Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
BILA sedang membicarakan hubungan internasional, kita tak boleh melepaskan segala bentuk implementasi dan instrumen yang menyertainya. Ini karena anggapan umum meyakini bahwa setiap negara tidak akan melewatkan kesempatan dalam pemanfaatan demografi manusia beserta daya ciptanya menghasilkan karya.
Festival de Cannes (FDC) milik Prancis ialah contoh konkret hal tersebut. Selama bertahun-tahun, penyelenggaraan festival film bergengsi itu telah menyita atensi penikmat dan penggiat media hiburan, khususnya industri sinematografi internasional.
Ahli perfilman akan merasa sangat terhormat apabila karya mereka ditampilkan di sana. Begitu juga dengan pecinta film yang menjadikannya sebagai referensi memilih tontonan berkualitas. Lambat laun, tingkat kepopuleran FDC makin meningkat, baik di dalam maupun luar Eropa (Fathurrozak, 2024).
Ikhtisar histori FDC berawal dari niat Kementerian Pendidikan Nasional Prancis yang memfasilitasi terciptanya karnaval sinema di 1938. Saat itu, uluran bantuan bertumpu atas persaingannya dengan festival film di Venesia, Italia di bawah kontrol fasisme (Delanty et al., 2011).
Indoktrinasi ideologi oleh Italia dan Jerman Nazi melalui tayangan film propaganda telah mendorong Prancis menetralkan bias ultranasionalis di Eropa. Maka dapat dikatakan kalau akar pembentukan FDC terbilang politis. Usai berakhirnya Perang Dunia II, FDC sudah bisa lebih luwes dalam pelaksanaan acara.
Prancis merasa tidak perlu lagi berkontestasi karena perihal di atas. Festival ini terus berlanjut sampai menjadi kiblat prestisius bagi para sineas dan sinefili di seluruh dunia (McGrath, 2011).
Pada konteks diplomasi, FDC dapat dilihat sebagai kans yang menjanjikan karena mampu menjembatani interaksi jaringan perfilman. Untuk itu, Prancis membuka ruang seluas-luasnya bagi seluruh negara menampilkan warisan nasional mereka agar diapresiasi di forum yang tepat. Bahkan, di beberapa momentum, didapati penghargaan sebuah film tidak diberikan kepada sutradara, melainkan delegasi nasional per negara (Jungen, 2014).
Sewaktu diwawancara, Thierry Frémaux selaku Direktur FDC menegaskan komitmennya untuk senantiasa mendorong sistem inklusif dalam proses nominasi karya (Le Leurch, 2023). Ia prihatin atas situasi dunia sinema yang kerap mengesampingkan film-film non-Barat.
Berangkat dari keadaan, FDC terus berupaya demi bisa menjadi panggung global bagi setiap pembuat film, terlepas dari asal atau latar belakang personal mereka. Dedikasi ini memberikan kemungkinan kepada negara-negara dengan kapasitas industri film yang lebih kecil agar bisa mempromosikan budaya mereka di platform yang memiliki skala lebih besar.
Minat masyarakat dunia terhadap penjelajahan budaya suatu negara melalui film, secara tak langsung, telah menjadi skema ekonomi politik Prancis lewat pagelaran sinemanya (Zarandona, 2016). Mereka rela mengeluarkan biaya tarif demi bisa merasakan euforia ketika berjumpa dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan interes tentang film.
Namun, beberapa pengamat memandang keberadaan karnaval sinema Prancis menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan arah. Entah lebih berorientasi terhadap komersialisasi karya, komplimen akan nilai seni, atau terkandung ambisi geopolitik di sana.
Seumpama meliputi ketiganya, manakah yang cenderung ditekankan? Budaya? Atau justru politik dan diplomasi? Sebelum menyoal pertanyaan, perlu diketahui bahwasanya FDC di tahun ini telah mengundang perwakilan negara yang berseberangan secara ideologis dengan demokrasi liberal ala Prancis atau dunia Barat, yakni Tiongkok (Durand, 2024). Peristiwa tersebut mengisyaratkan tujuan implisit dari festival, tidak lain tidak bukan ialah meredam tensi antarkawasan.
Dunia saat ini terfragmentasi oleh berbagai konflik kepentingan. Pemicunya bermacam-macam. Perwujudan bentrokannya pun ada yang masih dalam tahap merenggang dan ada yang sudah bertransformasi menjadi konfrontasi terbuka.
Menghadapi kondisi ini, Prancis mengambil langkah dalam memosisikan dirinya terhadap bipolaritas proksi dunia. Kemitraan strategis Prancis-Tiongkok, Prancis-Amerika Serikat, atau Prancis dengan negara mana pun harus tetap dapat terjalin beriringan.
Melalui FDC, Prancis memetakan pemberian kemenangan berdasarkan agenda transnasional dan pasifisme. Karenanya, sentimen identitas kenegaraan mampu melebur dan berubah menjadi visi yang jauh lebih kolektif. Dengan demikian, Prancis menggunakan FDC sebagai saluran diplomatik dan alat untuk mengaburkan gesekan antarbangsa, selagi meraup keuntungan finansial dari sana.
Indonesia berkemampuan mengikuti jejak Prancis. Negara kita mengantongi seniman yang tak kalah hebat di bidang perfilman serta kekayaan budaya dan ragam cerita dengan keunikannya sendiri-sendiri. Tegaknya penghargaan akan sinema berpotensi membangun citra positif Indonesia di mata dunia.
Memang, sudah ada beberapa pekan perayaan film di Indonesia, seperti Festival Film Indonesia, Festival Film Bandung, Indonesia Movie Actor Award, Piala Maya, Jakarta World Cinema, dan sebagainya (Kemenparekraf, 2024). Namun sayang, skedul acara-acara tersebut masih belum teraktualisasi dengan baik supaya mampu diadakan tiap tahun.
Rendahnya keterlibatan pemerintah untuk suportif terhadap eksistensi kegiatan seni budaya dan pengembangan kapabilitas sinema menjadi faktor yang melatarbelakangi. Berbeda dengan FDC yang sangat dirawat penuh pemerintah Prancis sejak kemunculannya, festival-festival film di Indonesia kebanyakan masih dipelopori oleh asosiasi ataupun perseorangan independen.
Dibutuhkannya sokongan bantuan dari pemerintah demi memudahkan kegiatan. Moga-moga Kementerian Kebudayaan, yang baru saja didirikan oleh presiden dan wakil presiden terpilih (Harahap, 2024), dapat berkontemplasi dan memecahkan persoalan ini. Sebab, jika tidak, penambahan jumlah kementerian terkait hanya akan membuat anggaran pemerintah terbuang percuma, tanpa mendatangkan benefit diplomatis apa pun bagi Indonesia.
Pengantin perempuan tewas ditembak usai meninggalkan pesta pernikahan di desa Goult, Prancis.
Macron menegaskan bahwa Prancis tidak akan ambil bagian dalam operasi yang bersifat ofensif atau menyerang.
Kue khas Prancis, Choux au Craquelin, memikat pengunjung Brightspot dengan lapisan atas yang renyah berpola retak dan isian choux yang lembut di dalam.
Secara statistik sebenarnya Jerman dapat tampil dominan pada pertandingan ini dengan 56% penguasaan bola dan melepaskan 20 tendangan, namun Prancis dapat tampil lebih efektif.
MENTERI Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menyampaikan harapannya agar Prancis menentang campur tangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di kawasan Asia-Pasifik.
Dengan kemenangan tersebut, Spanyol akan menantang Portugal, juara Nations League 2019 dalam perebutan trofi tahun ini.
KOMPETISI film Alternativa Film Festival akan kembali digelar untuk ketiga kalinya. Di edisi ketiga kali ini, ajang tersebut akan diselenggarakan di Kolombia di kuartal kedua tahun 2026.
Ide pembuatan lomba video animasi itu merupakan hasil diskusi antara UBL bersama Indoposco dan terdorong keberhasilan Film Jumbo (2025).
Wahana Kreator Nusantara menghadirkan komedi aksi yang menyatukan aktor lintas generasi.
Setelah vakum selama 17 tahun dari dunia perfilman, Rieke Diah Pitaloka kembali menyapa penggemar melalui film aksi komedi berjudul Agen +62.
Festival Film Amerika Latin dibuka dengan film asal Meksiko, Pedro Paramo — adaptasi kuat dari novel klasik karya Juan Rulfo, yang diputar untuk publik secara global untuk kedua kalinya.
Film Lorong Kost bakal membawa penonton masuk ke dalam dunia gelap dan penuh teror yang tersembunyi di balik rumah kost tua.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved