Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Keputusan Mendadak soal PPN Picu Kerumitan bagi Pengusaha

M Ilham Ramadhan Avisena
01/1/2025 15:16
Keputusan Mendadak soal PPN Picu Kerumitan bagi Pengusaha
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) berfoto bersama Ketua Banggar.(Antara Foto)

 

KEPUTUSAN pemerintah mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang hanya diterapkan untuk barang mewah dinilai akan menimbulkan kerumitan dari sisi administrasi. Hal itu disebut dapat memberikan risiko yang tinggi kepada dunia usaha. 

"Secara teknis, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini sangat complicated. Kalau pengusaha salah dalam mengadministrasikan, bisa kena denda atau bahkan faktur pajak tidak diakui," ujar Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani saat dihubungi, Rabu (1/1). 

Dia mengatakan, sejatinya tarif PPN yang berlaku tetap 12 persen. Namun Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dihitung menjadi 11 per 12, bukan 12 per 12. Hal itu, kata Ajib, yang membuat permasalahan bergeser mengarah ke pelaku usaha. 

Itu karena pelaku usaha menjadi pihak yang membantu memungut, mengadministrasikan, dan menyetor PPN ke negara atas produk/jasa yang dijual. Karenanya, dia menyayangkan pengambilan keputusan itu dilakukan tanpa ada diskusi dan pembahasan dengan pebisnis.

"Di ujung, pengenaannya memang hanya 11 persen. Polanya, pemerintah mengenakan tarif pajak PPN 12 persen tapi penghitungan nilai barangnya adalah 11/12. Masyarakat sebagai pembeli tidak masalah, karena seolah-olah tarifnya tetap 11 persen," kata Ajib.

"Yang babak belur adalah pengusaha, karena teknis administrasinya sangat complicated. Dan kalau pengusaha salah administrasi, bisa timbul denda atau bahkan faktur pajak tidak diakui. Pengusaha yang membantu pengusaha mengumpulkan PPN sangat tinggi risikonya," tambahnya. 

Adapun Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131/2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Dasar Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di dalam Daerah Pabean, Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean.

Pada pasal 2 ayat (1) dan (2) dalam beleid itu menyebutkan, impor barang kena pajak atau penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean oleh pengusaha terutang PPN. PPN terutang itu dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa harga jual atau nilai impor.

Lalu pada Pasal 2 ayat (3) dijelaskan barang kena pajak dengan DPP harga jual atau nilai impor itu merupakan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Sementara selain barang mewah yang tidak berada dalam objek PPnBM disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3), yakni, PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain. Nilai lain itu dihitung 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya