Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MASALAH uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) terus saja menjadi persoalan, bahkan kian hari kian memberatkan. Kemauan politik dari pemerintah amat diharapkan untuk mengurainya, akan tetapi harapan itu masih saja jauh panggang dari api.
UKT sebenarnya bukan masalah baru. Sejak ada kebijakan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) pada 2012, biaya untuk menuntut ilmu di institusi pendidikan milik negara, kepunyaan rakyat, itu semakin mahal. Perguruan tinggi negeri yang tadinya menjadi sandaran utama masyarakat tak mampu untuk kuliah sebagai bekal mengarungi hidup di masa depan tak lagi ramah karena tak lagi murah.
Biaya kuliah di PTN tak beda jauh dengan perguruan tinggi swasta, padahal kemampuan ekonomi rakyat tak semuanya sama, ada yang kaya tidak sedikit yang miskin. Bagi yang berpunya, masuk universitas swasta tentu bukan masalah. Sebaliknya buat yang tak berada, sehingga PTN menjadi tujuan utama. Kalau kemudian PTN dan swasta sama mahalnya, lalu harus ke mana mereka?
Itulah persoalan yang sudah dua dekade tak terselesaikan jua. Masalah yang bahkan semakin ruwet, yang membuat calon mahasiswa dan orang tuanya kian pening kepala. Kenaikan gila-gilaan UKT di sejumlah PTN belakangan ini menjadi bukti nyata. Tak cuma 10%, 20%, atau 40%, lonjakan UKT mencapai 100%.
Sejak UU PTNBH diberlakukan, PTN memang dituntut mencari pendanaan sendiri. Celakanya, mereka cenderung menempuh cara yang gampangan. Pengelola universitas yang semestinya berotak cerdas enggan memeras otak, tak mau berpikir keras, untuk bisa membiayai operasional lembaganya. Menarik biaya tinggi dari mahasiswa terus dijadikan andalan, sumber utama pemasukan, tak peduli cara itu membebani rakyat.
Di sisi lain, keterbatasan anggaran keuangan negara terus menjadi dalih bagi pemerintah untuk kian lepas tangan. Maka klop sudah upaya dan kebijakan yang memberatkan rakyat dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.
Pernyataan Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Thahjandarie bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier merupakan petunjuk nyata di mana pemerintah berdiri. Ia mengonfirmasi bahwa political will, kemauan politik pemerintah untuk mengatasi persoalan UKT ini jauh dari yang diharapkan.
Pemerintah selalu beralasan, orang miskin tetap bisa kuliah di PTN bahkan dengan UKT 0 alias gratis. Akan tetapi mereka seolah tak tahu atau pura-pura lupa bahwa masih banyak calon mahasiswa yang berasal dari bukan keluarga miskin tapi kaya juga tidak. Posisi mereka terhimpit, tak bisa mendapat keringanan karena bukan orang miskin kendati sebenarnya hidup pas-pasan.
Mengatasi persoalan UKT tidak bisa sekadar janji, mustahil pula bisa berhasil jika sekadar basa-basi. Langkah Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim untuk menghentikan kenaikan UKT yang tak rasional kita tunggu. Tapi, hal itu hanyalah solusi sesaat. Harus ada solusi jangka panjang agar masalah serupa tak terulang saban tahun.
Oleh karena itu, kemauan politik yang kuat, sangat kuat, dari pemerintah menjadi keniscayaan. Mengembalikan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good dan bukan kebutuhan tersier harus segera dilakukan. Menghentikan segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi mesti pula disegerakan.
Menjadi tugas negara untuk mencerdaskan bangsa. PTN bukan barang komersial yang bisa seenaknya dikelola berdasarkan prinsip-prinsip bisnis. Ia menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara, sehingga negara mutlak berpihak dengan politik anggaran pendidikan yang prorakyat.
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
JATUHNYA korban jiwa akibat longsor tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, menjadi bukti nyata masih amburadulnya tata kelola tambang di negeri ini.
PANCASILA lahir mendahului proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuannya untuk memberi landasan langkah bangsa dari mulai hari pertama merdeka.
CITRA lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum beranjak dari kategori biasa-biasa saja.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara itu mengakui negara Palestina merdeka sangat menarik.
SEMBILAN hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi membuat geger. Kali ini, mereka menyasar sistem pendidikan yang berlangsung selama ini di Tanah Air.
Para guru besar fakultas kedokteran juga menganggap PPDS university-based tidak diperlukan mengingat saat ini pendidikan spesialis telah berbasis rumah sakit.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved