Preseden Buruk Keadilan Lingkungan

10/11/2021 05:00
Preseden Buruk Keadilan Lingkungan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

KEBERHASILAN Indonesia menekan laju deforestasi diakui dunia internasional. Akan tetapi, di dalam negeri proses penegakan hukum terkait kebakaran hutan berjalan tertatih-tatih.

Berjalan tertatih-tatih karena hukum belum sepenuhnya berpihak kepada rasa keadilan masyarakat. Perusahaan yang dituduh membakar hutan malah dimenangkan di tingkat kasasi kendati putusan pengadilan tetap harus dihormati.

Ketika berbicara pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pekan lalu, Presiden Joko Widodo memaparkan keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi. Deforestasi turun signifi kan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82% pada 2020.

Kebakaran hutan turun karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjerat para pelaku secara perdata dan pidana. Namun, perjuangan itu tidaklah berjalan mulus.

Putusan kasasi Mahkamah Agung pada 3 November 2021 menolak kasasi jaksa atas kasus kebakaran lahan kelapa sawit di Kalimantan Tengah seluas 2.600 hektare. Dengan putusan ini, perusahaan sawit PT Kumai Sentosa tetap bebas dari tuntutan ganti rugi kebakaran hutan Rp935 miliar.

Proses penegakan hukum kasus itu menarik sejak di tingkat pertama. Terkait proses perdata, pada 29 September 2021, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun menghukum PT Kumai Sentosa. Perusahaan itu dihukum membayar ganti rugi materiel lebih dari Rp175 miliar.

Namun, dengan majelis hakim yang sama, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun meloloskan perusahaan dari gugatan pidana pada 17 Februari 2021. Atas putusan bebas itulah, jaksa mengaju kan kasasi. Memang putusan majelis hakim kasasi tidak bulat. Ketua majelis hakim justru berbeda pendapat dengan dua hakim anggota yang memenangkan perusahaan.

Putusan kasasi itulah yang memicu kekecewaan publik. Para pemegang palu keadilan ini seakan menutup mata atas dampak kerugian dalam kebakaran yang terjadi. Kerusakan lingkungan sudah pasti terjadi, begitu pun terhadap kesehatan masyarakat.

Dalam penegakan hukum perkara lingkungan hidup, hakim sudah tentu harus memperhatikan asas pronatura, yakni kepentingan lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama. Belum lagi dampak kesehatan terhadap masyarakat akibat kebakaran tersebut. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menyerang warga di daerah terdampak karhutla.

Putusan ini jelas mencerminkan lemahnya perlindungan lingkungan hidup di negeri ini. Menyebabkan rentannya hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi.

Sebuah preseden sangat buruk bagi upaya-upaya serius yang telah dilaksanakan dalam pengendalian karhutla untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Menjadi cela di tengah keberhasilan pemerintah dalam menekan pembalakan liar dan karhutla yang tengah mendapat apresiasi dunia internasional.

Publik tentu berharap agar KLHK tidak patah arang, tapi terus berjuang hingga peninjauan kembali. Perjuangan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup hendaknya dipandang sebagai komitmen Indonesia untuk mengakhiri deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan pada 2030.

Pemerintah sudah berhasil menekan laju penggundulan hutan hingga titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Pada 2010-2019, Indonesia merehabilitasi 3 juta lahan kritis. Hingga 2024, Indonesia memulihkan 600.000 hektare hutan bakau. Area pemulihan bakau Indonesia terluas jika dibandingkan dengan negara lain. Eloknya perjuangan pemerintah itu didukung dengan penegakan hukum.
 



Berita Lainnya