Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
TARGET fantastis, realisasi membuat miris. Lagi dan lagi begitulah nasib banyak kebijakan di Republik ini, termasuk kebijakan konservasi yang kini kembali mencuat.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, Rabu (15/5), mengeluhkan anggaran konservasi yang sangat minim. Besarnya cuma Rp40 ribu per tahun per hektare. Dengan matematika sederhana, artinya anggaran konservasi per hari hanya sekitar Rp100.
Berdasarkan data KLHK, ada 27 juta area konservasi yang harus dilindungi. Dengan anggaran sekecil itu, bisa dibayangkan model konservasi macam apa yang bisa dijalankan. Tidak perlu sulit mencari jawaban karena memang susah menemukan konservasi yang dijalankan. Kalaupun ada laporan program konservasi yang berjalan, bahkan berhasil, itu hanya mencakup sedikit sekali wilayah.
Lebih menyedihkan lagi karena keluhan Alue Dohong sebenarnya lagu lama. Sudah sejak 2012, nominal anggaran konservasi sudah dikeluhkan. Sejak lebih dari satu dekade itu pula sejumlah pakar lingkungan menyebut anggaran ideal untuk konservasi di Indonesia ialah US$50, atau sekitar Rp450 ribu, per tahun per hektare jika menggunakan kurs saat itu sekitar Rp9.000/US$.
Urgensi konservasi di Tanah Air kita memang berlipat-lipat, baik karena laju kerusakan lingkungan yang ada maupun karena target-target fantastis yang dibuat pemerintah sendiri. Berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berjanji kepada dunia akan menurunkan emisi GRK sampai 29% pada 2030. Target itu bahkan dibuat lebih besar lagi, menjadi 41%, dengan dukungan negara-negara lain.
Target itu jelas ambisius karena Indonesia kerap masuk ke 10 besar negara penyumbang emisi dunia. Sektor kehutanan menjadi salah satu penyumbang utama, yakni sebesar 48,5%. Itu disebabkan alih fungsi hutan yang terus terjadi, termasuk untuk perkebunan sawit.
Basa-basi konservasi itu harus berubah. Corengnya bukan hanya pada capaian target penurunan emisi, melainkan juga ancaman bencana lingkungan. Area konservasi seluas 27 juta hektare sangat rentan terdegradasi, baik secara alami maupun karena tindak kriminal. Padahal, luasan itu saja sudah terhitung minimal dari luasan sebenarnya yang harus dilindungi.
Di sisi lain, masih minimnya anggaran konservasi menunjukkan belum optimalnya, bahkan bisa jadi belum dijalankan, berbagai mekanisme pendanaan yang selama ini digembor-gemborkan. Mekanisme pendanaan itu pun sesungguhnya sudah banyak. Berdasarkan PP No 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, terdapat tiga bentuk pendanaan proses pemulihan lingkungan, yaitu dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan pemulihan lingkungan hidup, dan dana amanah/bantuan konservasi.
Sumber pendanaannya, selain APBN dan APBD, ada dana hibah, pajak, dan retribusi lingkungan hidup. Dua hal terakhir itu yang harus benar-benar digenjot pemerintah. Pajak dan retribusi lingkungan hidup mesti tegas diterapkan kepada perusahaan dan daerah-daerah pencemar. Dari situ pemerintah dapat mendanai orang, kelompok, masyarakat adat, dan pemda yang selama ini sudah memberikan jasa lingkungan yang besar.
Namun, kenyataannya, lagi-lagi keberpihakan pemerintah lunglai dan malah mengkhianati janji mereka sendiri. Insentif fiskal justru dikucurkan pemerintah untuk perusahaan tambang, smelter, dan berbagai sektor sumber emisi lainnya. Penerapan pajak karbon yang sudah digadang-gadang sejak 2021, dan mestinya menyasar pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan energi batu bara, pun terus ditunda. Terakhir, pemerintah menyebut baru akan menerapkan pada 2026.
Selain mendobrak stagnasi persoalan minimnya anggaran, kiranya kita juga mesti mendesak lagi pengesahan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) untuk segera mengakhiri semua basa-basi konservasi itu. RUU itu sudah disiapkan sejak 2016, tapi sampai sekarang masih saja layu.
RUU KSDAHE harus bisa memastikan pihak pencemar berkontribusi terbesar pada anggaran konservasi. Sejurus dengan itu, anggaran tersebut harus diberikan kepada mereka yang selama ini sudah memberi jasa lingkungan. Kita mesti bergerak, bukan mandek, apalagi mundur.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Immanuele 'Noel' Ebenezer Gerungan dan 10 orang lainnya sebagai tersangka.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved