Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi merespons Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan perubahan dalam desain penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah ke depan.
Dalam putusan tersebut, MK mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap. Pertama, Pemilu Serentak Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) tetap dilaksanakan pada tahun 2029. Kedua, Pemilu Daerah (Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD) digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.
Jojo menilai putusan MK yang memisahkan pemilihan berdasarkan wilayah tidak akan berkontribusi pada peningkatan kualitas eksekutif dan legislatif. Menurutnya, skema yang ideal adalah memisahkan pemilihan presiden (Pilpres) dengan pemilihan legislatif (Pileg).
"Sebenarnya kalau memperbaiki kualitas dua cabang kekuasaan ini maka sebenarnya yang lebih ideal yang kita lakukan ialah eksekutif sendiri, legislatif sendiri ketimbang memisahkan zona wilayah. Karena memisahkan pemilihan berdasarkan zona wilayah tidak berkontribusi apa-apa untuk meningkatkan kualitas eksekutif dan legislatif," kata Jojo saat diskusi di Formappi, hari ini.
Jojo menjelaskan berkaca pada Pemilu serentak sebelumnya, publik lebih menaruh perhatian pada Pilpres. Ia mengambil contoh pada Pemilu 2029, berdasarkan survei sekitar 70% percakapan di ruang publik membahas soal Pilpres. Sedangkan sisanya membahas Pileg.
Selain itu, ia mengatakan tingkat golput pada Pilpres 2019 sebanyak 19%. Sedangkan tingkat golput pada Pileg 2029 sekitar 30%. Kemudian, berdasarkan survei, ia menyebut 75% pemilih tidak mengenal calon legislatif yang akhirnya mereka golput dan hanya memilih calon presiden.
Berdasarkan data tersebut, Jojo menilai putusan MK Pemilu Serentak Nasional, yakni Presiden, DPR, dan DPD tersebut tidak banyak mengubah kualitas eksekutif dan legislatif ke depannya. Pasalnya, fokus publik masih akan tertuju pada Pilpres.
"Dampaknya kalau Pileg dan Pilpres digabung, jadi satu ibaratnya legislatif jadi anak tiri. Yang banyak dibicarakan dan konflik soal Pilpres. Padahal kita juga menginginkan parlemen mampu mengimbangi kekuatan eksekutif. Kita mengusung prinsip trias politika di mana kekuasaan dibagi, maka itu legislatif kualitasnya sama kuat dan bagusnya dengan eksekutif," katanya. (Faj/P-1)
Puan mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengesahkan peraturan itu setelah mendapatkan persetujuan saat rapat paripurna DPR RI, Selasa (8/7).
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Ketua Komisi II DPR itu mengatakan saat ini DPR juga belum menentukan sikap resmi. Soal putusan MK masih jadi topik diskusi antarfraksi.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres
Ketua DPP Partai NasDem itu menilai MK telah melampaui kewenangannya. Padahal, tugas DPR dan pemerintah dalam membentuk norma melalui undang-undang.
Jika alasan penolakan putusan MK karena pemilu tak digelar dalam siklus 5 tahunan sebagaimana mandat konstitusi, partai politik dinilai keliru.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Pihaknya bersama dengan beberapa Kementerian/Lembaga juga masih berupaya memetakan implikasi dari putusan MK.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved