Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
BANK Indonesia meluncurkan buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ke-42. KSK pada 21 tahun yang lalu diluncurkan dengan tiga tujuan.
Pertama, sistem peringatan dini kepada industri dan otoritas sistem dan jasa keuangan terhadap berbagai risiko di stabilitas sistem keuangan yang akan dihadapi ke depan. Dengan demikian, otoritas dan industri bisa mengantisipasi terhadap risiko.
Kedua, membangun keyakinan pasar terhadap stabilitas sistem keuangan, karena otoritas termasuk Bank Indonesia memantau risiko dan merespon dengan kebijakan terhadap risiko di stabilitas sistem keuangan.
Baca juga : Tiga Kebijakan Prioritas OJK untuk Daya Ungkit Ekonomi
Ketiga, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dari Bank Indonesia, sebagai otoritas di bidang makroprudensial, bersama otoritas lain seperti OJK, Kementerian Keuangan, dan LPS memiliki akuntabilitas terhadap terjaganya stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung mengatakan asesmen terhadap risiko stabilitas sistem keuangan paling tidak menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, masih tingginya ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global. Dengan inflasi di negara maju yang sudah mencapai puncaknya, dia akui sudah tampak potensi suku bunga kebijakan di Amerika Serikat untuk mulai memasuki fase penurunannya di semester II 2024.
"Namun ketidakpastian tentang waktu dan besaran terhadap siklus pelonggaran moneter itu yang sering kali mendorong munculnya ketidakpastian terhadap berakhir masa-masa higher for longer Fed Fund Rate dan juga kapan suku bunga tinggi akan berakhir," kata Juda di Jakarta, Rabu (27/3).
Baca juga : Jokowi: Harus Cepat Merespons Perubahan Geopolitik dan Ekonomi
Apabila penurunan Fed Fund Rate lebih cepat, tentu akan lebih cepat berakhirnya periode suku bunga tinggi secara global. Ketidakpastian itu kemudian menyebabkan aliran modal ke negara emerging market, termasuk Indonesia menjadi agak tertahan pada bulan-bulan terakhir.
Ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Perkembangan ini diperparah dengan meningkatnya fragmentasi perdagangan global. Apalagi kebijakan politik global bisa berubah drastis, mengingat saat ini 50% populasi di dunia sedang mengadakan pemilihan umum termasuk di Amerika Serikat.
Ketidakpastian selanjutnya berasal dari Tiongkok berupa krisis properti dan lemahnya konsumsi menjadi permasalahan utama. Jika tidak ditangani dengan baik, ini akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi global bahkan meningkatnya risiko stabilitas sistem keuangan global.
Baca juga : DPR Dorong BI dan OJK Sinergi dengan Pemprov Tingkatkan KUR UMKM di Sulsel
Di tengah tingginya ketidakpastian global kondisi stabilitas sistem keuangan (SSK) di Indonesia terjaga dengan baik. Ketahanan sektor keuangan tercermin dari likuiditas yang memadai, risiko kredit yang menurun, dan permodalan yang sangat kuat, serta didukung oleh ketahanan korporasi yang baik, mendorong tetap stabilnya kondisi sistem keuangan.
Kredit perbankan tumbuh 11,28% (YoY) di Februari, didukung oleh ketersediaan likuiditas bank, dan permintaan kredit dari dunia usaha masih tumbuh dengan baik. Kondisi likuiditas perbankan masih cukup ample. Saat ini rasio alat likud per dana pihak ketiga (AL/DPK) masih berada di 27%, termasuk surat-surat berharga yang dimiliki seperti SBN, SRBI dan sebagainya, yang bisa menjadi sumber likuiditas di dalam penyaluran kredit.
"Tentu tidak bisa kita bandingkan kondisi likuiditas pada saat ini dengan pandemi. Sebab saat pandemi, orang tidak melakukan aktivitas ekonomi secara kuat, konsumsi juga lemah, dan sebagainya. Karenanya, tabungan (DPK) juga masih tinggi membuat likuiditas di perbankan sangat melimpah," kata Juda.
Baca juga : OJK: Penguatan Tata Kelola Berkelanjutan Butuh Sinergi Bersama
Bank Indonesia meyakini pertumbuhan DPK akan kembali normal di 2024. Masih tingginya alat AL/DPK, diperkirakan pertumbuhan kredit akan tumbuh di kisaran 10%-12%.
Risiko kedua, yang perlu terus otoritas pantau adalah yang muncul terkait dengan digitalisasi keuangan. Digitalisasi sebagaimana inovasi keuangan, ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi dia akan mempermudah akses, mendorong industri keuangan, dan pendalaman pasar keuangan.
Namun di sisi lain, digitalisasi keuangan potensi dampak pada munculnya sejumlah risiko SSK, termasuk meningkatnya risiko interkoneksi dengan bank dan munculnya berbagai model bisnis baru yang sebelumnya risiko mungkin belum dikenai sebelumnya.
Baca juga : Pertumbuhan Kredit Melambat, Perbankan Masih Yakin Capai Target?
Dia menyontohkan kasus Silicon Valley Bank di Amerika menunjukkan bahwa ada beberapa bisnis model yang risikonya memang belum dikenali oleh industri dan otoritas keuangan di Indonesia. Termasuk risiko digitalisasi ialah risiko siber yang tidak pernah berhenti dan terus mengancam sistem keuangan dengan dampak yang sangat signifikan pada SSK.
Pertama, potensi gangguan operasional. Serangan siber dapat mengganggu sistem operasional lembaga keuangan, termasuk layanan perbankan dan transaksi keuangan. Pada akhirnya ini dapat menggerus kepercayaan nasabah terhadap sistem keuangan.
Kedua, pencurian data yang dapat merugikan lembaga keuangan maupun pelanggan. Ketiga, manipulasi data dan transaksi keuangan seperti pencurian dana, perubahan saldo account, hingga manipulasi harga aset keuangan yang bisa merusak integritas dari pasar keuangan dan mengganggu SSK.
Baca juga : Ini Profil Hasan Fawzi, Bos Baru OJK yang Bakal Pelototi Aset Kripto
Untuk mengurangi dampak risiko siber, lembaga keuangan perlu mengimplementasikan langkah keamanan siber yang kuat, meningkatkan kesadaran siber, serta berinvestasi kepada teknologi dan SDM yang mampu menghadapi ancaman siber dengan efektif. Koordinasi antarlembaga keuangan, regulator, dan pihak terkait menjadi penting dalam mengelola risiko siber.
Risiko ketiga ke depan yang lebih berjangka menengah terkait dengan transisi menuju ekonomi hijau. Dalam hal ini, risiko yang dihadapi perbankan yaitu risiko transisi termasuk kebijakan di dalam pengurangan emisi karbon seperti pajak karbon dan sebagainya.
Kedua, risiko kredit terkait dengan kemampuan debitur dalam perubahan pasar dan perubahan kebijakan terkait dengan ekonomi hijau. Ketiga, risiko reputasi apabila kebijakan terkait dengan pengurangan emisi tidak dilakukan.
"Dihadapkan pada kondisi demikian, kebijakan Bank Indonesia tetap fokus pada upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan, dengan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu kebijakan moneter tetap diarahkan pada pro-stability. Sedangkan kebijakan makroprudensial diarahkan pada pro pertumbuhan ekonomi," kata Juda. (Z-2)
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengungkapkan rumah tangga Indonesia semakin tertekan.
Pada Mei 2025, kondisi pendapatan konsumen tergerus. Sementara itu, proporsi pembayaran cicilan atau utang justru mengalami peningkatan.
Penyidik KPK sedang menyelidiki aliran dana tahunan Bank Indonesia (BI) terkait kasus dana tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR Bank Indonesia
Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2025 sebesar US$152,5 miliar atau setara Rp2.482,5 triliun.
Program Herbi kali ini difokuskan untuk membantu warga yang terdampak bencana alam.
DINAMIKA geopolitik global mewarnai beragam pemberitaan media arus utama atau media sosial kita.
Transaksi global lancar! Pelajari sistem pembayaran internasional, dari transfer bank hingga dompet digital, untuk bisnis lintas batas yang efisien.
Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2024 sebesar US$136,2 miliar. Jumlah itu menurun dibandingkan posisi pada akhir Maret 2024 US$140,4 miliar.
Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi kepada PPATK, Komite TPPU, serta lembaga dan instansi terkait lain atas upaya yang telah dilakukan.
PEMERINTAH tengah membahas dan menyiapkan kebijakan antisipasi dari dampak memanasnya konflik di Timur Tengah.
Nilai cadangan devisa pada akhir Januari 2024 tercatat US$145,1 miliar. Nilai tersebut mengalami penurunan dibanding posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2023, US$146,4 miliar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved