Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PEMERINTAH diminta untuk membuka mata dan telinga perihal penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Pasalnya, data dan realitas menunjukkan daya beli masyarakat masih berada dalam tren pelemahan. Kenaikan tarif itu otomatis akan membuat tingkat konsumsi terjun bebas.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% telah melampaui kenaikan inflasi tahunan. "Kenaikan tarif PPN 12% itu kalau diakumulasi dalam 4 tahun terakhir sebenarnya naiknya 20% bukan 2%. Dari 10% ke 11% kemudian ke 12% total ya 20% naiknya," ujarnya, Kamis (14/11).
"Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi bahkan dibanding akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Efek kenaikan PPN 12% langsung menaikan inflasi umum, berbagai barang akan lebih mahal harga nya. Proyeksi inflasi 2025 bisa mencapai 4,5%-5,2% secara tahunan," tambah dia.
Kelas menengah yang sebelumnya dihantam kenaikan harga pangan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan akan tambah babak belur karena kenaikan tarif PPN. Dikhawatirkan tingkat belanja masyarakat turun dan mendorong penjualan produk sekunder melambat.
Itu karena sejatinya kebijakan PPN menyasar kelas menengah yang memiliki porsi hingga 35% terhadap konsumsi rumah tangga nasional. Karenanya, penaikan pungutan itu diperkirakan akan berdampak luas pada perekonomian.
Naiknya tarif PPN juga akan berimbas ke sektor usaha. Pasalnya pelaku usaha harus melakukan berbagai penyesuaian, mulai dari biaya operasional hingga penentuan harga produk yang dihasilkan. Ini juga dinilai mengkhawatirkan karena berpotensi menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor.
"Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif ppn 12% karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga. Jelas kenaikan tarif PPN bukan solusi naikan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru terpengaruh," tutur Bhima.
Alih-alih menaikan tarif PPN, pengambil kebijakan dituntut kreatif dalam hal mendorong rasio pajak. Itu dapat dilakukan melalui perluasan objek pajak, bukannya menaikan tarifnya. Penaikan tarif disebut sama saja dengan berburu di kebun binatang, alias cara paling tak kreatif.
"Pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp86 triliun per tahun, pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12%," kata Bhima.
Sementara itu Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, pemerintah sebetulnya memiliki ruang untuk menunda penaikan tarif PPN tersebut. Dia juga menilai tak relevan bila membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara lain lantaran struktur perekonomian yang berbeda.
"PPN negara lain yang di atas kita itu, struktur ekonominya sama atau tidak? Purchasing powernya sama tidak? Banyak negara itu yang punya purchasing power sudah lebih tinggi dari kita dan struktur ekonominya lebih didominasi sektor formal, sementara kita sektor informal yang lebih rendah," kata Faisal.
Sedangkan peneliti CoRE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan, penaikan tarif PPN akan memberatkan kondisi ekonomi masyarakat. Terlebih insentif fiskal yang disediakan untuk mengompensasi kenaikan tersebut belum sepadan.
"Insentif yang secara khusus diberikan untuk kelas menengah juga relatif masih terbatas sehingga tidak ada kompensasi yang kemudian didapatkan oleh kelas menengah ketika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%," ujarnya.
Pemerintah, imbuh Yusuf, sedianya memiliki banyak cara untuk menongkrak penerimaan pajak. Optimalisasi Pajak Penghasilan (PPh) dari orang-orang kaya, misalnya, menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pengambil kebijakan.
Pemajakan atas aset atau barang mewah yang dimiliki oleh orang-orang berpendapatan tinggi juga dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak negara. "Untuk periode tertentu kebijakan pajak untuk barang mewah ataupun properti mewah bisa dijadikan alternatif sementara ketika pemerintah menunda pengenaan tarif baru PPN," kata Yusuf.
Berbeda, ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai penaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan langkah tepat. Itu karena penerimaan negara yang diperoleh dari penaikan tarif itu dapat didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
"Kenaikan PPN dari 11% ke 12%, dalam hemat saya tidak akan memberatkan masyarakat, justru akan membantu jika dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk program-program yang berdampak langsung bagi masyarakat," kata dia.
"Dalam konteks situasi fiskal yang makin berat, kenaikan tersebut akan membantu menjamin bahwa program-program kerakyatan tetap akan berlanjut di tahun 2025, 2026 dan seterusnya melalui program-program yang sangat mereka butuhkan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan lainnya," pungkas Wijayanto. (Mir/M-4)
Program insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) terbukti menjadi penyelamat bagi masyarakat yang ingin mewujudkan mimpi memiliki rumah pertama.
Tiket pesawat ekonomi dalam negeri yang dibeli mulai Sabtu hari ini pada 1 Maret hingga 7 April untuk jadwal penerbangan antara 24 Maret hingga 7 April akan dikurangi pajak pertambahan nilainya.
PENERAPAN tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tak semata berdampak pada barang mewah atau objek yang selama ini dipungut Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Kementerian Keuangan secara resmi merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 yang mengatur ketentuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.
KEPUTUSAN pemerintah mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang hanya diterapkan untuk barang mewah kerumitan dari sisi administrasi bagi pengusaha
Keputusan Presiden Prabowo Subianto, yang memberlakukan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% hanya pada kelompok barang mewah, patut diapresiasi.
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
PENEBALAN Bantuan Sosial (Bansos) Sembako sebagai bagian dari paket stimulus yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto untuk menjaga daya beli masyarakat.
Peneliti Ekonomi Makro dan Finansial Indef Riza Annisa Pujarama menilai lima stimulus ekonomi dari pemerintah tidak akan mampu mendorong daya beli masyarakat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) Kris Ade Sudiyono mengaku pihaknya tidak dilibatkan dalam proses penetapan kebijakan pemerintah soal pemberian diskon tarif tol.
Peserta pameran, khususnya UMKM, sangat diuntungkan oleh ajang ini. Banyak di antaranya sukses besar dan bahkan langsung memesan slot untuk tahun berikutnya.
Pemerintah akan menyalurkan stimulus fiskal pada Juni hingga Juli 2025 sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved