Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Mengganyang Predator Seksual

07/1/2022 05:00
Mengganyang Predator Seksual
(MI/Seno)

 

 

ADA paradoks yang sangat mengganggu akal sehat kita. Di dunia yang semakin menua dengan segala bentuk kemajuan teknologi dan modernitasnya, kejahatan seksual yang sebetulnya merupakan kejahatan paling primitif masih saja bisa tumbuh subur di dalamnya.

Kejahatan dan kekerasan seksual bahkan seperti menemukan jodoh baru ketika modernitas itu menawarkan teknologi komunikasi yang kian canggih, yang pada ujungnya makin memudahkan pelaku untuk menjerat korban. Di era digital, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama yang juga tetap bertahan.

Intinya bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin bergentayangan. Banyaknya kasus kejahatan seksual yang terungkap belakangan ini mestinya menjadi keprihatinan kita bersama. Bahkan tidak cukup dengan prihatin karena sejatinya kita tidak tahu di balik angka kejahatan yang terekspos itu jangan-jangan masih banyak lagi kasus yang tidak terungkap.

Tanggung jawab untuk mengakhiri kekerasan seksual tidak hanya ada di tangan pemerintah (negara), tapi juga menjadi tanggung jawab individu maupun sosial. Namun, harus diakui, kehadiran negara dalam hal ini masih jauh dari cukup. Keseriusan negara memerangi kejahatan ini kalah jauh bila dibandingkan dengan kecepatan predator seksual 'bermutasi' diri. Predator bertumbuh cepat, negara masih saja bergerak lambat.

Contoh paling nyata kekurangseriusan itu ialah ruwetnya pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terus terang saja membuat jengkel. Kasus kekerasan seksual nyata terpampang berkali-kali di depan mata, tapi regulasi yang memungkinkan negara ini mencegah semua itu terjadi justru tak kunjung diselesaikan.

Secara nalar hukum, apalagi dengan kondisi darurat kejahatan seksual seperti sekarang ini, Republik ini jelas membutuhkan undang-undang yang secara khusus mengatur penghapusan kekerasan seksual. Undang-undang itu akan menjadi dasar hukum yang kuat untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual, sekaligus melindungi korban.

Di satu sisi, predator seksual harus kita ganyang lewat mekanisme penindakan yang tegas dengan hukuman berat. Terkait hal itu, kita sesungguhnya punya senjata berupa Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Dengan adanya PP tersebut, maka pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan dikebiri kimia. Selain itu, pada pelaku yang sudah terbukti di pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, juga akan dipasang alat pendeteksi elektronik. Nama-nama pelaku yang sudah terbukti secara hukum pun akan diumumkan ke khalayak ramai bahwa mereka sudah melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

Namun, di lain sisi, pencegahan harus lebih menjadi pilihan jika kita berangkat dari perspektif perlindungan terhadap korban. Pada poin inilah sejatinya UU TPKS menjadi sangat dibutuhkan. Undang-undang ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi para penegak hukum untuk menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual secara komprehensif.

Ada sejumlah aspek yang diatur dalam UU tersebut, antara lain terkait sanksi dan tindakan, hukum acara, hak-hak korban, pencegahan, rehabilitasi, dan pengawasan. Spirit dari aspek-aspek tersebut ialah pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual.

Jadi, wahai para pemangku jabatan di pemerintahan dan DPR, masih patutkah kita bermain-main dalam pembahasan regulasi pencegahan kejahatan seksual, sementara di tempat tak jauh dari kita, para predator seksual leluasa mengintai anak dan keluarga kita?



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik