Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Hukum dan Korupsi masih Keteteran

21/10/2021 05:00
Hukum dan Korupsi masih Keteteran
(MI/Duta)

 

 

PENEGAKAN hukum dan pemberantasan korupsi paling disorot dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Disorot karena dinilai belum berjalan sesuai harapan masyarakat.

Sorotan masyarakat itu terekam dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Selasa (19/10). Dalam survei itu, hanya 44,8% responden yang menganggap penegakan hukum secara nasional dalam kondisi baik atau sangat baik. Kemudian sebanyak 24,8% menganggap penegakan hukum buruk, sebanyak 27,2% menilai sedang saja, dan 3,1% responden tak menjawab.

Persepsi atas kondisi pemberantasan korupsi pun tak jauh berbeda. Hanya 24,9% responden yang menilai kondisi pemberantasan korupsi dalam kondisi baik atau sangat baik. Adapun mayoritas responden, yakni 48,2%, menilai pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk.

Survei ialah cermin. Ketika buruk rupa, jangan pula cermin yang dibelah. Karena itu, pemerintah hendaknya menjadikan penilaian masyarakat dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sebagai bahan refleksi dalam menata tiga tahun tersisa masa pemerintahan.

Dalam bidang hukum, harus jujur diakui bahwa pemerintahan Jokowi-Amin tidak pernah melakukan intervensi. Bisa jadi, sikap pemerintah yang tidak mau melakukan intervensi itu menjadi dasar penilaian masyarakat. Mestinya sikap Jokowi itu menuai apresiasi sebagai bentuk penghormatan hukum.

Ambil contoh dalam kasus hukum dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, yang menjadi terpidana pencemaran nama baik. Selama proses pengadilan, meski didesak-desak, Jokowi kukuh tidak melakukan intervensi. Begitu kasus itu berkekuatan hukum tetap, justru Jokowi tanpa ragu menggunakan hak konstitusionalnya melalui pemberian amnesti.

Pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir tetap gencar dilakukan. Sudah banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi. Bahkan, Menteri Sosial Juliari Batubara dibawa ke meja hijau. Hal itu membuktikan bahwa pemberantasan korupsi tidak tebang pilih.

Ujung tombak pemberantasan korupsi ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi itu sudah banyak berbuat. Akan tetapi, masyarakat telanjur memberikan ekspektasi terlalu tinggi sehingga ketika hasilnya belum sesuai harapan, muncul kekecewaan.

Sudah semestinya KPK terus memperlihatkan kinerja yang mumpuni, termasuk mengejar buron kasus korupsi yang tak kunjung ditangkap. Mengejar buron yang tak kunjung berhasil itulah salah satu dasar penilaian masyarakat.

Meski tidak mengawasi langsung, Presiden tetap bertanggung jawab terhadap kinerja berbagai lembaga di bawah pemerintahannya. Karena itu, kegagalan dan keberhasilan lembaga-lembaga pemerintahan sesungguhnya refleksi dari kerja Presiden.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan usaha pemberantasan dan pencegahan korupsi oleh pemerintah terus diupayakan. Pemerintah bersama KPK melalui tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) melakukan pembenahan untuk mencegah rasuah dan supaya indeks persepsi korupsi membaik.

Fokus Stranas PK seperti diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2018 meliputi perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Dalam rangka menyelenggarakan Stranas PK, dibentuk Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK) yang beranggotakan sejumlah menteri.

Kinerja dan kiprah Timnas PK masih sayup-sayup terdengar sehingga korupsi masih terus berjalan. Bahkan, gerak Timnas PK masih kalah cepat daripada koruptor.

Pencegahan korupsi dalam tiga tahun ke depan hendaknya lebih ditingkatkan dengan lebih fokus, terukur, dan berdampak langsung dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Jangan biarkan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi terus keteter.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik