HAKIM Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam sidang putusan, Rabu (24/1), telah membebaskan terdakwa kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta dari dakwaan pidana. Ribuan korbannya pun terhenyak. Bos KSP Indosurya Henry Surya menyusul Direktur Keuangan June Indria yang pada pekan sebelumnya juga mendapat putusan bebas.
Terlepas dari sebanyak 23 ribu orang telah menjadi korban dengan nilai dana mencapai Rp106 triliun, hakim berpandangan perkara Indosurya masuk ranah perdata. Tidak cukup bukti yang menunjukkan terjadinya tindak pidana penipuan dan penggelapan.
Memang masih ada peluang bagi jaksa mengajukan kasasi dan bila itu kembali tertutup, jalur penyelesaian secara perdata terbuka. Akan tetapi, tentu jalur perdata tidak memuaskan rasa keadilan bagi para korban.
Perkara KSP Indosurya semakin memperlihatkan betapa ‘kondusifnya’ Indonesia sebagai tempat kejahatan keuangan tumbuh subur. Dari lemahnya kesadaran masyarakat, bolong-bolong regulasi, pengawasan minim, hingga penegakan hukum yang loyo, semua seakan-akan berdiri menyokong peluang para penjahat keuangan melakukan aksi.
Pada kasus KSP Indosurya, hakim seperti mengabaikan adanya pelanggaran praktik penyelenggaraan koperasi simpan pinjam. Menurut Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, KSP menghimpun dana dari anggota dan meminjamkannya kepada anggota pula.
Namun, KSP Indosurya beroperasi selayaknya bank, menghimpun dana dari nasabah yang bukan anggota koperasi. Bila beroperasi seperti bank maka sederet aturan di Undang-Undang Perbankan pun terlanggar.
Di sisi pembuat regulasi, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut putusan pengadilan atas perkara KSP Indosurya memberikan preseden buruk. Ia khawatir masyarakat akan enggan menjadi anggota koperasi simpan pinjam.
Bila dilihat lebih jauh, dalam perkara KSP Indosurya juga ada peran dari pemerintah selaku pembuat regulasi. Selama ini ada kebutuhan pengawasan koperasi simpan pinjam maupun koperasi jasa keuangan yang belum terpenuhi.
Sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pada 2014, pembuat undang-undang tidak kunjung menyusun undang-undang yang baru. Padahal legislasi merupakan tanggung jawab pemerintah bersama DPR RI.
UU No 17/2012 sedianya mengatur tentang lembaga pengawasan khusus, tetapi ketentuan-ketentuan pasal lainnya dianggap memperlakukan koperasi sebagai korporasi. Oleh sebab itu, MK memutuskan UU itu bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan koperasi yang dilindungi konstitusi.
Menkop menuding hakim memberi preseden buruk, tetapi empat jari lainnya menunjuk muka sendiri. Pemerintah sesungguhnya telah memberi peluang bagi pengelola KSP nakal untuk menjalankan praktik perbankan bayangan.
Yang tidak kalah berperan dalam menumbuhsuburkan kejahatan keuangan ialah masyarakat. Gaya hidup yang serba-instan membuat banyak dari kita mudah tergiur cara-cara cepat menjadi kaya.
Bisa dibilang, tiap tahun ada saja kasus investasi bodong yang terungkap dan menjerat ratusan bahkan ribuan korban, tapi tetap saja enggak kapok-kapok. Bukan hanya investasi bodong, judi online hingga pinjol ilegal juga merasakan nikmatnya berkegiatan di Indonesia.
Dengan melihat pertalian peran dari masyarakat, pemerintah, sampai penegak hukum, perlu upaya yang lebih menyeluruh dari hulu ke hilir untuk mencegah kejahatan keuangan. Literasi keuangan, pengawasan ketat, hingga penindakan tegas yang konsisten merupakan kuncinya.