Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Gerak Bersama Wujudkan Ekonomi Sirkular Cegah Dampak Fast Fashion

Media Indonesia
17/7/2024 20:00
Gerak Bersama Wujudkan Ekonomi Sirkular Cegah Dampak Fast Fashion
Pengunjung mengamati pakaian yang diproduksi menggunakan bahan benang dari sampah plastik.(Antara/Fikri Yusuf)

DIPERLUKAN gerak bersama mewujudkan ekonomi sirkular sebagai bagian upaya menekan dampak pemanfaatan fast fashion di masyarakat. 

"Fenomena fast fashion di masyarakat yang memanfaatkan pakaian dalam rentang waktu pendek berpotensi menghasilkan limbah yang berdampak buruk pada lingkungan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Fast Fashion dan Dampaknya pada Lingkungan yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/7). 

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Asri Hadiyani Giastuti (Perencana pada Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas), Prof. Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si. (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor), Petty S Fatimah (Chief Brand Officer Akademi Femina, pengamat gaya hidup), dan Aryenda Atma (Founder & CEO PT Daur Langkah Bersama/Pable) sebagai narasumber. Selain itu hadir Indrastuti (Wartawan Media Indonesia) sebagai penanggap. 

Baca juga : Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Harus Diantisipasi dengan Langkah Tepat dan Segera

Menurut Lestari, limbah fesyen memicu polusi air, tanah, dan penghasil emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada perubahan iklim. "Di satu sisi, industri ini berupaya tumbuh. Di sisi lain terdapat tuntutan adaptasi pada ancaman perubahan iklim akibat pencemaran lingkungan," tambah Rerie, sapaan akrab Lestari. 

Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu sangat berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah serta masyarakat memiliki kepedulian yang sama terhadap ancaman krisis lingkungan akibat fast fashion itu. "Kita harus menyadari bahwa perilaku merusak yang dibiarkan untuk mengikuti tren dapat merusak ekosistem lingkungan hidup, tempat kita menjalani keseharian," tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu. 

Perencana pada Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Asri Hadiyani, mengungkapkan di dunia saat ini berkembang isu lingkungan yang besar seperti perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Menurut Asri Hadiyani, penggunaan material yang tidak berkelanjutan akan berkontribusi pada 70% emisi gas rumah kaca dan 90% potensi kehilangan aneka ragam hayati global. 

Baca juga : Intervensi Penanganan Serentak Harus Mampu Akselerasi Penurunan Prevalensi Stunting  

Dia mengungkapkan, manusia cenderung membuang pakaian rata-rata setelah tujuh kali pakai. Selain itu, tambah dia, tiga dari lima pakaian bekas pakai berakhir di tempat pembuangan akhir. Saat ini, jelasnya, Indonesia masuk 10 besar negara penghasil tekstil terbesar di dunia.

Dengan kondisi tersebut, tambah Asri Hadiyani, harus diterapkan praktik ekonomi sirkular dengan mendorong penggunaan material dan sumber bahan baku yang lebih efisien. Pemanfaatan barang reconsume agar masa pakai yang lebih panjang, tambah dia, harus diupayakan. 

Tantangan yang dihadapi saat ini, ujar Astri, setelah masa pakainya habis, tidak diketahui nasib pakaian atau produk tekstil lain tersebut. Penyediaan drop box untuk pengumpulan pakaian bekas pakai, tambah dia, merupakan upaya yang bisa diwujudkan dengan dukungan banyak pihak, seperti produsen tekstil yang menghasilkan pakaian. Pemerintah, ungkap Asri Hadiyani, saat ini juga sudah memiliki peta jalan pengembangan ekonomi sirkular pada tekstil. 

Baca juga : Edukasi Masyarakat terkait TB secara Masif Harus Segera Dilakukan

Chief Brand Officer Akademi Femina, Petty S Fatimah, menilai berpakaian itu merupakan bagian dari gaya hidup atau cara hidup yang kita pilih pada keseharian. Gaya hidup, tegas Petty, sangat memengaruhi pilihan-pilihan seseorang dalam mengonsumsi kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk soal pakaian. 

"Apakah masyarakat memahami pilihan pola konsumsi pakaiannya dapat mempengaruhi lingkungan?" ujar Petty. Karenanya, tambah dia, masyarakat harus memiliki kesadaran dampak yang akan ditimbulkan terkait pilihannya. 

Masyarakat, menurut Petty, harus diberi pemahaman terkait cost per used. Fenomena fast fashion yang mengadopsi tren itu merupakan langkah yang kurang bijaksana. 

Baca juga : Permasalahan Berulang, Transparansi Pelaksanaan PPDB Harus Ditingkatkan

Diakui dia, thrifting itu bagian dari ekonomi sirkular. Namun, tegas Petty, thrifting yang terjadi di Indonesia saat ini sudah melampaui batas dan mayoritas produknya sampah. "Fenomena fast fashion akan selalu ada sehingga harus dikelola dengan lebih bertanggung jawab," jelasnya. 

Founder & CEO Pable, Aryenda Atma, mengungkapkan dengan penduduk yang lebih dari 200 juta dan memiliki industri fesyen yang produktif, Indonesia memproduksi limbah tekstil 2,3 juta ton yang 80%-nya berakhir di tempat pembuangan akhir sampah. Bila tidak ada rencana aksi sirkular sesegera mungkin, pada 2030 diperkirakan limbah tekstil yang dihasilkan Indonesia bisa mencapai 3,9 juta ton. 

Dia mendorong para pemangku kepentingan segera merealisasikan pemanfaatan material-material yang ramah lingkungan sebagai bahan dasar fesyen. Dengan demikian, jelasnya, limbah pascakonsumsi bisa dengan mudah diolah kembali. 

Diakui Aryenda, satu merek fesyen multinasional di Indonesia menghasilkan limbah perca 245 ton per bulan. Pemanfaatan drop box, tegas dia, saat ini belum menjadi solusi dalam proses ekonomi sirkular tekstil, karena masyarakat belum teredukasi dengan baik dalam pengaplikasiannya. Aryenda menilai, sudah waktunya masyarakat mengedepankan material daur ulang dalam pemilihan fesyen. 

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Endang Warsiki mengungkapkan berdasarkan riset yang dilakukannya serat kain terdiri dari banyak komposisi, seperti katun dan polyester, yang bisa dikembalikan ke bentuk semula dengan berbagai cara. Jadi, ujar Endang, daur ulang kain bisa menghasilkan sejumlah bahan dasar serat kain dengan mengubah bahan polimer menjadi monomer dan mengupayakan menjadi serat yang biodegradable. Proses mengubah bahan-bahan polimer menjadi monomer, tambah Endang, berpotensi membuka lapangan kerja baru dari berton-ton limbah tekstil. 

Wartawan Media Indonesia Indrastuti berpendapat untuk sampai pada pemanfaatan fesyen yang bagus dengan material yang ramah lingkungan masih memerlukan waktu. Masyarakat, tambah Indrastuti, belum memahami cara memperpanjang masa pakai fesyen yang dibelinya. Penerapan ekonomi sirkular pada tekstil di Indonesia masih kalah populer jika dibandingkan dengan di sektor pangan dan kemasan. Saat ini, tegas Indrastuti, Indonesia butuh kampanye dan edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap penerapan ekonomi sirkular di sektor tekstil. 

Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat menilai untuk mewujudkan ekonomi sirkular di sektor tekstil teknologinya sudah tersedia. Bahkan, ujarnya, sudah ada teknologi untuk mengubah serat kain menjadi materi awalnya. 

Tantangan yang utama, menurut Saur, ada dua hal. Pertama yaitu perubahan gaya hidup yang intinya mengubah pandangan dari more is less menjadi less is more. Yang kedua ialah melembagakan ekonomi daur ulang sampai ke tingkat warga. Saur menilai mekanisme drop box dalam penerapan ekonomi daur ulang harus terus digalakkan, lewat komunikasi kepublikan yang masif. (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya