Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Ujian Kematangan Demokrasi AS

05/11/2020 05:00
Ujian Kematangan Demokrasi AS
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

SIAPA pun yang akan memenangi Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020 (hingga tadi malam hasil penghitungan belum bisa ditentukan), apakah petahana Donald Trump ataupun sang penantang Joe Biden, sejati nya negara adikuasa itu sudah mencatat satu kesukses an penting. Mereka berhasil menggelar pemilu di masa pandemi dengan aman, lancar, dan dalam situasi yang relatif terkendali.

Padahal kita tahu AS ialah negara yang paling keras terhantam covid-19. Hingga kemarin, saat penghitungan suara pilpres digelar, jumlah kasus terkonfirmasi positif covid-19 di AS sudah mendekati 9,7 juta. Tertinggi di dunia. Begitupun jumlah kematian akibat covid-19 yang kemarin mencapai 238.656 jiwa, juga tertinggi di dunia.

Dalam konteks ini, demokrasi di AS seperti sedang membuktikan kematangannya. Di tengah pandemi, tercatat lebih dari 100 juta warga AS telah memilih lebih dulu. Itu adalah indikasi bahwa partisipasi pemilu kali ini justru meningkat, bahkan disebutsebut bakal mencatat rekor partisipasi terbanyak dalam satu abad.

Akan tetapi, ujian demokrasi di AS tentu tidak cuma soal keberhasilan meningkatkan partisipasi pemilih tatkala penyebaran covid-19 belum mereda. Kedewasaan demokrasi AS akan diuji lagi pascapemilihan, yakni bagaimana warga AS, baik kalang an elite maupun rakyat jelata, menyikapi hasil penghitungan suara.

Jika menilik dari proses penghitungan suara hingga tadi malam dengan perolehan suara antara Trump dan Biden yang berselisih ketat, tentu ada potensi salah satu kandidat, beserta pendukung setianya, bakal sulit menerima hasilnya. Terlebih, sebelumnya, sejumlah kalangan juga berpendapat Pemilu AS tahun ini akan menjadi ‘pemilu yang paling memecah belah’ saking tajamnya perbedaan visi dan garis politik kedua kandidat.

Hal itu jelas akan menjadi ujian berat bagi demokrasi AS yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh negara-negara penganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Demokrasi tak menyoal apakah pemenangnya nanti petahana Trump yang sangat bergaya populis dan kerap menghasilkan kebijakan kontroversial, atau Biden yang selalu berjanji akan mengakhiri kebijakan kapitalis milik Trump.

Kematangan demokrasi akan diukur dari seberapa besar penghargaan terhadap pilihan rakyat dan seberapa bulat penerimaan atas kemenangan salah satu kandidat. Fatsunnya, siapa pun, asalkan memenuhi kaidah demokrasi, tetap harus diterima. Di AS hal itu sudah berjalan selama puluhan bahkan ratusan tahun, semestinya kali ini pun tidak akan berbeda.

Dalam konteks kepentingan Indonesia sesungguhnya juga sama. Seberapa pun kita mungkin menaruh harapan perubahan dan perdamaian global kepada Joe Biden, atau sebaliknya, sebesar apa pun hormat kita kepada Trump yang beberapa kebijakannya juga menguntungkan Indonesia, tidak ada ceritanya kita tidak menghormati demokrasi negara lain. Apalagi sebagai sesama negara demokrasi, pemerintah Indonesia tentu akan menerima apa pun hasil akhir dari kontestasi demokrasi negara lain.

Yang mesti disiapkan ialah antisipasinya. Siapa pun pemenangnya, pemilu di AS harus dimaknai sebagai tantangan untuk melanjutkan kerja sama yang lebih matang dan saling menguntungkan. Pada saat yang sama kita tak boleh melupakan pilihan jalan kita dalam melakoni koneksi global, yaitu politik bebas aktif.

Bebas aktif artinya negara ini tidak turut campur urusan internal negara lain dan tidak memihak kekuatan mana pun di dunia. Namun, negara tidak pula pasrah menghadapi kebijakan negara lain yang mengganggu kepentingan nasional.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik