Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Jangan Berhenti di Vonis Ratna

12/7/2019 05:00

KEBOHONGAN ialah racun peradaban. Yang namanya racun tentu memberi efek teramat buruk bagi kehidupan. Tak terkecuali dalam konteks kehidupan demokrasi, kebohongan bisa sangat berbahaya apalagi ketika ia dibungkus dalam tujuan politik tertentu. Itulah politik kebohongan. Karena itu, sudah semestinya kebohongan tidak boleh diberi ruang.

Bicara soal dampak buruk politik kebohongan, negeri ini punya contoh nyata. Aktor utamanya ialah Ratna Sarumpaet, yang di akhir tahun lalu mampu membuat heboh seantero negeri lewat kebohongan nyaris sempurna yang dilakukannya dengan penuh kesadaran. Kebohongannya semakin menggema karena menyeret elite yang saat itu tengah berkontestasi dalam Pilpres 2019.

Kasus Ratna sungguh fenomenal. Kasus itu telah membuka mata publik betapa dunia politik bisa sebegitu keji bila tak disertai nurani dan akal sehat para pelakunya. Kasus itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kampanye hitam dengan menggunakan berita bohong dalam konteks politik memang ada dan mungkin kerap digunakan selama ini.

Penyebaran berita bohong atau hoaks dalam skala kecil mungkin hanya akan merugikan sedikit orang atau pihak. Namun, bila dibiarkan membesar, bahkan diproduksi secara masif, terorganisasi, dan provokatif untuk tujuan politik tertentu, bukan tidak mungkin kebohongan akan membajak demokrasi.

Dengan perspektif seperti itu, kita menghormati vonis bersalah yang diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ratna Sarumpaet, kemarin. Hakim menyatakan terdakwa Ratna Sarumpaet terbukti bersalah karena membuat keonaran. Karena itu, Ratna layak diganjar hukuman dua tahun penjara.

Vonis bersalah dan hukuman jeruji bagi Ratna tersebut hendaknya kita baca sebagai pesan pembelajaran atau efek jera bagi siapa pun untuk tidak menyebarkan hoaks. Hukum memang sepatutnya menjadi instrumen agar hoaks bukan lagi dianggap sebagai ancaman sederhana, melainkan bahaya laten yang mesti kita lawan bersama.

Akan tetapi, dalam kasus tersebut Ratna mestinya bukanlah martir yang harus menanggung semua kesalahan. Kita tahu, ketika itu sejumlah tokoh politik telanjur memberikan pernyataan yang nuansanya membenarkan hoaks Ratna. Mereka tanpa malu-malu, tanpa mencari kebenaran terlebih dulu, langsung menyampaikan pernyataan secara reaktif, bahkan sampai mengecam 'penyiksaan' yang dilakukan terhadap Ratna.

Tanpa disadari, mereka yang ngotot membela Ratna itu sesungguhnya sedang menyebarkan informasi bohong tersebut ke masyarakat. Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pihak yang dapat dipidana bukan cuma pembuat berita bohong, melainkan juga penyebar berita bohong. Ancaman untuk penyebar hoaks ialah pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.

Karena itu, kasus Ratna semestinya tidak berhenti di sini. Aparat penegak hukum sejatinya masih punya pekerjaan rumah (PR) besar untuk mengusut dan memerkarakan siapa pun yang diduga menyebarkan berita bohong Ratna. Memang tak mudah karena melibatkan tokoh-tokoh penting negeri, tetapi itulah salah satu langkah yang harus dilakukan bila kita ingin menutup rapat-rapat ruang tumbuhnya kebohongan.

Ketegasan itu akan menjadi pembelajaran bagi pemimpin dan elite politik agar tidak sembarangan memperlakukan sebuah informasi demi kepentingan politik sesaat dan menganggap rakyat gampang dibohongi, dibodohi. Sekaligus menjadi ikhtiar kita untuk menjernihkan ruang-ruang informasi publik dari limbah hoaks yang amat merusak.

 



Berita Lainnya