai Yandy Laurens.
POLEMIK tengah terjadi di dunia perfilman Indonesia. Bermula ketika akun Instagram Badan Perfilman Indonesia (BPI) @badan_perfilman_indonesia yang mengunggah pertemuan bersama Polri.
Kampus Perfilman ini akan menjadi rumah bagi 1.500 mahasiswa Faculty of Art, Design, dan Architecture (FADA).
Simposium ini membahas perkembangan industri film di Indonesia dan Tiongkok serta peluang kerja sama produksi film antar kedua negara.
Meningkatnya jumlah penonton film Indonesia dan mengatakan bahwa pemerintah perlu terlibat dalam ekosistem film.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved