PERANG melawan covid-19 bak berpacu dengan waktu. Semakin lama virus mematikan itu dibiarkan merajalela semakin babak belur pula kita dibuatnya. Keganasannya harus segera diakhiri dan jurus paling ampuh untuk menyudahinya ialah dengan mengoptimalkan vaksinasi.
Sudah hampir setahun covid-19 menjadi momok tak hanya bagi kita, tetapi juga dunia. Oleh karena itu, vaksinasi yang sudah mulai kita lakukan harus dipastikan tak sia-sia.
Vaksinasi ialah resep paling jitu untuk menangkal penyebaran korona. Namun, bukan perkara gampang agar vaksinasi membuahkan hasil yang diharapkan. Ada sejumlah syarat supaya ia maksimal, terlebih di negara dengan jumlah penduduk sedemikian besar seperti kita.
Tidak cuma harus cepat, vaksinasi juga mesti mencakup jumlah penerima yang ideal agar bisa menghasilkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta, setidaknya 182 juta rakyat kita harus mendapat vaksin. Kurang dari itu, kekebalan komunitas untuk menangkal covid-19 sulit diwujudkan.
Kita yakin target tersebut bisa direalisasikan. Kita juga percaya, optimisme Presiden Joko Widodo bahwa vaksinasi rampung dalam waktu setahun tidak mengada-ada. Dengan 30 ribu tenaga vaksinator, dengan tersedianya 10 ribu puskesmas dan 3.000 rumah sakit sebagai tempat vaksinasi, apa yang diinginkan Jokowi tidaklah berlebihan.
Bangsa ini bahkan diyakini bisa lebih cepat lagi menyelesaikan vaksinasi. Keyakinan itu pula yang tengah coba dipelajari oleh pemerintah untuk diwujudkan. Caranya, dengan membuka keran vaksinasi mandiri oleh mereka yang punya kemampuan melakukannya.
Pemerintah memang telah menggratiskan vaksin covid-19. Dengan kebijakan itu, yang kaya maupun yang tak berpunya berhak mendapatkan vaksin korona tanpa perlu mengeluarkan biaya. Kebijakan ini mulia, sangat mulia, sebagai wujud implementasi atas kewajiban negara untuk menyehatkan seluruh warga negaranya.
Vaksin gratis juga mencerminkan prinsip kesetaraan meski konsekuensinya perlu waktu lama guna menuntaskannya. Karena itu, jika ada solusi berupa vaksinasi mandiri agar penyelesaian vaksinasi lebih cepat, kenapa tidak?
Dengan vaksinasi mandiri, setidaknya daftar tunggu penerima vaksin bisa dipangkas. Selain itu, negara juga bisa menghemat biaya karena sebagian ditanggung oleh mereka yang mampu dan bersedia membayar. Anggaran untuk vaksinasi tidaklah kecil, sedikitnya Rp74 triliun. Alangkah baiknya jika biaya bisa dihemat dan dialihkan untuk bantuan lainnya.
Vaksinasi mandiri patut kita pertimbangkan. Tidak ada pelanggaran di situ, asas keadilan pun tak dinegasikan. Lagi pula, ide vaksinasi mandiri datang dari para konglomerat, pengusaha, dan orangorang berpunya.
Namun, kita mesti mengingatkan pemerintah untuk tidak gegabah menerapkan kebijakan vaksinasi mandiri nanti. Jangan sampai, karena membayar, mereka lantas diprioritaskan. Jangan sampai, karena kaya, mereka mendapat vaksin jauh lebih cepat ketimbang orang-orang yang tak punya. Jangan sampai, karena membayar, mereka mendapatkan vaksin lebih mujarab ketimbang penerima vaksin gratis. Jangan sampai, pemerintah berubah peran menjadi pedagang.
Vaksinasi adalah gerakan sosial, bukan individual. Boleh saja mereka punya uang untuk membayar, tetapi haram hukumnya bagi negara untuk mengistimewakan mereka dan mengabaikan hak rakyat kebanyakan.
Vaksinasi mandiri tak boleh dijalankan dengan hukum pasar. Ia memang akan mempercepat penuntasan vaksinasi agar lebih cepat pula kita melewati pandemi. Akan tetapi, perlakuan setara bagi seluruh anak bangsa di atas segalanya.
Vaksinasi mandiri layak menjadi bagian dari solusi mengatasi pandemi. Yang penting, ia tak merusak tujuan awal vaksinasi, yakni membangun kekebalan kelompok secara cepat dan berkeadilan.