HARGA elpiji nonsubsidi tiga kali naik dalam tiga bulan terakhir. Pemerintah perlu mengantisipasi agar konsumen tidak beramai-ramai beralih dari konsumsi elpiji nonsubsidi ke elpiji melon alias elpiji subsidi tabung 3 kg.
Pertama kali harga elpiji nonsubsidi naik pada November 2021. Saat itu, harga elpiji 5 kg dan 12 kg berada di angka Rp11.500 per kilogram. Sebulan kemudian, Desember 2021, harganya naik menjadi Rp13.500 per kilogram. Pada Februari 2022, harga elpiji nonsubsidi kembali naik menjadi Rp15.500 per kilogram.
Invasi Rusia ke Ukraina dituding sebagai biang kerok penaikan harga. Invasi itu melambungkan harga gas dunia. Kini harga gas sesuai acuan contract price Aramco (CPA) menembus US$775 per metrik ton (MT) atau sekitar Rp10 juta (kurs 14.000 per US$).
Kendati penaikan itu 21% lebih tinggi daripada rerata CPA selama 2021, PT Pertamina (persero) memutuskan tidak menaikkan harga elpiji subsidi. Hingga pekan ini, harga gas elpiji 3 kg masih Rp21.000 per tabung atau Rp7.000 per kg karena pemerintah memberi subsidi Rp11 ribu.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga gas elpiji subsidi ini tentu patut diapresiasi. Apalagi, mayoritas masyarakat kita menggunakan gas jenis ini, yang menurut Pertamina porsinya lebih dari 93% dari total konsumsi elpiji nasional per Januari 2022. Sementara itu, konsumsi untuk gas nonsubsidi hanya 7% dari total konsumsi nasional.
Meski demikian, penaikan harga gas nonsubsidi ini tetap harus diantisipasi dampaknya. Para pengguna tabung gas ukuran 5 kg dan 12 kg ini bisa saja beralih menggunakan gas subsidi ukuran 3 kg karena harganya relatif lebih murah.
Pemerintah perlu memastikan ketersediaannya, termasuk kelancaran distribusinya, baik gas elpiji subsidi maupun nonsubsidi sehingga tidak terjadi kepanikan di masyarakat. Selain itu, hal yang juga tak kalah penting adalah pengawasannya di lapangan. Jangan sampai penaikan harga ini memberi celah bagi para invisible player (spekulan) untuk mempermainkan harga demi meraih keuntungan yang gila-gilaan.
Apalagi, fakta di lapangan, gas nonsubsidi khususnya ukuran 12 kg, kini dijual dengan harga yang berbeda-beda, bahkan ada yang mencapai di atas Rp200 ribu. Padahal, harga yang dipatok Pertamina di tingkat agen sebesar Rp187 ribu per tabung.
Oleh karena itu, para stakeholder dalam industri ini, dari hulu hingga hilir, kiranya perlu ikut mengawal kebijakan ini agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat yang belakangan kian terimpit dengan melonjaknya harga sejumlah komoditas pangan.
Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi subsidi energi. Perlu dilakukan skema subsidi tertutup untuk elpiji melon agar tepat sasaran. Subsidi diberikan kepada orang bukan harga.
Sepanjang subsidi gas elpiji 3 kg bersifat terbuka, seluruh golongan masyarakat dapat mengakses komoditas bersubsidi tersebut. Faktanya, kelompok masyarakat menengah ke atas paling menikmati subsidi gas elpiji ketimbang masyarakat kelas bawah.
Data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, misalnya, menyebutkan bahwa rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 22% dari subsidi gas elpiji, sementara 86% dinikmati kelompok yang lebih mampu.
Distribusi secara tertutup untuk elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram mendesak diwujudkan. Apalagi, DPR dan pemerintah sudah menyepakati skema penyaluran tertutup, tinggal menunggu realisasinya. Tidak terlalu sulit untuk menerapkan distribusi tertutup, tinggal mengintegrasikan data penerima subsidi di data terpadu kesejahteraan sosial yang ada di Kementerian Sosial.
Jangan sampai penaikan harga elpiji non-subsidi mendorong praktik pengoplosan dan memantik konsumen pengguna elpiji nonsubsidi pindah ke elpiji bersubsidi. Oleh karena itu, usulan skema subsidi tertutup patut dipertimbangkan.