Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
MENJAMIN hak pilih warga negara menjadi salah satu tolok ukur legitimasi Pemilu 2019 yang digelar pada 17 April. Pemilu mempunyai legitimasi bila sepenuhnya menjamin hak pilih setiap warga negara dan memastikan orang yang tidak berhak dibersihkan dari daftar pemilih.
Legitimasi itu sama sekali tidak berkorelasi dengan kuantitas pemilih. Seorang saja warga negara dihilangkan hak pilihnya, legitimasi pemilu patut dipertanyakan. Begitu pula sebaliknya. Seorang saja yang tidak berhak tapi ikut memilih, misalnya orang asing, kualitas hasil pemilu pun terdegradasi.
Pengejawantahan terjaminnya hak pilih dalam pemilu tergambar melalui daftar pemilih tetap (DPT) yang akurat dan kredibel, tepat mengakomodasi semua warga negara yang punya hak pilih, tidak kurang dan tidak lebih.
Hingga 41 hari menjelang hari pencoblosan, persoalan akurasi DPT masih mengemuka, di antaranya mengenai terdaftarnya 103 warga negara asing (WNA) yang tersebar di 17 provinsi dan 54 kabupaten/kota. Padahal, semestinya DPT steril dari WNA.
WNA berpotensi masuk DPT karena mereka memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) yang memang dibenarkan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Saat ini terdapat sekitar 1.600 WNA yang telah memiliki KTP-E.
Akan tetapi, WNA pemegang KTP-E tidak dibenarkan masuk dalam DPT karena menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemilih adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah menikah atau pernah menikah.
Karena itulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu harus bergerak cepat melakukan verifikasi data dan verifikasi faktual untuk mengeliminasi pihak-pihak yang tidak berhak masuk dalam DPT. KPU patut diapresiasi karena sudah bergegas menyisir DPT dan melakukan verfikasi faktual.
Persoalan lain terkait hak pilih ialah menyangkut kewajiban penggunaan KTP-E dan pencetakan surat suara untuk pemilih yang pindah tempat memilih. Padahal, belum seluruh WNI yang punya hak pilih mendapatkan KTP-E sehingga hak pilih mereka terancam gugur. Saat ini terdapat sekitar 4 juta orang belum mempunyai KTP-E.
Pemilih yang berpindah tempat memilih hingga pertengahan Februari sebanyak 275.923 yang tersebar di 87.483 TPS di 496 kota/kabupaten di Indonesia. Mereka potensial kehilangan hak pilih karena ketentuan perundangan bahwa setiap TPS hanya menyediakan surat suara sesuai jumlah DPT ditambah 2% sebagai cadangan.
Persoalan perlindungan hak pilih itulah yang mendasari uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu saja MK berpacu dengan waktu untuk segera memutuskan perkara.
Uji materi itu patut didukung. Mestinya identitas untuk bisa memilih tidak dibatasi hanya pada KTP-E, cukup menunjukkan akta kelahiran. Harus diakui bahwa pengurusan KTP-E masih belum sepenuhnya berjalan lancar.
Begitu juga menyangkut perpindahan penduduk yang dalam perundangan yang dibatasi 30 hari sebelum pencoblosan. Pembatasan 30 hari itu akan berpotensi menghalangi hak rakyat untuk memilih. Mestinya pemilih pindahan dibolehkan hingga sehari menjelang hari pemilihan.
Ketentuan yang tidak kalah peliknya ialah aturan penghitungan suara harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara. Jika jumlah pemilih dalam satu tempat pemungutan suara (TPS) banyak, penghitungan suara membutuhkan lama dan bisa selesai pada hari berikutnya. Jika penghitungan selesai pada hari berikutnya tentu melanggar undang-undang.
Harus jujur diakui bahwa UU Pemilu belumlah sempurna untuk menjamin sepenuhnya hak pilih warga negara. Hak pilih itu tidak bisa digugurkan hanya karena persoalan teknis administrasi. Karena itulah uji materi UU Pemilu yang saat ini berlangsung di MK perlu dikawal. Jangan sampai ada celah sekecil apa pun yang bisa mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu.
DPR dan pemerintah bertekad untuk segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Semangat yang baik, sebenarnya.
PERSAINGAN di antara para kepala daerah sebenarnya positif bagi Indonesia. Asal, persaingan itu berupa perlombaan menjadi yang terbaik bagi rakyat di daerah masing-masing.
DALAM dunia pendidikan di negeri ini, ada ungkapan yang telah tertanam berpuluh-puluh tahun dan tidak berubah hingga kini, yakni ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum, ganti buku.
JULUKAN ‘permata dari timur Indonesia’ layak disematkan untuk Pulau Papua.
Indonesia perlu bersikap tegas, tapi bijaksana dalam merespons dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar.
IDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan PPATK terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos).
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) bukan lembaga yang menakutkan. Terkhusus bagi rakyat, terkecuali bagi penjahat.
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto tampaknya mulai waswas melihat prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2028-2029.
LAGI dan lagi, publik terus saja dikagetkan oleh peristiwa kecelakaan kapal di laut. Hanya dalam sepekan, dua kapal tenggelam di perairan Nusantara.
MEMBICARAKAN kekejian Israel adalah membicarakan kekejian tanpa ujung dan tanpa batas.
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved