Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Merawat Pluralisme

16/8/2019 05:00

SEJAK berdirinya Republik Indonesia, pluralisme alias paham harmoni dalam keberagaman menjadi perekat bangsa hingga memunculkan kekuatan persatuan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika begitu tepatnya mewakili semangat hidup selaras dan saling menghormati perbedaan.

Konflik yang memecah belah dihindari. Seluruh rakyat ketika itu sadar, hanya dengan bersatu, negara ini mampu lepas dari penjajahan dan melangkah maju meletakkan dasar-dasar pembangunan. Bangsa ini pun terus kukuh berdiri dalam bingkai negara kesatuan.

Akan tetapi, perjalanan NKRI tidak selalu mulus. Tantangan demi tantangan menghadang. Seperti yang terjadi saat ini. Fenomena intoleransi dan diskriminasi berbasis SARA, permusuhan akibat perbedaan pilihan politik, hingga radikalisme yang sukses menyusup di tengah kehidupan rakyat harus diakui telah mengempiskan kekuatan besar bangsa ini. Pluralisme berpotensi perlahan layu.

Sebagian masyarakat mulai gagal memahami semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keakuan atau kekamian semakin menonjol. Yang paling penting ialah aku, yang paling benar ialah kami, begitu seterusnya. Bila tidak sama, berarti harus menyingkir. Jika tidak segolongan, kami menolak mengikuti.

Banyak di antara kita yang mulai melihat siapa, bukan apa yang dikatakan atau diperbuat. Bila bukan dari golongan yang sama, berarti salah. Sebaliknya, kata dan upaya dari sosok golongan sendiri selalu dianggap benar. Objektivitas mati.

Tanpa sadar kita pun melumpuhkan kemampuan mengenali musuh terbesar bangsa saat ini, yakni korupsi. Harus diakui budaya korupsi ada pada diri setiap kita bangsa Indonesia. Suap, gratifikasi, mark up, masih kerap dianggap lumrah.

Dalam kondisi yang harmonis saja perilaku koruptif sulit diberantas. Budaya laknat itu akan kian terpupuk oleh sikap menganggap benar apa pun yang dilakukan orang segolongan dan selalu menyalahkan yang bukan segolongan.

Kita pun masih harus menghadapi musuh nyata lainnya, yakni radikalisme. Keberhasilan radikalisme menyusup ke segala lini masyarakat menunjukkan lemahnya kemampuan bangsa ini untuk belajar dari bangsa lain. Libia dan Suriah merupakan contoh paling konkret betapa kuatnya kemampuan radikalisme memorak-porandakan suatu negara.

Radikalisme yang diawali fanatisme membuta berbasis SARA baru-baru ini juga menelan banyak korban jiwa di Amerika Serikat, Selandia Baru, Prancis, dan banyak negara lainnya. Siapa yang untung? Tidak ada, semua buntung.

Harus tegas dikatakan bahwa radikalisme kini menjadi tantangan nyata. Paham radikal telah menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan paham tersebut bisa menyebar dari pendidikan anak usia dini sampai orang yang bergelar profesor.

Belum terlambat untuk menggelorakan kembali semangat persatuan di tengah keberagaman. Mari kita pahami bahwa pluralisme bukan menonjolkan perbedaan, melainkan saling menghormati perbedaan sesuai batasan kaidah hukum yang sudah menjadi kesepakatan di NKRI.

Singkirkan fanatisme membuta dan muluskan jalan meraih cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Esok, genap Indonesia mampu berdiri kukuh selama 74 tahun dan akan terus kukuh selamanya sepanjang kita mampu merawat pluralisme dan menyingkirkan radikalisme.
 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik