Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Rekonsiliasi bukan Kompromi

09/7/2019 05:05

KETELADANAN dalam berpolitik tampaknya akan terus dibutuhkan dari waktu ke waktu, terutama di saat bangsa menghadapi persoalan krusial dalam praktik berdemokrasi di Tanah Air. Elite mestinya tidak perlu lagi mempertahankan perseteruan panjang dalam kontestasi pemilu.

Tidak relevan lagi terbagi dan terbelah dalam kelompok-kelompok kompetisi. Saatnya bersatu padu kembali melanjutkan pembangunan negeri. Rivalitas sudah selayaknya dikubur dalam-dalam untuk menyatukan semangat memajukan bangsa.

Menjadi keniscayaan bagi elite untuk menunjukkan keteladanan dengan membangun rekonsiliasi. Ketika bangunan persatuan erat itu tercipta di tingkat elite, tentu rakyat akan lebih mudah untuk kembali punya kesadaran bersama-sama membangun bangsa.

Terciptanya rekonsiliasi diharapkan mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang terbelah selama pelaksanaan pemilu. Namun, tentu bangunan rekonsiliasi harus berpijak pada fondasi kukuh kepentingan bangsa dan negara, bukan hanya kelompok atau segelintir elite.

Untuk itulah, sangat risih di telinga ketika muncul perbincangan bahwa rekonsiliasi harus dibarengi dengan seabrek persyaratan. Ada yang meminta kursi di kabinet, pembagian jatah kursi pimpinan parlemen, menuntut pemutihan kasus-kasus hukum, bahkan muncul syarat pemulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Rizieq Shihab.

Rekonsiliasi bukanlah kompromi yang mengharuskan adanya barter kepentingan dua belah pihak yang berseteru sehingga tercipta peleburan kepentingan baru. Apalagi untuk urusan hukum karena hukum tidak mengenal adanya kompromi.

Begitu juga soal tuntutan jatah kursi menteri. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, urusan mengangkat menteri ialah hak prerogatif presiden, bukan tuntutan partai politik, apalagi sebagai alat barter rekonsiliasi.

Rekonsiliasi merupakan perbuatan menyelesaikan perbedaan dan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula. Tidak harus ada kepentingan yang mesti dipertukarkan. Jangan terjebak rekonsiliasi hanya memikirkan negosiasi, memikirkan kepentingan elite semata.

Rekonsiliasi seharusnya alamiah, tidak perlu dipaksakan, berjalan atas kesamaan visi-misi. Rekonsiliasi semestinya buah kesadaran kedua belah pihak untuk mengutamakan kepentingan nasional, alih-alih kepentingan sepihak, apalagi menjadi narasi untuk mendapatkan kekuasaan.

Sangat rendah derajatnya jika rekonsiliasi hanya disetarakan sebagai upaya barter kepentingan. Akan lebih baik jika yang dikedepankan ialah kepentingan untuk memajukan dan mengelola bangsa ini ke depan, baik itu sebagai penyelenggara pemerintahan maupun berada dalam parlemen untuk menjalankan pengawasan.

Peran untuk memajukan bangsa tidak hanya lewat pemerintahan. Semua punya tanggung jawab yang sama sebab semua anak bangsa di negeri ini punya saham untuk menentukan masa depan Ibu Pertiwi ini. Tidak hanya pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang memenangi Pemilu Presiden 2019, bukan pula cuma Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mengantongi 44,5% suara.

Jika kebetulan Jokowi-Ma'ruf Amin yang harus menjadi nakhoda pemerintahan Indonesia lima tahun mendatang, itu karena hasil kesepakatan demokrasi bangsa ini melalui pemilu. Indonesia tidak bisa hanya dibangun partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Kehadiran partai-partai di luar pemerintahan alias oposisi sangat diidamkan untuk mejalankan fungsi kontrol dan penyeimbang.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik