Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penaikan PPN, Pernyataan Pemerintah Dinilai Menyesatkan

M Ilham Ramadhan Avisena
23/12/2024 11:30
Penaikan PPN, Pernyataan Pemerintah Dinilai Menyesatkan
Konferensi pers paket kebijakan ekonomi: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) dan Menteri Perdagangan Budi Santoso (kiri) menyampaikan keterangan saat konferensi pers di kantor Kem(ANTARA/Asprilla Dwi Adha)

PERNYATAAN pemerintah yang menyebut penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tak berdampak signifikan kepada masyarakat dan inflasi dinilai menyesatkan. Pasalnya penaikan tarif PPN terbukti mendorong lonjakan inflasi saat ada penaikan tarif dari 10% menjadi 11%.

"Pernyataan Ditjen Pajak bahwa penaikan tarif PPN menjadi 12% tidak memberi dampak signifikan pada inflasi sangat tidak tepat dan menyesatkan," ujar Direktur Kebijakan Publik  Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar seperti dikutip dari keterangannya, Senin (23/12).

Tiga tahun lalu, lanjutnya, saat pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% ke 11%, inflasi tahunan melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam waktu tiga bulan, atau pada Juli 2022.

Pernyataan Ditjen Pajak yang mengatakan bahwa tingkat inflasi yang tinggi (5,51%) pada tahun 2022 terjadi karena tekanan harga global, gangguan pasokan pangan, dan kenaikan harga BBM dinilainya tidak tepat.

Berkaca pada 2022, inflasi melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam kurun waktu tiga bulan pascapenaikan PPN pada bulan April 2022. Sementara itu, kebijakan kenaikan BBM baru dilakukan pada Desember 2022.

"Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh penaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan suplai pangan yang terjadi sepanjang tahun pada tahun 2022," terang Media.

Dia melanjutkan, pernyataan bahwa barang pokok mendapatkan fasilitas pembebasan benar adanya. Namun ia menegaskan itu bukanlah hal yang baru. Pembebasan pajak untuk barang pokok sudah diatur sejak tahun 2009 lewat UU No 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

"Pernyataan ini hanya gimmick politik bahwa seakan-akan pemerintah hari ini melahirkan kebijakan baru dengan membebaskan barang pokok dari PPN," tuturnya.

Bahkan, lanjut Media, keterangan pemerintah sebelumnya yang akan memperluas bahan pangan kena PPN dengan merujuk pada beras premium, minyak goreng di luar MinyaKita, yang berarti terjadi perluasan objek bahan pangan kena PPN. Padahal definisi barang premium sampai sekarang belum jelas.

Ditjen Pajak memunculkan data dengan melakukan konversi insentif PPN tersebut senilai Rp265,6 triliun. Insentif PPN terhadap barang pokok bukanlah hal yang istimewa, sudah dilakukan sejak lama dan sangat umum dilakukan di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.

"Insentif PPN terhadap barang pokok tersebut memang sudah menjadi tanggung jawab negara yang diamanatkan pada Pasal 34 UUD Tahun 1945. Klaim soal insentif pemerintah jelas berlebihan," pungkas Media. (Mir/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya