Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Agama Abrahamik dan Panggilan Kebangsaan

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, tokoh muda Gereja-gereja Injili di Tanah Papua
19/7/2025 11:16
Agama Abrahamik dan Panggilan Kebangsaan
Yosua Noak Douw(Istimewa)

Di tengah dinamika kebangsaan yang kerap diwarnai ketegangan antara identitas agama dan tenun pluralitas, sebuah pertanyaan fundamental layak kita ajukan kembali: mungkinkah nilai-nilai luhur dari tradisi besar agama Abrahamik —Yudaisme, Kristen, dan Islam— dijadikan sumber inspirasi etis untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia?

Gagasan ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, itu menawarkan gudang kearifan spiritual yang mendalam untuk membangun masyarakat yang adil, bermoral, dan bertanggung jawab. Di sisi lain, jika keliru diterapkan, itu berisiko tergelincir menjadi sektarianisme sempit yang justru mengoyak prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam konteks inilah, menggali kembali kearifan dari tradisi besar agama Abrahamik —Yudaisme, Kristen, dan Islam— menjadi relevan. Bukan untuk menyeragamkan, melainkan untuk menemukan titik-titik temu universal yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Menerapkan wawasan ini adalah sebuah pisau bermata dua. Itu menawarkan gudang etika yang kokoh untuk membangun masyarakat yang adil dan bermoral. Namun di lain sisi, jika keliru ia dapat tergelincir menjadi sektarianisme sempit yang mengoyak tenun kebangsaan.

Kuncinya terletak pada pembedaan tegas: kontribusi terbesar agama Abrahamik bagi bangsa bukanlah pada formalisasi hukum atau ritualnya yang eksklusif, melainkan pada penggalian nilai-nilai etika universal yang terkandung di dalamnya.

Nilai-nilai seperti keadilan, belas kasih, dan kejujuran inilah yang harus menjadi titik temu (kalimatun sawa), yang memperkaya jiwa Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk.

Fondasi Etika yang Kokoh

Agama-agama Abrahamik berbagi pilar-pilar etika fundamental yang sangat relevan untuk tata kelola kehidupan berbangsa. Pertama, keesaan Tuhan dan martabat manusia. Konsep monoteisme yang menjadi inti ketiga tradisi ini melahirkan implikasi radikal: semua manusia setara di hadapan sang Pencipta.

Ini adalah landasan filosofis bagi kesetaraan hak dan martabat manusia. Kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan, yang secara langsung mengingatkan bahwa kekuasaan negara bersifat terbatas dan harus dijalankan dengan tanggung jawab moral (stewardship).

Kedua, hukum moral universal. Sepuluh Perintah Tuhan dalam tradisi Yudeo-Kristiani serta konsep ma'ruf (kebaikan) dan munkar (keburukan) dalam Islam menyediakan kompas moral yang kuat. Larangan membunuh, mencuri, dan berbohong adalah nilai-nilai universal yang bisa menjadi fondasi norma sosial dan hukum yang diterima luas.

Ketiga, keadilan sosial. Ketiga tradisi ini sangat menekankan pentingnya kepedulian terhadap kaum lemah, seperti yatim piatu, janda, orang miskin, dan pendatang. Keempat, prinsip tanggung jawab ekologis.

Konsep manusia sebagai khalifah (pengelola) di bumi dalam Islam dan stewardship dalam Kristen memberikan mandat spiritual untuk merawat alam, bukan mengeksploitasinya. Ini adalah landasan etis yang kuat untuk mendorong kebijakan pembangunan berkelanjutan di tengah krisis iklim saat ini.

Jalan Terjal Pluralisme

Meski memiliki potensi besar, menerapkan wawasan ini menuntut kehati-hatian tingkat tinggi. Indonesia bukanlah negara homogen. Ia adalah rumah bersama bagi umat Hindu, Buddha, Konghucu, para penghayat kepercayaan lokal, dan warga negara yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan agama mana pun. Mengistimewakan atau memaksakan satu blok tradisi, sekalipun Abrahamik, secara terang-terangan akan mencederai prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Beberapa tantangan utama yang harus dimitigasi adalah: keragaman tafsir yang sangat luas di internal masing-masing agama; risiko formalisasi hukum agama (syariat, halakha, hukum kanonik) yang sejatinya dirancang untuk komunitas internal menjadi hukum negara; serta bahaya laten teokrasi jika terjadi fusi antara otoritas politik dan institusi agama.

Oleh karena itu, pemisahan yang jelas antara institusi negara dan institusi agama adalah sebuah keniscayaan, sembari tetap membuka ruang bagi dialog etis antara keduanya. Menerapkan wawasan di atas menuntut kehati-hatian, sebab Indonesia adalah rumah bersama bagi semua keyakinan.

Ada beberapa tantangan krusial harus dimitigasi. Pertama, risiko eksklusivitas. Menerapkan wawasan Abrahamik secara literal akan meminggirkan warga negara dari tradisi Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan, yang secara langsung bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, keragaman interpretasi. Setiap agama memiliki mazhab dan tafsir yang sangat beragam. Memilih satu interpretasi sebagai acuan negara akan memicu konflik tak berkesudahan.

Ketiga, perbedaan antara hukum agama dan hukum negara. Hukum seperti Syariat Islam, Halakha Yahudi, atau Hukum Kanonik Kristen dirancang untuk komunitas internal dan tidak bisa diberlakukan sebagai hukum positif bagi negara yang heterogen.

Keempat, bahaya teokrasi. Sejarah membuktikan penyatuan kekuasaan politik dan agama seringkali berujung pada otoritarianisme yang menindas kebebasan. Oleh karena itu, pemisahan yang jelas antara institusi negara dan institusi agama mutlak diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan agama demi kekuasaan.

Pancasila sebagai Titik Temu

Di sinilah Pancasila menunjukkan kejeniusannya sebagai agama sipil (civic religion) bangsa Indonesia. Pancasila menyediakan sebuah platform bersama yang memungkinkan nilai-nilai etika universal dari tradisi Abrahamik —dan juga tradisi luhur lainnya— untuk diserap dan diaktualisasikan dalam ruang publik yang inklusif.

Kontribusi agama-agama ini bukanlah untuk mengganti Pancasila, melainkan untuk memberi kedalaman spiritual pada pengamalannya. Sila pertama diperkaya dengan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan rakyat.

Sila kedua dihidupkan oleh ajaran belas kasih dan keadilan yang menjadi dasar penegakan HAM dan kebijakan yang berpihak pada kaum lemah. Sila ketiga diperkuat oleh semangat persaudaraan universal (ukhuwah insaniyah) yang melampaui sekat-sekat primordial.

Sila keempat mendapatkan inspirasi dari tradisi musyawarah (shura) dan akuntabilitas kepemimpinan. Sila kelima menemukan gema dalam prinsip larangan eksploitasi ekonomi dan kewajiban distribusi kekayaan demi kesejahteraan bersama.

Implementasi utama nilai-nilai ini tidak berada di tangan negara, melainkan pada masyarakat sipil berbasis agama. Masjid, gereja, sinagoga, dan ormas keagamaan memiliki peran vital dalam pendidikan karakter, pemberdayaan masyarakat, serta menjadi suara moral yang mengadvokasikan keadilan dan perdamaian.

Inspirasi Etis

Peran aktif lembaga dan komunitas keagamaan Abrahamik dalam membangun karakter warga negara, memberdayakan masyarakat, dan menjadi penjaga moral publik adalah kontribusi nyata yang sangat dibutuhkan. Dengan tetap menjaga prinsip kemajemukan, kesetaraan, dan netralitas negara, wawasan Abrahamik dapat menjadi sumber inspirasi yang memperkaya, bukan pemecah belah, dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara kita. Tantangannya adalah terus-menerus menemukan titik temu etis yang mengikat semua anak bangsa, di atas segala perbedaan.

Hidup berbangsa dengan wawasan Abrahamik bukanlah tentang menjadikan Indonesia negara agama. Itu semua adalah tentang sebuah proses penyemaian etika universal —keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan tanggung jawab— ke dalam sanubari bangsa. Kontribusi terbesarnya terletak pada pembentukan karakter warga dan penyelenggara negara yang berintegritas dan berkeadilan.

Pancasila telah menyediakan wadah yang sempurna, dan konstitusi telah memberikan pagar yang kokoh. Dengan berpegang teguh pada prinsip inklusivitas dan netralitas negara, nilai-nilai luhur Abrahamik dapat menjadi sumber kekuatan moral yang memperkaya, bukan memecah belah.

Tantangan kita bersama adalah menjaga agar inspirasi suci ini tetap menjadi roh yang mempersatukan dan memajukan, bukan wujud formal yang memisahkan dan menguasai.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya