Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
LAMBATNYA penyerapan anggaran telah menjadi penyakit kronis birokrasi. Kepala Negara dari waktu ke waktu terus mengeluhkan persoalan yang menjangkiti kementerian, lembaga negara, maupun pemerintah daerah dari tahun ke tahun.
Ketika dunia dan negeri ini di landa pandemi covid-19 pun, persoalan yang sama tidak juga menghilang. Padahal untuk mengatasi situasi saat krisis, penyerapan anggaran yang dipercepat sangatlah di harapkan.
Kita pun menjadi mafhum ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan lagi persoalan klasik tersebut dalam rapat bersama para gubernur di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (15/7). Presiden, dalam kesempatan itu, mengungkapkan bahwa hingga melewati pertengahan tahun anggaran 2020 ini, masih banyak anggaran pemerintah daerah yang belum terserap. Jumlahnya bahkan mencapai Rp170 triliun.
Dana pembangunan itu, disebut Presiden, masih tersimpan di bank. “Perlu saya ingatkan, uang pemda yang ada di bank itu masih Rp170 triliun, gede sekali ini. Saya sekarang cek harian,” cetus Kepala Negara.
Kondisi yang dikeluhkan Kepala Negara itu bukannya tanpa dasar. Jika kita mencermati data yang ada, persoalan mengendapnya dana pembangunan di bank memang benar terkait langsung dengan sangat rendahnya tingkat realisasi anggaran.
Patut kita cermati pula bahwa provinsi-provinsi yang masuk daftar daerah dengan serapan anggaran tertinggi pun baru mencairkan paling tinggi 45% anggaran pembangunan. Kebanyakan pemerintah daerah, baru merealisasikan anggaran pada kisaran 30%.
Selebihnya, penyerapan anggaran pembangunan mereka baru mencapai kisaran 20% hingga 25%. Beberapa daerah bahkan baru merealisasikan pencairan dana pembangunan di bawah 20%, yakni di kisaran 16% dan 17%.
Fakta yang diungkapkan Presiden Jokowi tersebut, sekali lagi, sungguh disesalkan. Di saat negara dan rakyat membutuhkan cairnya anggaran untuk penanganan pandemi korona beserta dampak-dampak yang menyertainya, dana dengan besaran semasif itu justru tidak terpakai. Dana milik negara yang berasal dari masyarakat diendapkan begitu saja di bank.
Padahal pada saat pandemi, datangnya investasi sebagai alternatif pembangunan tidak dapat diharapkan. Sejalan dengan kondisi pandemik, pertumbuhan kredit perbankan pun lesu. Tidak salah jika Presiden menekankan bahwa satu- satunya opsi yang dapat diharapkan ialah belanja pemerintah.
Presiden Jokowi pun memerintahkan pemerintah daerah mempercepat realisasi serapan anggaran. Kita sependapat dengan Kepala Negara. Kita bahkan mendorong dan mendesak agar hal tersebut dijalankan oleh kepala daerah segera.
Janganlah di saat negara dan rakyat membutuhkan cairnya dana pembangunan, pemerintah daerah justru menahan-nahan dana tersebut di bank. Kita tidak mau lagi mendengar berbagai alasan untuk menutupi praktik pencarian rente.
Para kepala daerah yang menahan-nahan pencairan dana pembangunan di saat krisis perlu kita kecam. Apalagi jika benar kemalasan mereka mencairkan anggaran pembangunan didasari motif untuk mengambil dan menikmati bunga deposito di bank.
Praktik membiakkan dana pembangunan tersebut sejatinya penyakit lama, yang tidak terpuji dan sudah berulang kali dikecam. Apabila hal itu terus saja dilakukan apalagi di saat pandemi, maka jika ada yang mengategorikan kualitas perbuatan itu sebagai kejahatan anggaran, kita sepakat.
Pemberian sanksi yang lebih menimbulkan efek jera bagi daerah yang mempraktikan modus itu patut diimplementasikan. Terhadap daerah dengan serapan minim, penyaluran dana pembangunan mereka sebaiknya bukan hanya dikonversi dari transfer tunai ke surat berharga negara. Bukan pula hanya dikurangi alokasi dana alokasi khususnya seperti yang sudah berlangsung selama ini. Bekukan saja seluruh dana pembangunan mereka.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved