Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Mengembalikan Integritas Perguruan Tinggi

Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
17/7/2025 05:00
Mengembalikan Integritas Perguruan Tinggi
(MI/Seno)

REPUTASI sejumlah universitas ternama di Indonesia kembali tercoreng. Di balik keberhasilan sejumlah perguruan tinggi (PT) ternama dalam meraih ranking yang membanggakan sebagaimana diumumkan lembaga perangkingan QS (Quacquarelli Symons) atau THE (Times Higher Education), ternyata di saat yang sama PT-PT ternama itu mengidap persoalan serius di bidang publikasi.

Alih-alih prestasi PT-PT terkenal itu dibangun di atas fondasi karya ilmiah para civitas akademikanya yang bisa dipertanggungjawabkan, disinyalir artikel dan paper yang dipublikasikan PT-PT ternama itu ternyata diperoleh dari data dan proses yang bermasalah. Hasil penelitian yang dilansir Integrity Risk Index (RI²) membuat banyak PT di Indonesia kepanasan dan harus menakar kembali rute yang selama ini mereka kembangkan untuk mengejar prestasi.

Lembaga Integrity Risk Index (RI²) yang mengidentifikasi dan membuat profil risiko di berbagai institusi pendidikan terhadap integritas penelitian itu melaporkan sisi kelam dari apa yang terjadi di perlombaan PT-PT di dunia dalam mengejar ranking.

Hasil penelitian Integrity Risk Index (RI²) yang diinisiasi oleh Profesor Lokman Meho di American University of Beirut ini sengaja dilakukan sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang berkembang tentang bagaimana pemeringkatan berbagai universitas di tingkat global memberi insentif pada penerbitan berbasis volume dan kutipan, tetapi dengan mengorbankan integritas ilmiah.

Layaknya sebuah karya ilmiah yang harus berbasis data yang akurat dan ditulis dengan dedikasi penulisnya yang kuat, ternyata dalam praktik justru diwarnai dengan dukungan data abal-abal, proses fabrikasi, dan lain-lain cara yang jauh dari integritas akademik. Pada titik ini, daripada berdebat soal kredibilitas lembaga Integrity Risk Index (RI²), sesungguhnya ini ialah sebuah momen untuk melakukan instrospeksi dan berusaha memperbaiki citra PT sesuai dengan amanah yang diembannya.

 

FABRIKASI

Sejak Kementerian Pendidikan Dikti mewajibkan salah satu syarat untuk naik pangkat menjadi guru besar harus menyertakan artikel jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus atau Web of Science, sejak itu pula antusiasme dosen-dosen di berbagai PT untuk menulis artikel jurnal meningkat luar biasa. Menulis artikel di jurnal internasional menjadi sesuatu yang benar-benar prestisius, mengalahkan produk-produk akademik dosen yang lain.

Menulis buku bagi kebanyakan dosen tidak lagi menjadi bukti kinerja akademik yang membanggakan. Menulis di jurnal nasional yang belum terindeks Scopus atau Web of Science juga tidak lagi membanggakan. Padahal beberapa tahun lalu, seorang dosen yang berhasil menulis di Prisma, misalnya mereka umumnya akan sangat bangga. Kini, era itu sudah berlalu. Jurnal nasional yang terindeks sinta 2, 3, 4 atau seterusnya niscaya tidak terlalu dikejar karena tidak bisa dipakai sebagai persyaratan mengusulkan menjadi guru besar.

Berbondong-bondong dosen mengejar menulis artikel di jurnal internasional bereputasi. Antusiasme dosen menulis artikel di jurnal internasional bereputasi ini, terutama karena didukung oleh kebijakan tiap-tuap PT yang memang mendorong ke arah sana. Apakah artikel yang ditulis berkualitas atau tidak dan apakah artikel itu dibangun dari data yang sahih, semua tidak lagi terlalu penting.

Bagi PT yang merasa harus berkontestasi dengan PT lain, yang penting adalah bagaimana dosen-dosen mereka menulis dan disitasi sebanyak mungkin sebagai bukti eksistensi mereka dalam sistem perangkingan yang berlaku di dunia internasional.

Godaan untuk dapat masuk ke 500 besar universitas dunia, masuk 300 besar, atau bahkan masuk 100 besar universitas dunia membuat tidak sedikit PT lupa menjaga integritasnya. Di berbagai PT sudah bukan rahasia lagi jika muncul praktik-praktik penulisan artikel jurnal secara fabrikasi. Caranya adalah dosen-dosen memanfaatkan sejumlah mahasiswa yang menonjol prestasi akademik mereka untuk menulis artikel jurnal dan peran dosen hanya sekadar memberikan saran atau koreksi akhir yang tidak terlalu penting. Bahkan, tidak jarang pula terjadi dosen yang menjadi first author sama sekali tidak terlibat dalam proses penulisan.

Belum lama ini di Indonesia juga sempat muncul kasus ada dosen yang menulis artikel di jurnal internasional dengan cara 'membeli' artikel yang ditawarkan di dunia maya. Dosen tersebut bisa memilih apakah ditempatkan sebagai penulis pertama, kedua, atau ketiga dan seterusnya. Sudah barang tentu di mana posisi penulis ditempatkan, tarif yang harus dibayar berbeda-beda. Tarif menjadi first author niscaya lebih mahal daripada tarif menjadi penulis pendamping.

Kenapa seorang dosen bersedia membayar asalkan namanya dimasukkan dalam artikel di jurnal internasional bereputasi. Jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, karena dosen yang bersangkutan sudah terlampau kepengin naik pangkat dan menjadi guru besar. Jadi, alih-alih berusaha menulis sendiri artikelnya untuk persyaratan menjadi guru besar, mereka memilih membeli di pasar di dunia maya--yang penting nama mereka tercantum dan artikel tersebut dapat dijadikan persyaratan menjadi guru besar.

Kedua, karena godaan insentif yang diberikan universitas atas penerbitan artikel di jurnal internasional bereputasi. Di sejumlah kampus besar, besarnya insentif untuk artikel jurnal yang berhasil publikasi di jurnal Q1 atau Q2 cukup menggiurkan. Sebuah artikel yang terbit di jurnal Scopus Q1, maka penulisnya berhak mendapatkan insentif dari Rp50 juta hingga Rp75 juta.

Jadi, jika dana yang dibutuhkan untuk membeli artikel dan memasukkan nama mereka sebagai first author pada sebuah jurnal hanya sekitar Rp20 juta-Rp25 juta, dengan mendapatkan insentif Rp50 juta-Rp75 juta, mereka masih memetik keuntungan. Mendapatkan selisih keuntungan sekitar Rp20 juta-Rp25 juta sama dengan besarnya tunjangan seorang guru besar.

Di berbagai kampus, ada dosen yang selama setahun bisa menghasilkan artikel di jurnal internasional lebih dari 50 artikel dan bahkan lebih dari 100 artikel. Ini artinya setiap bulannya mereka menulis sekitar 5-10 artikel. Hal yang mustahil dilakukan oleh dosen sepintar dan serajin apa pun.

Namun, sekali lagi karena godaan insentif yang sangat besar, apa pun kemudian dilakukan untuk dapat menghasilkan artikel sebanyak mungkin. Di sebuah kampus, ada dosen yang selama setahun bisa mendapatkan insentif hingga Rp1 miliar lebih. Insentif ini jauh lebih besar daripada gaji guru besar sekalipun.

Di berbagai PT, alokasi dana insentif untuk penulisan jurnal tak jarang mencapai puluhan miliar rupiah. Di kalangan pimpinan PT tertentu, mereka lebih memilih pura-pura tidak tahu dan menutup mata atas terjadinya penggadaian integritas para dosen mereka dalam penulisan artikel jurnal internasional bereputasi daripada menjaga muruah sebagai lembaga pendidikan yang bermartabat. Bagi PT-PT tertentu, yang penting adalah makin banyak jumlah artikel yang dihasilkan dosen-dosen mereka karena implikasinya akan dapat mendongkrak peraihan ranking PT-nya. Godaan untuk mengejar ranking diakui atau tidak membuat banyak PT seolah lupa untuk menjaga muruah mereka.

 

MOMENTUM

Mengejar kuantitas daripada kualitas. Pola ini harus diakui yang banyak dikejar oleh berbagai PT di Indonesia saat ini. Ambisi untuk memenangi kontestasi antar-PT menyebabkan norma-norma kepatutan kemudian banyak yang dilanggar. Tidak peduli bagaimana prosesnya, yang penting adalah capaian akhirnya, yakni makin banyak artikel jurnal yang dihasilkan dosen-dosen PT itu.

Tidak peduli apakah artikel yang dihasilkan melanggar metodologi dan etika kepenulisan yang serius, yang penting terbit dan disitasi. Di berbagai PT, tidak sedikit dosen yang kemudian menjadi korban praktik jurnal predator atau jurnal abal-abal yang menawarkan proses review yang super singkat asalkan bersedia membayar.

Kasus pembatalan jabatan guru besar di sejumlah kampus seperti terjadi pada tahun lalu adalah contoh yang menunjukkan betapa moralitas dan integritas tidak lagi dikedepankan oleh dunia PT di Tanah Air. Seperti dilaporkan dari hasil penelitian Integrity Risk Index (RI²), universitas yang dianggap berisiko tinggi dalam soal integritas itu terbukti banyak memublikasikan paper tidak bermutu, berisi fraud, atau menerbitkannya di jurnal abal-abal.

Menurut riset Integrity Risk Index (RI²), di Indonesia dilaporkan ada lima kampus ternama yang masuk kategori 'red flag'. Sementara itu, tiga kampus masuk kategori 'high risk' alias beresiko tinggi yang 'menunjukkan deviasi dari norma umum'. Sementara itu, lima universitas masuk kategori watch list' alias dalam pengawasan terkait dengan integritas penelitian. Terlepas dari soal kredibilitas dan metode yang digunakan dan apakah pengkategorian yang dibuat lembaga Integrity Risk Index (RI²), bagaimanapun laporan itu adalah sebuah peringatan.

Sekjen Kemenristek-Dikti Togar Simatupang dengan arif mengajak PT-PT di Indonesia menyikapi laporan Integrity Risk Index (RI²) sebagai sebuah refleksi bahwa memang ada sesuatu yang harus diperbaiki pada soal integritas akademik. Ke depan, tentu yang harus dilakukan Kemenristek-Dikti bukan sekadar meminta berbagai PT di Tanah Air untuk melakukan evaluasi dan introspeksi. Menempatkan PT pada arus kontestasi global yang semata didasarkan pada perangkingan adalah konstruksi yang perlu didekonstruksi.

Menganalisasi reputasi PT hanya pada indikator-indikator yang berisiko merusak integritas PT harus dihentikan. Banyak kampus di luar negeri tidak terjebak untuk ikut berkontestasi mendongkrak volume artikel di jurnal yang harus terindeks Scopus atau Web of Sciece, tetapi tetap disegani karena reputasi dosen-dosen mereka yang menulis buku dan menjaga integritas mereka.

Laporan Integrity Risk Index (RI²) adalah peringatan sekaligus sebuah momentum. Maukah para pimpinan PT membuka mata hati dan melakukan introspeksi untuk mengembalikan muruah kampus?

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya