Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Nasib Inggris setelah Dua Kegagalan Final

Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola
27/7/2024 05:00
Nasib Inggris setelah Dua Kegagalan Final
Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(Seno)

INGGRIS untuk kedua kalinya gagal mengangkat Piala Eropa. Tiga tahun lalu di stadion kebanggaan mereka di Wembley, mimpi ‘St George’s Cross’ dibuyarkan oleh Italia. Dua pekan lalu, tim asuhan Gareth Southgate dipaksa menelan pahit oleh 'anak-anak kecil' Spanyol.

Wajar apabila Southgate frustrasi dan akhirnya memilih mundur sebagai pelatih Inggris. Kariernya, baik sebagai pemain maupun pelatih, harus berakhir tanpa pencapaian tertinggi.

Saat masih menjadi pemain, Southgate menjadi algojo yang gagal melakukan eksekusi penalti sehingga Inggris harus menyerah kepada Jerman di semifinal Piala Eropa 1996. Pil pahit itu juga terjadi di Stadion Wembley.

Baca juga : Southgate Janjikan Inggris Lebih Apik Hadapi Slovenia

Ketika kemudian dipercaya menjadi pelatih Inggris, Southgate secara gemilang mampu dua kali berturut-turut membawa tim asuhannya sampai ke pertandingan puncak. Namun, perjalanan yang tidak mudah itu tak pernah tiba di tempat tujuan yang diinginkan.

Lalu, bagaimana kita harus menilai prestasi Southgate? Sepak bola memang kejam. Sehebat apa pun kinerja seseorang, kalau ia gagal mencapai juara, maka semua itu tidak akan pernah ditulis dengan tinta emas. Dalam olahraga tidak dikenal yang namanya juara dua atau juara tiga. Juara itu hanya satu. Mereka yang berada di urutan kedua disebut dengan runners-up, bukan juara dua.

Nasib Southgate tidak ubahnya seperti Bobby Robson yang hanya mampu membawa Inggris melaju hingga semifinal Piala Dunia 1990. Satu-satunya pelatih yang menorehkan prestasi tertinggi bagi ‘St George’s Cross’ hanyalah Sir Alfred Ramsey yang membawa Inggris memenangi Piala Dunia 1966.

Baca juga : Ditolak Van Gaal, Berakhir Manis di Real Madrid

Hampir enam dekade Inggris tidak pernah lagi menjadi juara. It’s coming home hanya menjadi slogan, kenyataannya sepak bola tidak pernah benar-benar bisa kembali ke tanah kelahirannya di Inggris.

 

Apa yang salah?

Baca juga : Danke und Auf Wiedersehen Juergen Klopp!

Dengan kompetisi yang disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia, ditambah begitu kuatnya dominasi klub-klub Inggris di Liga Eropa, menjadi ironi bahwa ‘the Three Lions’ tidak pernah bisa berjaya di turnamen besar dunia. Menjadi pertanyaan, apa yang salah dengan pembinaan sepak bola Inggris?

Salah satu yang bisa dijadikan alasan ialah liberalisasi dalam pengelolaan sepak bola Inggris. Dari 20 klub Liga Primer, hanya tinggal tiga klub yang masih dimiliki orang Inggris, sisanya dimiliki asing.

Manchester City dimiliki oleh pangeran dari Abu Dhabi. Newcastle United dimiliki Pangeran Muhammad bin Salman dari Arab Saudi. Adapun Manchester United dan Liverpool dimiliki pengusaha Amerika Serikat.

Baca juga : Trauma Adu Tendangan Penalti bagi Inggris

Mengapa kebijakan liberalisasi kepemilikan itu salah? Karena para pemilik asing tersebut menjadikan klub itu sekadar sebagai bisnis. Mereka membeli pemain terbaik di dunia agar bisa menarik banyak penonton dan penggemar sehingga investasi mereka bisa cepat kembali.

Manchester City sampai mendapat pengawasan ketat karena dianggap melanggar aturan keuangan dalam membeli pemain. Jumlah pengeluaran mereka tidak sebanding dengan pendapatan sehingga patut diduga ada kecurangan dalam laporan keuangan.

Pihak Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) membuat aturan yang keras terhadap kecurangan laporan keuangan. Everton sampai dua kali mendapat pemotongan nilai dan juga denda uang karena terbukti melakukan kecurangan. Tinggal kesalahan Manchester City yang belum bisa dibuktikan.

Terlalu banyaknya pemain asing di klub membuat Inggris kehilangan pemain pilar. The Citizen, misalnya, terlalu bergantung kepada Kevin de Bruyne, Rodrigo Hernandez, Bernando Silva, Erling Haaland, Julian Alvarez, dan Jeremy Doku. Pemain asal Inggris seperti Phil Foden, John Stones, dan Jack Grealish terlihat menonjol karena ada pemain asing yang menjadi pilar. Ketika pilar itu tidak ada, kualitas Foden ataupun Stone menjadi terlihat medioker, biasa-biasa saja.

Hal yang sama terjadi pada pemain seperti Bukayo Saka ataupun Declan Rice. Mereka terlihat menonjol di Arsenal karena ada Martin Odegaard, Jorginho, Thomas Partey, dan Gabriel Martinelli yang mendampingi. Ketika rekan-rekan asing itu tidak ada di dalam tim, penampilan Saka maupun Rice menjadi biasa-biasa saja.

 

Tidak punya playmaker

Persoalan terbesar yang dihadapi Southgate di Euro 2024 lalu ialah tidak memiliki playmaker yang bisa ia andalkan. Dari lima klub teratas Liga Primer musim lalu, hampir semua pengatur serangannya pemain asing.

Sebut juara Liga Primer Manchester City, yang menjadikan De Bruyne dari Belgia sebagai tumpuan. Arsenal yang menempati urutan kedua, motornya ialah pemain Norwegia Odegaard. Liverpool sangat bergantung kepada gelandang Argentina Alexis MacAllister. Playmaker Aston Villa ialah gelandang Brasil Douglas Luiz. Satu-satunya pemain Inggris yang menjadi pengatur serangan hanyalah James Maddison yang bermain di Tottenham Hotspur.

Ironisnya, para pemain asing yang bermain di Liga Primer justru mengalami pematangan saat bermain di Inggris. Ketika kembali ke negaranya, mereka menjadi sosok yang sangat diandalkan. Spanyol beruntung memiliki Rodri yang menjadi semakin matang setelah bermain di Manchester City. Ia bahkan terpilih sebagai pemain terbaik Euro 2024. Demikian pula dengan gelandang Manchester United Bruno Fernandez yang menjadi pengatur serangan andalan Portugal.

Inggris sebenarnya sangat berharap Jude Bellingham yang matang di Bundesliga maupun La Liga menjadi pengatur serangan. Akan tetapi, sindrom pemain bintang yang terlalu cepat menghinggapi dirinya, membuat gelandang Real Madrid itu gagal memainkan peran berarti bagi ‘St George’s Cross’.

Kegagalan yang lagi-lagi dialami Inggris tentunya bisa menjadi bahan evaluasi FA. Apakah mereka akan terus asyik menjadikan Liga Primer sebagai industri sepak bola ataukah secara bersamaan menjadikan Inggris sebagai kekuatan sepak bola dunia sesungguhnya.

Secara individu Inggris tidak kekurangan pemain berbakat. Euro 2024 melahirkan Kobbie Mainoo sebagai gelandang andalan masa depan. Demikian pula dengan Cole Palmer yang selalu bisa menjadi game changer bagi Inggris. Pemain-pemain muda itu harus terus diberi kesempatan untuk bisa berkembang. Satu-satunya cara tidak bisa lain ialah dengan memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk bertanding.

Seusai Euro 2024 semua negara harus bersiap menghadapi penyisihan Piala Dunia 2026 di Amerika Utara. Tidak terkecuali Inggris yang harus segera mengonsolidasikan diri agar bisa mendapatkan tiket tampil di Piala Dunia dua tahun mendatang.

FA bukan hanya harus mencari pelatih baru untuk menggantikan Southgate, tetapi juga bagaimana menjadikan pemain Inggris menjadi pemain utama di Liga Primer, bukan pemain asing yang mencari pound sterling dan kesempatan untuk mematangkan permainan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya