Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Larangan Demo di Depan MK

26/6/2019 05:00

HAKIM Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan. Putusan sidang perselisihan hasil Pilpres 2019 dibacakan besok. Setidaknya ada tiga pihak yang menungggu isi putusan MK.

Pihak yang menunggu, pertama, kubu calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku pemohon. Kedua, Komisi Pemilihan Umum selaku termohon. Ketiga, para pihak terkait yang terdiri atas kubu calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Badan Pengawas Pemilu.

Lebih ringkas, putusan itu dinantikan dua kelompok, yaitu pihak yang tidak sepakat dengan hasil Pilpres 2019 yang ditetapkan KPU dan pihak yang menerima penetapan KPU. Pada 21 Mei lalu, penyelenggara pemilu  menetapkan Jokowi-Amin sebagai peraih suara terbanyak dalam Pilpres 2019. MK bisa saja mengeluarkan putusan yang berdampak pada berubahnya hasil pilpres. Atau sebaliknya, makin menguatkan ketetapan KPU.

Bukan kebetulan, ada massa yang siap menolak putusan MK ketika hasilnya tidak sesuai keinginan mereka. Kelompok ini memang tidak pernah merasa puas dengan hasil-hasil yang melenceng dari apa yang mereka harapkan. Tidak peduli bila hasil tersebut telah mematuhi dan melalui ketentuan hukum yang diatur konstitusi dan undang-undang.

Padahal, narasi-narasi yang mereka bangun untuk mendelegitimasi hasil pemilu satu per satu terpatahkan. Salah satunya, isu kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akibat racun. Kemarin, tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta membuktikan ketiadaan praktik jahat dalam kematian petugas KPPS. Seperti halnya hasil investigasi Kementerian Kesehatan, hasil penelitian tim UGM menyatakan petugas KPPS meninggal secara alamiah akibat berbagai penyakit yang dipicu kelelahan.

Melihat tingkah polah kelompok massa tersebut, tidak mengherankan bila fakta-fakta dengan bukti kuat tidak mereka pedulikan. Bukan karena mereka memegang bukti yang menunjukkan sebaliknya. Alasannya simpel, bukti dan fakta yang ada tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Aksi pengerahan massa tetap mereka rencanakan dan undangan pun disebarluaskan. Kapolri Jenderal Tito Karnavian patut diapresiasi karena tanpa kompromi melarang unjuk rasa di depan Gedung MK pada hari ini atau besok.

Larangan Kapolri sama sekali tidak melanggar kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Bukankah kemerdekaan itu tidak boleh mengganggu ketertiban umum, publik, dan tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain serta harus menjaga kesatuan bangsa?

Label halalbihalal, silaturahim, atau apa pun tidak mengubah profil pengerahan massa itu. Namanya tetap unjuk rasa alias demonstrasi yang berpotensi mengganggu kebebasan orang lain.

Larangan Kapolri cukup beralasan. Pengerahan massa dikhawatirkan ditunggangi pihak yang menginginkan kekacauan. Kerusuhan 21-22 Mei buktinya. Sembilan nyawa hilang sia-sia dalam kerusuhan. Untuk apa lagi unjuk rasa?

Apa pun hasilnya, putusan MK sudah melalui proses peradilan sesuai konstitusi. Sembilan hakim di bawah sumpah jabatan dan tuntunan hati nurani menimbang-nimbang segala bukti dan fakta yang diajukan selama proses persidangan. Setelah putusan itu dibacakan, tugas para hakim konstitusi rampung.

Kini, giliran tugas pihak-pihak terkait untuk menerima dan melaksanakan putusan MK. Tidak terkecuali segenap lapisan masyarakat. Semua harus menyadari bahwa kalah dan menang dalam pilpres adalah biasa. Ketika kompetisi pemilu usai, rakyat mesti kembali bersatu padu untuk melanjutkan membangun negeri.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik