Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PEMBAHASAN Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah berlangsung lama sejak 2015. Pembenahan dan sinkronisasi ulang pun telah dilakukan setelah RKUHP didemo besar-besaran pada September 2019. Demo itu pula yang membuat RKUHP batal naik ke pembahasan tingkat II (paripurna).
Namun, pembahasan panjang itu nyatanya belum cukup untuk menyempurnakan RKUHP. Meski awal Juli lalu pemerintah telah menyerahkan lagi draf final RKUHP ke DPR, sejumlah pasal masih kontroversial.
Sebab itu, kita harus berani menyatakan bahwa RKUHP masih butuh pembahasan. Inilah yang harus dilakukan, bukan mengejar pengesahan sebelum 17 Agustus atas alasan kado HUT RI.
‘Kado’ justru dapat menjadi petaka jika banyak pasal karet dibiarkan. Karena itu, kita sepakat dengan perintah Presiden Jokowi kepada jajarannya untuk membuka diskusi masif dengan masyarakat, meski di DPR sudah sampai tahap akhir pembahasan.
Perintah Presiden itu diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD, kemarin. Perintah Presiden menunjukkan bahwa ia kembali mendengar aspirasi masyarakat dan menyadari pentingnya RKUHP yang tanpa cacat.
KUHP merupakan salah satu pedoman penting untuk tegaknya keadilan. Dalam KUHP semestinya terwujud hukum yang berlandaskan Pancasila, termasuk semua norma, asas, dan prinsip yang diterima masyarakat kita yang multietnik dan kultur.
Semua itu jelas belum ada dalam KUHP saat ini yang berlandaskan pada hukum kolonial Belanda. Di sisi lain, RKUHP yang ada juga belum menjawab hukum pidana yang harmonis, sinergi, komprehensif dengan perundangan lain yang berlaku saat ini. Bahkan, lebih jauh lagi, RKUHP belumlah menjawab target pemerintah sendiri untuk menghasilkan hukum pidana nasional dengan paradigma modern. Artinya, hukum pidana yang tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi berorientasi pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Hal itu terlihat pada 14 pasal bermasalah. Pasal-pasal itu terkait the living law (hukum pidana adat), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, pidana terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, tindak pidana contempt of court, serta penodaan agama, advokat curang, penganiayaan hewan, kontrasepsi, penggelandangan, aborsi, perzinaan, juga tindak pidana kesusilaan dan terhadap tubuh.
Persetujuan DPR atas penjelasan pemerintah terkait 14 pasal tersebut pada Mei lalu tidak dapat diterima. Sebab, nyatanya, pasal tersebut masih menjadi pasal karet. Misalnya, digunakannya the living law tanpa batasan jelas dan tegas sangat berpotensi menghasilkan kriminalisasi berlebihan.
Itu berkaca bahwa saat ini saja ada 421 perda diskriminatif terhadap perempuan. Bukan itu saja, banyaknya hukum adat yang tidak terumuskan dengan jelas membuat RKUHP dapat menjadi alat diskriminatif baru.
Kemudian, beberapa pasal RKUHP justru masih menjadi warisan kolonial. Contohnya, pasal penghinaan presiden (Pasal 218 – Pasal 220 RKUHP). Ketentuan pasal penghinaan pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda.
Pasal penghinaan ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK Nomor 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Adanya pasal itu di RKUHP berarti membangkang pada konstitusi.
Ada pula pasal yang justru bisa menghambat kerja pemerintah, yakni Pasal 432 RKUHP soal menggelandang. Perihal ini sebenarnya cukup diatur secara administratif di perda. Adanya pasal ini akan menghambat rencana kerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial dan penanggulanan kemiskinan berdasarkan RPJMN 2015-2019 dan rancangan RPJMN 2020-2024.
Dengan masih banyaknya cacat dalam RKUHP, sudah selayaknya pembenahan dilakukan serius. DPR pun semestinya menjadi pihak pertama yang menolak draf RKUHP. Tanpa adanya pembenahan di pasal-pasal krusial tersebut, RKHUP tidak boleh disahkan.
JULUKAN ‘permata dari timur Indonesia’ layak disematkan untuk Pulau Papua.
Indonesia perlu bersikap tegas, tapi bijaksana dalam merespons dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar.
IDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan PPATK terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos).
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) bukan lembaga yang menakutkan. Terkhusus bagi rakyat, terkecuali bagi penjahat.
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto tampaknya mulai waswas melihat prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2028-2029.
LAGI dan lagi, publik terus saja dikagetkan oleh peristiwa kecelakaan kapal di laut. Hanya dalam sepekan, dua kapal tenggelam di perairan Nusantara.
MEMBICARAKAN kekejian Israel adalah membicarakan kekejian tanpa ujung dan tanpa batas.
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved