Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Warisan Otoritarianisme Masih Hidup Meski Sudah Mati 27 Tahun Lalu

Tri Subarkah
21/5/2025 18:26
Warisan Otoritarianisme Masih Hidup Meski Sudah Mati 27 Tahun Lalu
Ilustrasi: Aktivis, mahasiswa dan pegiat HAM mengikuti Aksi Kamisan yang ke-861 di depan Istana Negara(MI/Usman Iskandar)

REFORMASI yang menandakan kematian otoritarianisme rezim Orde Baru di bawah kepemiminan Presiden Soeharto memasuki usia 27 tahun. Kendati demikian, warisan otoritarianisme masih tetap dirasakan sampai saat ini. Amnesty International Indonesia menilai, peringatan 27 tahun reformasi justru diwarnai dengan erosi hak asasi manusia (HAM).

Deputi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyoroti erosi kebebasan politik dan hak sosial yang terjadi saat ini merupakan tanda akan mundurnya supremasi sipil. Salah satu contohnya adalah dengan upaya pemerintah memperluas peran militer dalam ranah sipil lewat revisi Undang-Undang TNI.

Militerisme yang seharusnya ditinggalkan justru marak lagi saat reformasi. Wirya menyebut, militerisme itu terejawantah lewat pengawasan kegiatan mahasiswa dengan dalih monitoring wilayah di sejumlah kampus, pelibatan prajurit TNI untuk mengamankan kantor kejaksaan, serta pengiriman pelajar yang dinilai nakal ke barak militer. 

“Rezim otoriter memang sudah mati 27 tahun lalu, tapi warisan otoriter dapat hidup dalam kebijakan dan praktik negara," katanya lewat keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Rabu (21/5).

Fakta pelanggaran HAM berat berpotensi hilang

Sementara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menggarisbawahi bahwa waktu 27 tahun belum cukup bagi negara menyelesaikan pekerjaan rumah berupa penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Alih-alih, fakta soal tragedi pelanggaran HAM berat justru berpotensi hilang lewat kebijakan penulisan ulang sejarah.

"Jangankan Tragedi 1965-1966 atau Tragedi Tanjung Priok 1984, penembakan mahasiswa Trisakti, pembakaran anak-anak miskin kota dan pemerkosaan massal Mei 1998 yang tidak terlalu lama saja luput dari supremasi hukum. Ini tragedi luar biasa yang dilupakan," terang Usman. (Tri/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya