Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Esemka tanpa  Label Mobnas

09/9/2019 05:05

KONTROVERSI mobil nasional (mobnas) kembali mencuat bersamaan dengan peresmian pabrik sekaligus peluncuran mobil PT Solo Manufaktur Kreasi (Esemka) oleh Presiden Joko Widodo di Kabupaten Boyolali, Jumat (6/9).

Jokowi sama sekali tidak menyebut Esemka sebagai mobnas. Presiden mengatakan mobil Esemka ialah brand dan prinsipielnya Indonesia. "Ini adalah merek kita sendiri yang sudah dirintis kurang lebih 10 tahun yang lalu oleh para teknisi, oleh anak-anak SMK (sekolah menengah kejuruan)."

Pihak Esemka sendiri menolak disebut sebagai mobnas. Penolakan itu didasari pada pertimbangan bahwa Esemka merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembuatan atau produksi mobil di Indonesia tanpa mendapatkan fasilitas khusus dari pemerintah.

Dinamai mobnas atau bukan, Esemka tetap menjadi kebanggan. Bangga karena Esemka pada mulanya digagas anak-anak muda saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo.

Jokowi menjadikan Esemka sebagai mobil dinasnya pada 2012. Seiring dengan perjalanan Jokowi menuju panggung politik nasional, Esemka pun selalu menjadi kontroversi bahkan ada yang menyambutnya dengan nyinyir.

Nama selalu menjadi persoalan besar dalam politik yang memuliakan eksistensi ketimbang esensi. Karena itu, bisa dipahami jika Esemka tidak mau disebut sebagai mobnas yang telanjur identik dengan segudang fasilitas dan insentif seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996 tentang Mobil Nasional. Disebutkan bahwa mobil nasional yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia diperlakukan sama dengan mobil nasional yang dibuat di Indonesia. Perlakuan sama yang dimaksud menyangkut fasilitas dan insentif, pajaknya ditanggung pemerintah.

Kebijakan mobnas saat itu dituduh melanggar beberapa poin pada ketentuan General Agreements on Tariff and Trade (GATT). Karena itu, pada 22 April 1998, Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO memutuskan bahwa program mobnas melanggar asas perdagangan bebas. Proyek mobnas pun resmi dicabut Presiden Soeharto melalui Keppres Nomor 20 Tahun 1998.

Jika pengalaman ialah guru terbaik, kiranya tidak tepat menghidupkan lagi proyek mobnas. Biarkan mobnas itu menjadi monumen diskriminasi yang berbenturan dengan larangan dalam perdagangan internasional.

Jauh lebih penting saat ini bukan bicara mobnas, melainkan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat agar semakin banyak investor membangun industri otomotif di dalam negeri. Mobil-mobil yang diproduksi anak-anak bangsa tentu membangkitkan kebanggan nasional. Kebanggan itu sebuah investasi moral yang menjadi landasan pembangunan bangsa ke depan.

Elok nian jika kebanggaan nasional itu diekspresikan dengan mencintai produksi dalam negeri yang dalam tindakan nyatanya ialah membeli produksi lokal, termasuk produk otomotif, dan Esemka ada di dalamnya.

Kita bangga karena Esemka mampu memberikan efek ganda bagi perekonomian. Perusahaan itu menyerap komponen otomotif dalam negeri, khususnya yang diproduksi industri kecil dan menengah (IKM). Saat ini ada 1.500 perusahaan komponen otomotif. Belum terbilang jumlah tenaga kerja yang bisa diserap.

Sudah saatnya pemerintah memberikan dukungan penuh dalam upaya pengembangan industri otomotif di Tanah Air. Perusahaan otomotif, termasuk Esemka, harus berani berkompetisi dengan produk-produk otomotif lain. Perusahaan bisa survive kalau punya produksi yang baik dan mampu merebut selera pasar.

Kiranya benar pernyataan William Shakespeare soal apalah artinya sebuah nama. Mawar, diberi nama lain pun, wanginya tetap sama. Esemka tanpa label mobnas juga tetap mengharumkan nama bangsa.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik