Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERNYATAAN pemerintah yang menyebut penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tak berdampak signifikan kepada masyarakat dan inflasi dinilai menyesatkan. Pasalnya penaikan tarif PPN terbukti mendorong lonjakan inflasi saat ada penaikan tarif dari 10% menjadi 11%.
"Pernyataan Ditjen Pajak bahwa penaikan tarif PPN menjadi 12% tidak memberi dampak signifikan pada inflasi sangat tidak tepat dan menyesatkan," ujar Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar seperti dikutip dari keterangannya, Senin (23/12).
Tiga tahun lalu, lanjutnya, saat pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% ke 11%, inflasi tahunan melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam waktu tiga bulan, atau pada Juli 2022.
Pernyataan Ditjen Pajak yang mengatakan bahwa tingkat inflasi yang tinggi (5,51%) pada tahun 2022 terjadi karena tekanan harga global, gangguan pasokan pangan, dan kenaikan harga BBM dinilainya tidak tepat.
Berkaca pada 2022, inflasi melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam kurun waktu tiga bulan pascapenaikan PPN pada bulan April 2022. Sementara itu, kebijakan kenaikan BBM baru dilakukan pada Desember 2022.
"Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh penaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan suplai pangan yang terjadi sepanjang tahun pada tahun 2022," terang Media.
Dia melanjutkan, pernyataan bahwa barang pokok mendapatkan fasilitas pembebasan benar adanya. Namun ia menegaskan itu bukanlah hal yang baru. Pembebasan pajak untuk barang pokok sudah diatur sejak tahun 2009 lewat UU No 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
"Pernyataan ini hanya gimmick politik bahwa seakan-akan pemerintah hari ini melahirkan kebijakan baru dengan membebaskan barang pokok dari PPN," tuturnya.
Bahkan, lanjut Media, keterangan pemerintah sebelumnya yang akan memperluas bahan pangan kena PPN dengan merujuk pada beras premium, minyak goreng di luar MinyaKita, yang berarti terjadi perluasan objek bahan pangan kena PPN. Padahal definisi barang premium sampai sekarang belum jelas.
Ditjen Pajak memunculkan data dengan melakukan konversi insentif PPN tersebut senilai Rp265,6 triliun. Insentif PPN terhadap barang pokok bukanlah hal yang istimewa, sudah dilakukan sejak lama dan sangat umum dilakukan di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
"Insentif PPN terhadap barang pokok tersebut memang sudah menjadi tanggung jawab negara yang diamanatkan pada Pasal 34 UUD Tahun 1945. Klaim soal insentif pemerintah jelas berlebihan," pungkas Media. (Mir/E-2)
Kedatangan Presiden Prabowo disambut Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, serta Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
GABUNGAN Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) menolak rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12% pada tahun depan.
KIP menilai pemerintah selama ini belum pernah secara terbuka menjelaskan secara rinci penerimaan dan pengelolaan PPN.
KEPALA Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan penerapan kenaikan tarif PPN 12% berpotensi mundur dari 1 Januari 2025.
PENUNDAAN penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% disebut sebagai langkah yang baik. Itu juga dianggap menunjukkan keberpihakan negara kepada rakyat,
PEMBERIAN bantuan sosial untuk masyarakat dalam menghadapi dampak penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinilai tak tepat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved