Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
MEMBAYANGKAN Indonesia sebagai sebuah orkestra besar. Setiap pemain memegang instrumen yang berbeda. Ada pemetik dawai, peniup seruling, penggesek biola, dan ada pula penabuh gendang. Ketika semua instrumen dimainkan dengan selaras maka mengalunlah harmoni yang menenangkan jiwa.
Namun, apa jadinya jika masing-masing memaksakan kehendak dan berlomba agar menjadi yang paling menonjol? Maka, yang terdengar bukanlah musik yang mengalun harmonis, melainkan kegaduhan yang memekakkan telinga.
Gambaran itulah yang tengah kita saksikan dalam kehidupan sosial, keagamaan, bahkan dalam hubungan manusia dengan alam. Suara ekstremisme menggema, intoleransi merayap ke ruang-ruang publik, sementara eksploitasi alam berlangsung seolah tanpa kendali. Kita seperti hidup di tengah simfoni yang kehilangan konduktornya.
Di tengah realitas itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar (23/4/2025) menawarkan konsep Trilogi Kerukunan Jilid II. Konsep ini sejatinya bukan sekadar jargon seremonial, melainkan fondasi spiritual, sosial, dan ekologis yang saling menguatkan. Trilogi ini mengajarkan tiga harmoni utama yang harus kita jaga bersama, yaitu kerukunan dengan Tuhan, kerukunan dengan sesama manusia, dan kerukunan dengan alam semesta.
TIGA PILAR HARMONI
Kerukunan dengan Tuhan adalah fondasi utama dari trilogi ini. Relasi vertikal manusia dengan Sang Pencipta bukan sekadar urusan ibadah formal, tapi juga sebagai sumber makna yang memberi kedalaman dan arah hidup. Di era yang serbacanggih ini, relasi spiritual itu telah mengalami erosi yang mengkhawatirkan.
Fenomena hari ini adalah paradoks peradaban. Kemajuan teknologi membuka jalan kemudahan dalam segala hal. Komunikasi menjadi instan, informasi melimpah, dan hiburan tanpa batas. Namun, di balik semua itu, manusia modern justru mengalami krisis makna yang akut. Spiritualitas menjadi hampa dan agama direduksi sekadar simbol identitas atau bahkan komoditas yang dipamerkan di ruang publik.
Pada gilirannya, kekosongan spiritual ini kerap membuka jalan bagi lahirnya ekstremisme dan radikalisme. Ketika tidak lagi menjadi ruang pencarian makna yang autentik, agama berubah menjadi kendaraan politik, bahkan alat justifikasi kekerasan. Spiritualitas semu semacam ini jauh dari esensi keberagamaan yang moderat, yang justru mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Lebih dari itu, krisis spiritual ini melahirkan pelbagai patologi sosial. Tingginya angka depresi, kecemasan, adiksi digital, hingga meningkatnya intoleransi adalah gejala nyata dari masyarakat yang tercerabut dari dimensi transenden.
Sementara itu, dalam lanskap kenegaraan kita, relasi manusia dengan Tuhan tidak sekadar diposisikan sebagai urusan privat, tapi juga menjadi fondasi etis dan spiritual yang menopang bangunan kebangsaan. Konstitusi kita, khususnya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas menyebut bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Frasa itu bukan sekadar ungkapan simbolik, melainkan penegasan bahwa jalan kebangsaan yang kita tempuh harus senantiasa berpijak pada nilai-nilai ketuhanan yang luhur. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi kristalisasi pandangan, bukan hanya pengakuan atas eksistensi Tuhan, tapi juga panggilan moral untuk membangun peradaban bangsa yang berakar kuat pada spiritualitas, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, dan meneguhkan arah pembangunan yang berkeadilan.
Harmoni kedua dalam trilogi ini ialah kerukunan dengan sesama manusia. Sayangnya, era digital yang seharusnya mempererat relasi sosial justru menciptakan jurang pemisah baru. Media sosial yang dirancang menjadi ruang silaturahim, kini lebih sering menjadi arena pertempuran ideologi. Polarisasi semakin menguat dan perbedaan malah kian dipertajam.
Algoritma digital bekerja membangun ruang gema (echo chamber), mempersempit wawasan, dan memenjarakan manusia dalam gelembung kebenaran masing-masing. Akibatnya, dialog lintas perbedaan menjadi semakin sulit. Yang terjadi bukan pertukaran gagasan yang memperkaya, melainkan pertarungan narasi yang saling mengalahkan.
Lebih jauh, budaya keterhubungan instan telah mengikis kepekaan sosial kita. Pertukaran pesan singkat menggantikan percakapan bermakna. Budaya like dan share sering kali hanya menjadi kepedulian semu yang tidak menyentuh akar persoalan sosial. Generasi yang tumbuh dalam budaya digital mengalami kesulitan memahami bahasa tubuh, membangun empati, apalagi menghormati perbedaan.
Dalam situasi seperti ini, moderasi beragama menjadi kebutuhan mendesak. Moderasi bukan kompromi yang melemahkan keyakinan, melainkan kebijaksanaan dalam mengelola perbedaan, membangun ruang dialog, dan menumbuhkan sikap saling menghormati. Moderasi adalah jalan tengah yang adil (i’tidal) dan seimbang (tawassuth), sebagaimana diajarkan dalam khazanah keagamaan.
Harmoni ketiga yang kerap terabaikan ialah kerukunan dengan alam. Padahal, tanpa relasi yang sehat dengan lingkungan, seluruh simfoni kehidupan akan terdengar sumbang. Sayangnya, relasi manusia dengan alam hari ini lebih banyak diwarnai eksploitasi daripada kepedulian.
Krisis iklim, kerusakan ekosistem, deforestasi, dan bencana ekologis yang semakin sering terjadi adalah alarm keras atas disonansi kita dengan alam. Di sinilah relevansi gerakan ekoteologi yang dikembangkan Kementerian Agama menjadi sangat penting. Ekoteologi bukan sekadar program penghijauan, melainkan integrasi antara nilai keagamaan, kesadaran spiritual, dan tanggung jawab ekologis.
Program-program seperti Eco-Masjid, wakaf hutan, dan pemberdayaan berbasis lingkungan adalah wujud konkret dari integrasi trilogi kerukunan. Ketiganya tidak hanya menawarkan solusi ekologis, tapi juga membangun kesadaran bahwa merawat alam adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah dan tanggung jawab keagamaan.
Sementara itu, dari sudut pandang hukum lingkungan, relasi manusia dengan alam bukan sekadar anjuran moral, melainkan amanah hukum yang wajib ditegakkan. Inisiatif Kementerian Agama seperti Eco-Masjid, wakaf hutan, dan gerakan ekoteologi adalah wujud nyata kolaborasi ideal antara spiritualitas dan kepatuhan hukum dalam menjaga bumi. Tanpa itu, krisis ekologis hanyalah cermin dari kelalaian kolektif terhadap tanggung jawab konstitusional kita.
MERAWAT HARMONI
Harmoni kehidupan sejatinya tidak terjadi secara otomatis. Ia harus diupayakan melalui refleksi, dialog, dan aksi kolektif. Di sinilah makna dan peran Trilogi Kerukunan Jilid II menjadi sangat strategis. Toleransi bukan sekadar retorika, melainkan jalan panjang untuk membangun harmoni spiritual, sosial, dan ekologis.
Di tengah kegaduhan yang kerap muncul di ruang publik, kita membutuhkan konduktor yang mampu mengatur nada-nada kehidupan agar kembali berpadu dalam simfoni yang utuh. Trilogi Kerukunan Jilid II adalah tawaran bijak untuk menata ulang relasi kita dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Jika ketiganya dimainkan dengan selaras, Indonesia bukan hanya menjadi bangsa yang religius, tapi juga bangsa yang beradab, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Masyarakat yang sukses memainkan harmoni ini adalah masyarakat yang spiritualitasnya membumi, kemanusiaannya berakar, dan ekologinya terjaga. Inilah Indonesia yang kita cita-citakan, yakni negeri yang damai, maju, dan lestari, ketika setiap individu memainkan perannya dalam orkestra kehidupan dengan penuh tanggung jawab.
Kita memang harus terus memetik dawai kerukunan, meniup seruling persaudaraan, dan menabuh gendang kepedulian. Hanya dengan begitu, disonansi zaman ini dapat kita ubah menjadi simfoni yang menyejukkan jiwa dan menyehatkan peradaban.
Meski ada sengketa, prosedur konstitusional telah menyediakan ruang untuk melaporkan kepada Bawaslu tentang sengketa kecurangan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved