Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Melindungi Garda Kesehatan

02/9/2020 05:00

TERUS bertambahnya tenaga kesehatan (nakes) yang gugur akibat covid-19 amat menyedihkan dan juga membuat geram. Sebab, tingginya angka ini sudah terlihat sejak perte ngahan Juli dan berbagai faktornya pun sudah dijabarkan berulang kali.

Per 13 Juli, bahkan Indonesia telah menjadi negara ketiga terting gi soal persentase kematian nakes berbanding kematian total masyarakat akibat covid-19. Kala itu, dengan 89 nakes yang telah gugur dan jumlah kematian akibat covid-19 mencapai 3.656 orang, persentase kematian nakes mencapai 2,4%. Angka itu menempatkan Indonesia di bawah Rusia dan Mesir.

Dengan belum adanya perbaikan signifi kan dalam perlindungan nakes, membengkaknya angka kematian tentu saja tidak terhindarkan. Seperti diungkapkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), per 30 Agustus 2020, jumlah dokter yang berpulang telah mencapai 100 orang. Jika memperhitungkan jumlah perawat dan nakes lainnya yang juga berpulang akibat covid-19, kehilangan kita jelas jauh lebih besar.

Betul memang jika ada yang berpendapat bahwa permasalahan itu berakar sangat dalam, yakni sistem kesehatan kita yang belum ideal untuk kondisi normal, apalagi pandemi. Ini dilihat dari rasio dokter yang masih jauh dari angka ideal WHO. Sementara itu, WHO menyebutkan angka ideal jumlah dokter di populasi ialah 1:1.000, perbandingan di Tanah Air hanya 0,4 dokter: 1.000 penduduk. Angka itu sekaligus yang kedua terendah di Asia Tenggara.

Dari jumlah itu tentunya dokter-dokter spesialis jumlahnya amat sedikit jika dibanding dengan populasi. IDI mengungkapkan bahwa jumlah dokter spesialis paru yang dimiliki Indonesia hanya 1.200 orang.

Dokter spesialis lainnya, yang terkait untuk penanganan covid-19, termasuk dokter spesialis internis, anestesi, dan dokter UGD, rasionya pun tidak lebih baik. Maka dalam kondisi perang jangka panjang seperti sekarang ini, para dokter tersebut mestinya ibarat senjata yang harus benar-benar dirawat dan disokong.

Betul seperti yang dikatakan juru bicara Satgas Covid-19 bahwa jam kerja nakes perlu dibatasi. Namun, jelas ini tidak cukup. Ketika jumlah nakes di sebuah pelayanan kesehatan memang sudah minim, pembatasan jam kerja mustahil dilakukan. Solusi macam ini ibarat retorika, jika tidak mau dikatakan menyederhanakan persoalan yang ada.

Pemerintah sebagai pengatur kebijakan dan yang paling bertanggung jawab terhadap sistem kesehatan mestinya bisa membuat solusi lebih tersistematis. Solusi ini tentunya dengan mendengar berbagai permasalahan krusial yang sudah dijabarkan banyak pihak, termasuk IDI.

Salah satu permasalahan krusial ialah tata kelola ruang pelayanan kesehatan yang belum didesain untuk menghadapi wabah virus. Tata kelola yang baik baru bersandar pada ketanggapan manajemen rumah sakit belum berdasar dari regulasi pemerintah.

Padahal, tata kelola ini bukan berarti harus dengan pendirian fasilitas baru yang canggih, tetapi bisa dimulai dari ada nya pembuatan alur zonasi kegawatan di rumah sakit hingga pembuatan ruang tekanan negatif (berventilasi baik).

Selain itu, pemerintah sudah saatnya memperhatikan urgensi hadirnya komite keselamatan kesehatan yang nantinya dapat benar-benar mengawasi dan mendorong lingkungan kerja yang terstandar bagi para nakes.

Perbaikan-perbaikan itu mestinya dapat cepat dilakukan sebagai langkah awal perlindungan nakes. Dalam jangka pan jang, tentu saja, negara harus lebih memudahkan lahirnya dokter-dokter dan nakes lainnya.

Dengan mahalnya biaya pendidikan dokter sesungguhnya negara sudah sangat berutang kepada para orangtua yang membiayai anak-anaknya di jalan ini ketimbang profesi lainnya yang tidak kalah menjanjikan materi dan prestise. Karena itu, perbaikan sistem dan manajemen kesehatan nasional sebenarnya ialah hanya langkah kecil untuk berterima kasih kepada para pejuang kesehatan ini.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik