Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
KITA semua harus merasa tertampar dengan rekor impor beras yang naik lebih dari 600% pada 2023. Walaupun impor beras sudah jadi cerita lama, rekor ini tanda kejanggalan besar. Ditambah lagi, impor gila-gilaan jadi pola menjelang pemilu.
Rekor impor beras tersebut bisa bermakna dua hal. Pertama, menandakan kegagalan berbagai program ketahanan pangan yang selama ini diklaim sukses. Kedua, sebab pola 5 tahunan itu, impor beras diduga menjadi celah pendanaan pemilu.
Kendati jenisnya berbeda, keduanya tetap tidak bisa diterima. Karena itu, sebulan menjelang pemilu ini, kita harus bisa menguliti program pangan pemerintah dan penyaluran impor tersebut. Hanya dengan cara itu kita bisa menolak janji program-program serupa yang akan membuat bangsa semakin terjerumus ke lubang ketergantungan impor.
Dari kedua faktor tersebut, pola impor menjelang pemilu memang yang paling gampang terbaca. Hal serupa terjadi pada 2018 atau menjelang Pemilu 2019. Ketika itu, pemerintah mengimpor beras sebesar 2,25 juta ton. Angka impor beras semakin mencengangkan terjadi pada tahun lalu, sesuai angka Badan Pusat Statistik, yang mencatat impor beras mencapai 3,06 juta ton. Angka itu sekaligus impor beras terbesar dalam lima tahun terakhir.
Pada periode-periode sebelumnya, lonjakan satu tahun sebelum pemilu itu tidak terjadi meskipun impor di tahun berlangsungnya pencoblosan tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Memang, kejanggalan impor di dua pemilu ini tidak serta-merta terkait dengan penyelewengan pendanaan. Namun, pola mencolok ini tidak dapat diabaikan dan layak diselidiki.
Terkait dengan alasan ketahanan pangan, hal pertama yang dilihat tentunya angka cadangan beras. Betul bahwa El Nino membuat produksi beras turun. Namun, perbandingannya dengan angka impor justru semakin membuat dahi berkerut.
Laporan BPS pada Desember 2023 mencatat produksi beras diperkirakan sekitar 30,90 juta ton. Itu berarti penurunan sebanyak 645.090 ton atau 2,05% jika dibandingkan dengan produksi beras pada 2022 yang sebesar 31,54 juta ton. Maka, sangat aneh ketika penurunan tidak sampai 3% dijawab dengan lonjakan impor lebih dari 600%. Lagi-lagi, ini kembali menguatkan kecurigaan pendanaan pemilu.
Lonjakan impor yang berlebihan juga membawa risiko beras menumpuk di gudang Bulog dan berakhir rusak. Ini sudah terjadi seusai impor besar 2018. Saat itu, sisa beras impor justru mencapai 200 ribu ton. Sebanyak 106 ribu ton di antaranya menjadi rusak karena gagal disalurkan. Alasannya pun sulit dinalar, karena dikatakan jenis beras yang tidak sesuai dengan konsumsi masyarakat.
Menilik lebih dalam akar permasalahan yang ada, maka terlihat jika candu impor dilanggengkan dengan janji-janji program pangan yang tidak terealisasi. Contohnya, janji Presiden Jokowi untuk membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani belum juga terlaksana hingga kini. Akibatnya, 60% petani kita masih berkategori guram atau hanya memiliki 0,3 hektare lahan.
Bukan saja soal kepemilikan lahan, sistem pertanian yang dijalankan pemerintah nyatanya hanya menguntungkan perusahaan besar. Sistem food estate tersebut justru tidak mendukung konsep pertanian keluarga yang sebenarnya menjadi tulang punggung produksi beras kita.
Di sejumlah lokasi, proyek food estate juga tidak berhasil. Contohnya proyek di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang berubah komoditas menjadi jagung setelah perkebunan singkong gagal. Proyek jagung Rp54 miliar itu pun tampak janggal karena ditanam menggunakan medium polybag.
Fakta itu semakin menguatkan kritik para ahli pertanian bahwa lahan food estate kebanyakan malah di daerah berproduktivitas rendah. Hal itu pula yang ada di Gunung Mas, yang memiliki tanah berpasir dengan unsur hara nyaris nol.
Dengan fakta-fakta itu, tidak dapat dimungkiri jika negeri ini masih sangat jauh dari ketahanan pangan, apalagi kedaulatan pangan. Kebijakan pangan yang karut-marut, mulai dari penyediaan lahan hingga keran impor, harus diubah. Kita tidak boleh lagi terjebak dengan janji dan program serupa, tapi nyatanya janji itu dilunasi dengan ketergantungan impor.
DPR dan pemerintah bertekad untuk segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Semangat yang baik, sebenarnya.
PERSAINGAN di antara para kepala daerah sebenarnya positif bagi Indonesia. Asal, persaingan itu berupa perlombaan menjadi yang terbaik bagi rakyat di daerah masing-masing.
DALAM dunia pendidikan di negeri ini, ada ungkapan yang telah tertanam berpuluh-puluh tahun dan tidak berubah hingga kini, yakni ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum, ganti buku.
JULUKAN ‘permata dari timur Indonesia’ layak disematkan untuk Pulau Papua.
Indonesia perlu bersikap tegas, tapi bijaksana dalam merespons dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar.
IDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan PPATK terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos).
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) bukan lembaga yang menakutkan. Terkhusus bagi rakyat, terkecuali bagi penjahat.
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto tampaknya mulai waswas melihat prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2028-2029.
LAGI dan lagi, publik terus saja dikagetkan oleh peristiwa kecelakaan kapal di laut. Hanya dalam sepekan, dua kapal tenggelam di perairan Nusantara.
MEMBICARAKAN kekejian Israel adalah membicarakan kekejian tanpa ujung dan tanpa batas.
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved