Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Menumpas Sel Teroris

31/3/2021 05:00
Menumpas Sel Teroris
Editorial(MI.Seno)

 

 

DUA terduga pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, ialah suami-istri yang baru enam bulan menikah. Fakta itu menambah panjang daftar keluarga yang terlibat aksi pengeboman.

Keterlibatan warga negara Indonesia pasangan suami-istri ataupun anak tidak hanya terjadi di dalam negeri. Mereka juga beraksi jauh sampai ke luar negeri.

Masih lekat dalam ingatan, pengeboman tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 yang dilakukan Dita Oepriarto dengan melibatkan juga istri dan empat anaknya. Peristiwa itu menelan total 18 nyawa, termasuk Dita dan keluarganya.

Seolah Surabaya belum cukup berdarah, sehari setelahnya Tri Murtiono membawa istri dan ketiga anaknya untuk meledakkan bom di Polrestabes Surabaya. Di peristiwa itu hanya 1 anak Tri yang selamat dari maut.

Pada Juli 2018, bom panci di Kantor Polres Indramayu, Jawa Barat, juga dilakukan pasutri. Pun pada 2019, istri Abu Hamzah memilih meledakkan diri bersama anaknya setelah sang suami tertangkap polisi.

Pada 2019 pula Rabbial Muslim meledakkan diri di Kantor Polrestabes Medan. Sang istri yang diamankan sehari kemudian diketahui juga terpapar terorisme dan pernah berkomunikasi dengan napi terorisme untuk rencana aksi teror di Bali.

Aksi bomber keluarga Indonesia bahkan hingga mencapai Filipina. Rullie dan istrinya meledakkan bom bunuh diri di Gereja Katedral, Jolo.

Dari sederet kejadian itu diketahui pula, meski peran suami lebih mayoritas, ada istri yang terpapar lebih dulu dan ada yang lebih radikal ketimbang suami. Dengan kondisi itu amat sulit membentengi keluarga dari menjadi serdadu ‘pengantin’.

Berkaca dari pasutri bomber Makassar yang dinikahkan oleh anggota Jamaah Ansharut Dau­lah (JAD), bernama Rizaldi, yang terkait dengan bom Filipina, terlihat bahwa sel keluarga sudah dibentuk sejak dini. Pola rekrutmen teroris seperti biro jodoh.

Pola relasi yang diciptakan jelas eskalasi pada ancaman teror. Dengan kondisi teman hidup yang sepaham, penganut paham radikal akan semakin percaya diri dan berani dalam segala tindakannya. Kalaupun tidak segera menjadi pengantin, kemampuan mereka dalam menyebarkan paham ke anggota keluarga lainnya ataupun rekan dan sejawat akan berlipat.

Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSDA), Dr Ihsan Ali Fauzi, pada 2018 sudah mengingatkan bahwa sel keluarga semakin berbahaya karena mengaburkan batas-batas radikalisme. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang sudah radikal tidak akan lagi merasa keanehan dalam paham yang diajarkan orangtua mereka.

Harus menjadi perhatian setiap warga, bukan hanya aparat, bahwa penyebaran paham radikal dan terorisme kian terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak hanya dilakukan lewat perkumpulan tertutup, juga menggunakan kemajuan teknologi komunikasi. Bisa jadi, pelaku teror ada di sekitar kita.

Penumpasan segala bentuk sel terorisme harus dilakukan secara menyeluruh. Bukan saja lewat tracing mendalam dan penangkapan setiap anggota jaringan, sosialisasi bahaya radikalime perlu lebih digencarkan lagi. Pemahaman tentang bahaya radikalisme harus dilakukan lewat semua lini, termasuk dunia pendidikan.

Tidak kalah penting ialah revisi regulasi terkait pemberantasan tindak pidana terorisme, terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Undang-undang itu telah lama disebut sebagai titik lemah dalam tindak penanggulangan terorisme.

Disebut titik lemah karena undang-undang tidak bisa menjangkau kegiatan pelatihan militer, rekrutmen, pembaiatan, dan orang-orang yang dideportasi dari Suriah. Ia juga belum bisa dijadikan payung hukum untuk penanganan media sosial terkait ideologi radikal. Sudah lama tahu titik lemahnya, kenapa tidak direvisi?



Berita Lainnya