Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
MENJADI pejabat korup di negeri ini sepertinya memiliki keuntungan tersendiri. Sepanjang yang bersangkutan sudah mengembalikan duit panas hasil memeras, maka vonis hukuman bakal dikorting hingga 50% oleh majelis hakim.
Hal itu yang dialami oleh Anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan 2019-2024 Achsanul Qosasi. Ia didakwa menerima suap senilai US$2,64 juta atau setara dengan Rp40 miliar untuk mengondisikan pemeriksaan proyek BTS 4G 2021.
Jaksa menuntut Achsanul 5 tahun penjara serta membayar denda Rp500 juta. Namun, ketua majelis hakim Fahzal Hendri dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Kamis (20/6) kemarin, hanya menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta.
Vonis yang lebih rendah daripada tuntutan itu dijatuhkan karena uang senilai Rp40 miliar tersebut sudah dikembalikan oleh Achsanul pada tahap penyidikan. Achsanul juga dianggap telah menyesali perbuatannya karena menerima fulus secara tidak sah.
Nasib mujur Achsanul tidak dialami oleh seorang terdakwa pencuri telepon seluler, Hendra Suhadi. Ia divonis dengan hukuman 3 tahun 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Meulaboh. Padahal, jaksa menuntutnya 2 tahun penjara.
Logika sederhana masyarakat tentu menilai ada ketidakadilan di sini. Kalau maling telepon seluler bisa dikenai ultra petita, atau vonis lebih berat daripada tuntutan, kenapa pejabat korup malah dikorting vonisnya? Kenapa bukan pengemplang duit rakyat yang dijatuhi dengan hukuman seberat-beratnya?
Bukankah korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan sanksi berat guna menimbulkan efek jera? Haruslah diingat bahwa korupsi merupakan kejahatan yang merampas hak rakyat, melindas hak asasi manusia, serta melawan kemanusiaan.
Sebagai seorang pejabat BPK, seharusnya Achsanul memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terkait dengan proyek BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya.
Apalagi, terdakwa Achsanul justru memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, yakni berupa uang tunai US$2,64 juta. Uang itu ia terima dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama dengan sumber uang dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan. Duit diberikan karena sudah mendapat perintah dari Direktur Utama BAKTI Anang Achmad Latif.
Ketiga nama itu, Windi, Irwan, dan Anang, juga menjadi terdakwa kasus BTS tersebut. Adapun Achsanul menjadi terdakwa ke-16 dalam kasus itu. Rakyat jelas amat dirugikan, tapi tiada vonis berat buat Achsanul.
Atas vonis 2 tahun 6 bulan penjara itu, jaksa dan Achsanul menyatakan pikir-pikir. Tentu publik mendorong agar Korps Adhyaksa memperjuangkan kebenaran yang seolah dirampas sehingga hukuman berat yang menjerakan dapat dikenakan terhadap Achsanul.
Publik juga mendorong agar Kejaksaan Agung (Kejagung) melanjutkan pengusutan kasus ini, apakah duit haram US$2,64 juta itu hanya dinikmati sendiri oleh Achsanul atau jangan-jangan juga mengalir ke institusi BPK dan lembaga lainnya.
Publik juga berharap agar status hukum nama-nama lain yang sempat tersebut di persidangan segera diperjelas. Saksi mahkota di persidangan, misalnya, menyebut Menpora Dito Ariotedjo menerima Rp27 miliar untuk membantu menyelesaikan pengusutan kasus dugaan korupsi BTS 4G di Kejagung.
Jangan biarkan pejabat korup bebas melenggang atau sekadar dijatuhi vonis ringan, tetapi di saat bersamaan maling kelas teri, bandit kelas coro dijerat hukuman berat. Buktikan kepada publik bahwa hukum tidak timpang di negeri ini.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Immanuele 'Noel' Ebenezer Gerungan dan 10 orang lainnya sebagai tersangka.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved