Pemberian Bansos saat Kenaikan PPN Dinilai tidak Tepat

M Ilham Ramadhan Avisena
29/11/2024 12:44
Pemberian Bansos saat Kenaikan PPN Dinilai tidak Tepat
PEMERINTAH NAIKKAN PPN 12 PERSEN: Pengujung tengah memilih barang yang akan dibeli di salah satu gerai di Jakarta, Jumat (22/11/2024). Pemerintah akan menaikkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025.(Dok.MI)

PEMBERIAN bantuan sosial untuk masyarakat dalam menghadapi dampak penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinilai tak tepat. Pengambil kebijakan dituntut untuk mengambil langkah strategis dan mitigasi guna mencegah kemerosotan daya beli masyarakat yang lebih dalam. 

"Jika stimulus diberikan dengan tujuan mempersiapkan masyarakat agar dapat menghadapi kenaikan PPN menjadi 12%, pendekatan tersebut sangatlah keliru dan tidak bijak, terutama karena stimulus tersebut bersifat sementara sementara kenaikan PPN bersifat permanen," ujar Peneliti Next Policy Muhammad Anwar saat dihubungi, Jumat (29/11).

Bansos yang notabene hanya diberikan kepada masyarakat miskin dinilai tak menyelesaikan persoalan. Sebab, dampak kenaikan tarif PPN berlaku umum bagi semua kelompok masyarakat. Kelas menengah lagi-lagi menjadi kelompok yang paling tertekan dari kebijakan tersebut. 

Karenanya, kata Anwar, ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendukung kelas menengah secara berkelanjutan ketimbang menambah bansos. Pertama, mengurangi beban kebutuhan pokok.

Pemerintah dinilai perlu memastikan barang dan jasa kebutuhan pokok tetap terjangkau, terutama bagi kelas menengah dan bawah. Langkah ini dapat dilakukan dengan memperluas daftar barang dan jasa yang bebas PPN atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. 

"Dengan begitu, barang seperti bahan makanan, layanan kesehatan, pendidikan, serta transportasi publik tidak terdampak langsung oleh kenaikan tarif PPN. Hal ini akan menjaga daya beli masyarakat dan melindungi konsumsi domestik sebagai pilar utama perekonomian," kata Anwar. 

Kedua, subsidi langsung berbasis konsumsi utama seperti untuk listrik, bahan bakar, atau transportasi publik, harus diberikan kepada rumah tangga kelas menengah dan bawah. Pendekatan itu dinilai lebih efisien dibanding bansos umum karena langsung menyasar pengeluaran terbesar mereka.

Ketiga, dukungan pada sektor UMKM dan wirausaha kecil. Banyak kelas menengah bergantung pada sektor UMKM dan wirausaha kecil sebagai sumber penghasilan. Pemerintah, imbuh Anwar, harus memberikan kebijakan khusus seperti kredit murah dengan bunga rendah, akses pelatihan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing, serta pembukaan pasar melalui program kemitraan atau promosi produk lokal. 

"Dukungan ini tidak hanya membantu kelas menengah tetap bertahan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan," terangnya. 

Selain itu, pengambil kebijakan juga memiliki opsi lain seperti menyubsidi pengguna listrik dengan daya 1.200 hingga 1.300 watt. Kelompok pengguna daya itu acap kali tak masuk dalam kategori penerima bantuan sosial, padahal memiliki kondisi yang cukup rentan dari kenaikan harga barang maupun jasa. 

"Kenaikan ini akan berdampak langsung pada pengeluaran rutin mereka, termasuk tagihan listrik, bahan bakar, dan transportasi. Langkah memperluas stimulus ke sektor-sektor seperti subsidi listrik, bahan bakar, dan transportasi publik sangat penting untuk mengurangi daya 'hantam' kebijakan kenaikan PPN," tutur Anwar. 

"Kenaikan PPN tidak hanya memengaruhi barang dan jasa mewah, tetapi juga dapat merembet ke kebutuhan dasar yang menjadi komponen utama pengeluaran rumah tangga kelas menengah bawah. Dalam konteks ini, subsidi menjadi bentuk perlindungan sementara yang dapat menjaga daya beli mereka sekaligus mencegah lonjakan angka kemiskinan," pungkasnya.

Diketahui, sebelumnya Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% berpotensi mundur dari 1 Januari 2025. Penundaan PPN 12%, ungkap Luhut, akan dilakukan karena pemerintah tengah merencanakan pemberian bantuan sosial (bansos) terlebih dahulu ke masyarakat ke kelas menengah.

"PPN 12% itu sebelum jadi (diterapkan), harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah. Ya (penerapan PPN 12%) hampir pasti diundur, biar dulu jalan yang bansos ini," ungkap Luhut di TPS 004, di RW 02 Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta, Rabu (27/11).

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu menjelaskan saat ini pemerintah tengah mengkaji perluasan cakupan bansos untuk kelas menengah imbas dari kebijakan kenaikan PPN.

Sementara sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia periode 2003-2008 Burhanuddin Abdullah mengaku telah menyampaikan usul kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menunda penaikan tarif PPN pada tahun depan. Dia bahkan mendorong Kepala Negara untuk mengembalikan tarif PPN ke angka 10%. 

Hal itu ia ungkapkan dalam diskusi panel bertajuk Menuju Indonesia Emas: Perspektif Partai Gerindra dalam Mewujudkan Visi Kebangsaan di Auditorium NasDem Tower, Jakarta, Selasa (26/11). 

“Saya pernah menyarankan ke Pak Prabowo, supaya jangan dinaikan PPN itu, sudah lah 11%, atau kalau mungkin jadi 10% untuk memberikan break dulu kepada masyarakat, break dari kesulitan hidup ini. Katakan lah satu atau dua tahun, baru kita pikirkan kembali,” ujar Burhanuddin. 

Pria yang juga menjabat Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra itu menilai penundaan penaikan tarif PPN relevan untuk mengatasi narasi yang berkembang di masyarakat saat ini perihal pajak. Sebab, di tengah isu penambahan beban kepada masyarakat, bergulir pula rencana pengampunan pajak bagi orang-orang kaya melalui program pengampunan pajak. 

"Narasi yang berkembang sekarang kan kelihatannya orang kecil dipalak negara dan orang kaya malah diberi tax amnesty. Orang kaya kalau dipajakin memang kabur dari sini. Orang kaya di Indonesia ini bukan main,” tutur Burhanuddin. (J-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya